Tidore and the Spaniards



Tidore is an island in the eastern Indonesia of Maluku Island, just west of the larger island of Halmahera.

In the pre-colonial era, Tidore was a major regional political and economic power, and a fierce rival of nearby Ternate, just to the north.

The sultans of Tidore ruled most of southern Halmahera, and, at times, controlled Buru, Ambon and many of the islands off the coast of Papua.

Tidore established a loose alliance with the Spanish in the sixteenth century, and Spain had several forts on the island.

While there was much mutual distrust between the Tidorese and the Spaniards, for Tidore the Spanish presence was helpful in resisting incursions by their enemy Ternate, as well as the Dutch forces that had a base on that island.

Tidore Island is a bit larger than Ternate. Frequent boats leave Bastion to Rum, where there is a Sunday market. Tidore is dominated by Kiematubu volcano.

A paved road goes around most of the island, but beyond the main tone of Soa Siu, the surface degenerates considerably. The best views of Ternate are from Tidore's north coast.

Tidore adalah sebuah nama pulau yang terletak di sebelah barat Pulau Halmahera dan di sebelah selatan Pulau Ternate. Raja atau kolano pertama yang menggunakan gelar Sultan di Tidore adalah Caliati atau Jamaluddin yang memerintah pada tahun 1495 hingga 1512. Sebelumnya tidak terdapat catatan sejarah siapa kolano yang berkuasa sebelum Caliati. Namun sejarawan Belanda F.S.A. de Clerq mencatat pada tahun 1334 Tidore dipimpin oleh seseorang yang bernama Hasan Syah. Dari nama kolano dan gelar sultan yang digunakan di wilayah Tidore nampaknya pengaruh Islam telah tersebar disana secara luas.

Kesultanan Tidore merupakan satu dari empat kerajaan besar yang berada di Maluku, tiga lainnya adalah Ternate, Jaijolo dan Bacan. Namun hanya Tidore dan Ternate-lah yang memiliki ketahanan politik, ekonomi dan militer. Keduanya pun bersifat ekspansionis, Ternate menguasai wilayah barat Maluku sedangkan Tidore mengarah ke timur dimana wilayahnya meliputi Halmahera Tengah, Halmahera Timur, Maba, Patani, Seram Timur, Rarakit, Werinamatu, Ulisiwa, Kepulauan Raja Empat, Papua daratan dan sekitarnya.

Sultan kedua Tidore adalah Almansur yang naik takhta pada tahun 1512 dan kemudian ia menetapkan Mareku sebagai pusat pemerintahan. Ia adalah Sultan yang menerima kedatangan Spanyol di Tidore untuk beraliansi secara strategis sebagai jawaban atas aliansi yang dibangun oleh Ternate dan Portugis. Spanyol tiba di Tidore pada tanggal 8 November 1521, turut serta dalam rombongan kapal armada Magellan, Pigafetta, seorang etnolog dan sejarawan Italia.

Sultan Almansur memberikan tempat bagi Spanyol untuk melakukan perdagangan di Tidore. Sepotong kain merah ditukar dengan cengkih satu bahar (550 pon), 50 pasang gunting dengan satu bokor cengkih, tiga buah gong dengan dua bokor cengkih. Dengan cepat cengkih di seluruh Tidore ludes, sehingga harus dicari di tempat lain seperti Moti, Makian dan Bacan. Demikianlah kerjasama antara Tidore dan Spanyol semakin berkembang, tidak hanya di bidang perekonomian tetapi juga di bidang militer.

Pada tahun 1524, didasari persaingan ekonomi berupa penguasaan wilayah perdagangan rempah-rempah, pasukan gabungan Ternate dan Portugis yang berjumlah 600 orang menyerbu Tidore dan berhasil masuk ke ibukota Mareku. Hal yang menarik adalah, meski serangan gabungan tersebut mencapai ibukota Tidore, mereka tidak dapat menguasai Tidore sepenuhnya dan berhasil dipukul mundur beberapa waktu kemudian. Dua tahun berikutnya (1526) Sultan Almansur wafat tanpa meninggalkan pengganti.

Kegagalan serangan tersebut berujung dilakukannya perjanjian Zaragosa antara Raja Portugis, John III dan Raja Spanyol, Charles V pada tahun 1529. Dengan imbalan sebesar 350.000 ducats, Charles V bersedia melepaskan klaimnya atas Maluku, namun demikian hal tersebut tidak serta merta menyebabkan seluruh armada Spanyol keluar dari Maluku.

Pada tahun yang sama dengan Perjanjian Zaragosa, putera bungsu Almansur, Amiruddin Iskandar Zulkarnaen, dilantik sebagai Sultan Tidore dengan dibantu oleh Kaicil Rade seorang bangsawan tinggi Kesultanan Tidore sebagai Mangkubumi. Dimasanya terjadi tribulasi, ketika Gubernur Portugis di Ternate, Antonio Galvao, memutuskan untuk kembali meyerang Tidore. Pasukan Portugis mendapatkan kemenangan atas Tidore pada tanggal 21 Desember 1536 dan mengakibatkan Tidore harus menjual seluruh rempah-rempahnya kepada Portugis dengan imbalan Portugis akan meninggalkan Tidore.

Pada tahun 1547, Sultan Amiruddin Iskandar Zulkarnaen wafat dan digantikan oleh Sultan Saifuddin, demikian pula tongkat estafet kesultanan berikutnya, berturut-turut Kie Mansur, Iskandar Gani dan Gapi Baguna hingga tahun 1599. Pada era tersebut tidak terjadi sesuatu yang luar biasa di Kesultanan Tidore, kecuali pada tahun 1578 Portugis membangun Benteng “Dos Reis Mogos” di Tidore. Namun demikian benteng tersebut tidak mencampuri urusan internal kesultanan.

Kejadian penting lainnya yang patut dicatat adalah terjadinya unifikasi kekuatan Portugis dan Spanyol di Maluku di bawah pimpinan Raja Spanyol pada tahun 1580. Sehingga demikian semua benteng Portugis dan Spanyol di seluruh kepulauan Maluku dapat digunakan oleh kedua belah pihak.

Unifikasi ini sebenarnya didahului oleh kejadian sebelumnya, yaitu penaklukan benteng Portugis-Gamlamo di Ternate oleh Sultan Babullah, Sultan Ternate terbesar, pada tanggal 26 Desember 1575. Menyerahnya Gubernur Portugis terakhir di Maluku, Nuno Pareira de Lacerda, menunjukkan berakhirnya kekuasaan Portugis di Nusantara. Hal ini mengakibatkan mau tidak mau armada perang Portugis membentuk persekutuan dengan Spanyol di kepulauan Maluku.

Pada tanggal 26 Maret 1606, Gubernur Jenderal Spanyol di Manila, Don Pedro da Cunha, mulai membaca gerak-gerik VOC-Belanda memperluas wilayah dagangnya hingga Maluku. Karena merasa terancam dengan kehadiran armada dagang VOC-Belanda yang mulai menjalin kerjasama dengan Kesultanan Ternate, ia memimpin pasukan menggempur Benteng Gamlamo tentu saja dengan bantuan dari Tidore yang pada waktu itu dipimpin oleh Sultan Mole Majimu.

Spanyol berhasil menguasai Benteng Gamlamo di Ternate, tetapi tidak lama setelah itu VOC Belanda berhasil pula membuat benteng yang kemudian disebut sebagai “Fort Oranje” pada tahun 1607 di sebelah timur laut Benteng Gamlamo serta membangun garis demarkasi militer dengan Spanyol. Paulus van Carden ditujuk sebagai Gubernur Belanda pertama di Kepulauan Maluku.

Ketika Sultan Tidore ke 12 memerintah yaitu Sultan Saifudin, pada tahun 1663 secara mengejutkan Spanyol menarik seluruh kekuatannya dari Ternate, Tidore dan Siau yang berada di Sulawesi Utara ke Filipina. Gubernur Jenderal Spanyol yang berada Manila, Manrique de Lara, membutuhkan semua kekuatan untuk mempertahankan Manila dari serangan bajak laut Cina, Coxeng. Gubernur Spanyol di Maluku, Don Francisco de Atienza Ibanez, nampak meninggalkan kepulauan Maluku pada bulan Juni 1663. Maka berakhirlah kekuasaan Spanyol di Kepulauan Maluku.

Dengan tiadanya dukungan militer dari Spanyol, otomatis kekuatan Tidore melemah dan VOC-Belanda menjadi kekuatan militer terbesar satu-satunya di kepulauan yang kaya dengan rempah-rempah itu. Akhirnya Sultan Saifudin kemudian melakukan perjanjian dengan Laksamana Speelman dari VOC-Belanda pada tanggal 13 Maret 1667 yang mana isinya adalah : (1) VOC mengakui hak-hak dan kedaulatan Kesultanan Tidore atas Kepulauan Raja Empat dan Papua daratan (2) Kesultanan Tidore memberikan hak monopoli perdagangan rempah-rempah dalam wilayahnya kepada VOC.

Batavia kemudian mengeluarkan Ordinansi untuk Tidore yang membatasi produksi cengkeh dan pala hanya pada Kepulauan Banda dan Ambon. Di luar wilayah ini semua pohon rempah diperintahkan untuk dibasmi. Pohon-pohon rempah yang ‘berlebih’ ditebang untuk mengurangi produksi rempah sampai seperempat dari masa sebelum VOC-Belanda memegang kendali perdagangan atas Maluku.

Apa yang dilakukan oleh VOC-Belanda tersebut, yaitu memusnahkan atau eradikasi pohon-pohon cengkih di Kepulauan Maluku, disebut sebagai “Hongi Tochten”. Kesultanan Ternate sebenarnya telah terlebih dahulu mengadakan perjanjian yang berkenaan dengan “Hongi Tochten” pada tahun 1652 kemudian disusul oleh Tidore beberapa waktu berikutnya setelah Tidore mengakui kekuatan ekonomi-militer Belanda di Maluku. Pihak kesultanan menerima imbalan tertentu (recognitie penningen) dari pihak VOC akibat operasi ini. “Hongi Tochten” dilakukan akibat banyaknya penyelundup yang memasarkan cengkih ke Eropa sehingga harga cengkih menjadi turun drastis.

Sepeninggal Sultan Saifudin, Kesultanan Tidore semakin melemah. Banyaknya pertentangan dan pemberontakan di kalangan istana kesultanan menyebabkan Belanda dengan begitu mudah mencaplok sebagian besar wilayah Tidore. Hal ini mencapai puncaknya hingga pemerintahan Sultan Kamaluddin (1784-1797), dimana sejarawan mencatat bahwa sultan ini memiliki perangai yang kurang baik. Namun demikian lambat laun situasi mulai berubah ketika Tidore memiliki Sultan yang terbesar sepanjang sejarah mereka yaitu Sultan Nuku.

Pada tahun 1780, Nuku memproklamasikan dirinya sebagai Sultan Tidore dan menyatakan bahwa kesultanan-nya sebagai wilayah yang merdeka lepas dari kekuasaan VOC-Belanda. Kesultanan Tidore yang dimaksudkan olehnya meliputi semua wilayah Tidore yang utuh yaitu : Halmahera Tengah dan Timur, Makian, Kayoa, Kepulauan Raja Ampat, Papua Daratan, Seram Timur, Kepulauan Keffing, Geser, Seram Laut, Kepulauan Garang, Watubela dan Tor.

Setelah berjuang beberapa tahun, Sultan Nuku memperoleh kemenangan yang gemilang. Ia berhasil membebaskan Kesultanan Tidore dari kekuasaan Belanda dan mengembalikan pamornya. Penghujung abad ke-18 dan permulaan abad ke-19 adalah era keemasan Tidore di bawah Nuku. Pada titik ini, kebesaran Sultan Nuku dapat dibandingkan dengan keagungan Sultan Babullah yang telah mengusir Portugis dari Ternate.

Kemenangan-kemenangan yang diraih Sultan Nuku juga tidak lepas dari kondisi politik yang terjadi di negeri Belanda. Tahun 1794, Napoleon Bonaparte menyerbu Belanda yang mengakibatkan Raja Willem V mengungsi ke Inggris. Selama menetap di Inggris, ia mengeluarkan instruksi ke seluruh Gubernur Jenderal daerah jajahannya agar menyerahkan daerahnya ke Inggris supaya tidak jatuh ke tangan Perancis. Tahun 1796, Inggris menduduki. Ditambah dengan bubarnya VOC pada Desember 1799, maka hal ini semakin memperlemah kedudukan Belanda di Kepulauan Maluku.

Tetapi pada tanggal 14 November 1805, Tidore kehilangan seorang sultan yang pada masa hidupnya dikenal sebagai “Jou Barakati” atau di kalangan orang Inggris disapa dengan “Lord of Forrtune”. Wafatnya Sultan Nuku dalam usia 67 tahun tidak hanya membawa kesedihan bagi rakyat Malaku, tetapi juga memberikan kedukaan bagi rakyat Tobelo, Galela dan Lolada yang telah bergabung ke dalam barisan Nuku sejak awal perjuangannya.

Selain memiliki kecerdasan dan karisma yang kuat, Sultan Nuku terkenal akan keberanian dan kekuatan batinnya. Ia berhasil mentransformasi masa lalu Maluku yang kelam ke dalam era baru yang mampu memberikan kepadanya kemungkinan menyeluruh untuk bangkit dan melepaskan diri dari segala bentuk keterikatan, ketidakbebasan dan penindasan.

Sumber Bacaan :

1. Kepulauan Rempah-rempah. M.Adnan Amal. Kepustakaan Populer Gramedia. 2010.
2. Nusantara. Bernard H.M.Vlekke. Kepustakaan Populer Gramedia. 2008.

Semoga bermanfaat
budi aribowo

sumber foto : epress.anu.edu.au/austronesians/…h08.html

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi