Kiprah Holcim di peta industri semen nasional


Belum tuntasnya pabrik baru untuk mendongkrak kapasitas produksi PT Holcim Indonesia Tbk berujung pada penurunan pasar emiten tersebut. Penyehatan leverage pascakuasi reorganisasi pun membuka ekspektasi baru.

Selama beberapa tahun ke depan, penjualan semen nasional diperkirakan tumbuh stabil sekitar 6%, yang memicu para produsen semen nasional meningkatkan penjualan dan kapasitas pabriknya, tidak terkecuali Holcim.

Perusahaan berinduk di Swiss tersebut berencana mendongkrak produksinya demi meningkatkan penjualan domestik, dengan membangun pabrik di Tuban Jawa Timur. Pabrik berkapasitas 1,7 juta ton per tahun ini menyedot dana US$450 juta atau US$264,7 per ton.

Namun membangun pabrik tentu saja tidak semudah membalik telapak tangan. Konstruksi pabrik tersebut sekarang masih berjalan dan diperkirakan baru tuntas pada 2013 dan efektif beroperasi pada kuartal III/ 2013.

Akibatnya, pertumbuhan volume penjualan semen Holcim Indonesia pada tahun lalu masih berada di bawah level pertumbuhan industri semen nasional. Volume penjualan semen domestik secara nasional tumbuh 6,2% dari 38,41 juta ton pada 2009 menjadi 40,79 juta ton pada 2010.

Analis PT Valbury Asia Securities Budi Rustanto mencatat volume penjualan Holcim di pasar domestik hanya tumbuh 4,9% secara tahunan dari 5,31 juta ton (2009) menjadi 5,56 juta ton (2010). Implikasinya, pangsa pasar Holcim pun melemah dari 13,8% (2009) menjadi 13,6% (2010).

Hal serupa juga terjadi pada total penjualan semen perseroan (termasuk ekspor) yang meski naik 1,9% dari 7,02 juta ton (2009) menjadi 7,15 juta ton (2010), tetapi tidak cukup mengejar volume penjualan semen nasioal yang naik 3,2% dari 42,33 juta ton (2009) menjadi 43,69 juta ton (2010).

Tidak heran, Budi menilai peningkatan kapasitas produksi tersebut merupakan hal yang krusial bagi perseroan untuk mempertahankan pangsa pasar dan kinerjanya dalam beberapa tahun mendatang.

"Kami memperkirakan penetrasi tingkat pertumbuhan volume penjualan semen SMCB akan relatif tinggi pada pasar semen nasional di luar Jawa. Namun demikian, hal ini perlu diperhatikan lebih lanjut mengingat dominasi penjualan semen SMCB selama ini berada di Jawa," tuturnya dalam laporan riset per 16 Februari.

Perseroan, lanjutnya, berencana mencari utang baru dari sindikasi bank untuk membiayai pembangunan pabrik tersebut. Untuk mendukung kinerja pabrik, sarana pelabuhan (jetty) dan sistem pengangkutan juga tengah dibangun.

Karena itu, tidak kebetulan jika emiten semen ini melakukan kuasi reorganisasi pada Desember 2010, yang memungkinkannya fokus berekspansi. Kuasi reorganisasi tersebut mengeliminasi retained loss dan menurunkan rasio leverage perusahaan baik rasio utang terhadap ekuitas atau debt to equity ratio/ DER) maupun net gearing.

"Dengan demikian, posisi neraca yang lebih baik tersebut memfasilitasi perusahaan untuk memperoleh pendanaan eksternal dalam mendanai berbagai ekspansi," komentar Budi.

Secara geografis, volume penjualan Holcim tahun lalu bertumbuh pesat di luar Jawa, terutama di empat wilayah yakni Sumatra, Kalimantan, Nusa Tenggara, dan Sulawesi. Pertumbuhan tersebut terjadi secara kuantitas dan persentase.

Valbury mencatat pertumbuhan penjualan Holcim di keempat wilayah tersebut mencapai 19,2%, 61,3%, 38,4% dan 234,1%, dari 759.000 ton, 187.000 ton, 72.000 ton, dan 7.000 ton pada 2009 menjadi 904.000 ton, 302.000 ton, 99.000 ton dan 23.000 ton pada 2010.

Pangsa pasar juga meningkat di seluruh wilayah tersebut, bersamaan dengan penurunan volume penjualan ekspor mereka secara signifikan sebesar 7,4% dari 1,71 juta ton pada 2009 menjadi 1,59 juta ton pada 2010.

"Kami melihat hal ini lebih disebabkan oleh fokus Holcim memenuhi tingkat permintaan semen yang tinggi di dalam negeri. Kami melihat outlook positif bagi industri semen di dalam negeri pada 2011, seiring dengan prospek makroekonomi yang relatif baik," komentar Budi.

Salah satu pilar kenaikan konsumsi semen nasional tersebut berasal dari sektor properti, konstruksi, dan infrastruktur. Katalis lainnya adalah kondisi makro ekonomi yang baik, kurs rupiah yang stabil, penurunan utang perusahaan, dan level margin yang baik.

Menurut Budi, kenaikan BI Rate sebesar 0,25% menjadi 6,75% belum mempengaruhi tingkat pertumbuhan sektor properti nasional. Sebaliknya, Holcim justru diekspektasikan dapat membagi dividen dalam beberapa tahun mendatang.

"Dengan mengasumsikan pertumbuhan pendapatan 10% pada 2011, valuasi kami dengan menggunakan metode discounted cash flow memperoleh target harga Rp2.700. Oleh karena itu, kami tetap mempertahankan rekomendasi beli saham SMCB," ujar Budi.

Di perdagangan 28 Maret, harga saham perseroan berkode SMCB tersebut melemah 1,73% k level harga Rp1.990 per saham. Nilai kapitalisasi pasarnya mencapai Rp15,25 triliun dengan rasio harga terhadap laba per saham (price to earning ratio/PER) sebesar 16 kali.

(please read Bisnis Indonesia Newspaper)

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi