Mengapa PTBA kalah dari Borneo Lumbung Energy?

Tren kenaikan harga minyak sejak tahun lalu tidak serta-merta menjadi berkah bagi emiten batu bara. Intervensi pemerintah dan jenis produksi baru bara menentukan nasib laba mereka.

Ini terlihat dari kinerja PT Borneo Lumbung Energy Tbk dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) yang berada di titik ekstrem keduanya. Borneo memproduksi coking coal dan mengekspornya, sedangkan PTBA memproduksi thermal coal dan 'dipaksa' menjualannya ke pasar domestik.

Ketika harga minyak mendekati level US$100 per barel awal Januari, harga rata-rata batu bara thermal produksi PTBA telah melonjak ke kisaran US$135,75 per ton, dari US$119,22 per ton selama Desember 2010.

Di sisi lain, harga batu bara coking yang secara nasional paling banyak diproduksi Borneo Energy, bergerak pada kisaran US$230-US$240 per ton, dan diperkirakan mencapai US$250 per ton pada kuartal I/2011.

Di tengah perkembangan itu, Sekretaris Perusahaan Borneo Energy Geroad Jusuf mengatakan pihaknya menjual 1,65 juta ton batu bara pada 2010. Mengacu pada harga jual tahun lalu US$195 per ton, penjualan tersebut setara dengan Rp3,22 triliun.

"Produksi tahun lalu kami sebesar 1,95 juta ton dan dari situ penjualan batu baranya sebesar 1,65 juta ton," tuturnya pekan lalu.

Analis PT Credit Suisse Securities Indonesia Fonny Surya menilai tingginya eksposur Borneo Energy terhadap harga batu bara di pasar spot menguntungkan perseroan, menyusul gangguan cuaca yang berujung pada keterbatasan suplai batu bara di pasar.

Dia memperkirakan emiten yang sahamnya baru berumur 4 bulan di layar bursa ini membukukan pendapatan Rp2,81 triliun pada tahun lalu, atau melesat 1.297,51% dibandingkan dengan pendapatan 2009 yang hanya Rp201 miliar.

"Kami yakin Borneo Energy akan diuntungkan terutama dari peningkatan produksi dan kuatnya harga coking coal. Pasar baru-baru ini melaporkan berbagai harga premium di kisaran US$300 per ton-USS350 per ton untuk kuartal II/2011," tuturnya dalam laporan riset per 8 Maret.

Lonjakan pendapatan itu diperkirakan berlanjut tahun ini menjadi Rp7,25 triliun, atau naik 157,92%. Fonny menilai ada potensi kenaikan terhadap harga rata-rata batu bara yang dipatoknya pada kisaran US$230 per ton.

Data Bloomberg menunjukkan harga batu bara coking per 31 Desember 2010 telah menembus level US$240 per ton. Credit Suisse mempertahankan rekomendasi outperform saham emiten berkode BORN tersebut dengan target harga Rp2.200 per saham.

Kondisi sebaliknya justru terjadi pada PTBA yang harus menjual batu baranya ke pasar dalam negeri, melalui domestic market obligation (DMO). Terlebih, perseroan berstatus perusahaan pelat merah.
Pendapatan emiten pelat merah ini turun 11,6% dari Rp8,95 triliun pada 2009 menjadi Rp7,91 triliun pada tahun lalu, sehingga laba bersihnya terpelanting 26,4% dari Rp2,73 triliun menjadi Rp2,01 triliun.

Kenaikan volume penjualan 2010 dan harga jual masing-masing sebesar 4% dan 4,5% rata-rata tidak cukup untuk menjadi katalis peningkatan kinerja. Padahal, harga batu bara di pasar ekspor tahun lalu mencapai US$67,5 per ton, sedangkan harga pada 2009 sebesar US$64,59 per ton.

Mengutip Direktur Utama PTBA Soekrisno, harga jual rata-rata batu bara di pasar domestik turun menjadi Rp612.366 per ton pada 2010 dari Rp747.417 per ton pada tahun sebelumnya.

Adapun, 63,5% penjualan produk PTBA untuk memenuhi pasar domestik dan sisanya ekspor. "Itu sebabnya nilai penjualan kami turun, meski volumenya naik," jelasnya.

Kepala riset PT e-Trading Securities Betrand Raynaldi menilai kinerja tersebut di bawah konsensus analis, bersamaan dengan koreksi harga sahamnya di pasar sebesar 10,46%, dari Rp22.950 pada 3 Januari 2011 menjadi Rp20,550 pada akhir pekan lalu.

"Pendapatan perusahaan untuk 2010 berada di bawah konsensus analis yang memperkirakan rata-rata laba bersih Rp2,15 triliun dan pendapatan Rp8,44 triliun," ujarnya dalam laporan tim risetnya.

Namun, analis PT Kresna Securities Yohan Kurniawan, dalam laporan riset per 10 Maret, menilai laba bersih BUMN tersebut masih lebih tinggi dibandingkan dengan proyeksinya senilai Rp1,7 triliun, karena ditopang margin operasi yang membaik.

Margin operasi adalah patokan mengukur penerimaan perusahaan setelah membayar biaya produksi seperti gaji, pengerukan tanah, bunga utang, dan lain sebagainya. Secara sederhana, margin operasi adalah laba operasi yang dibagi dengan total penjualan.

"Margin operasi pada kuartal IV/2010 naik menjadi 33,4% dari posisi kuartal III/2010 sebesar 27,9%. Penurunan rasio pengupasan dari 3,74 kali per September 2010 menjadi 3,5 kali pada Desember 2010 menjadi alasan utama menebalnya margin," tuturnya.

Semula, Yohan mengasumsikan rasio pengupasan (strip ratio) sebesar 3,8 kali. Namun, karena PTBA berhasil menekan biaya produksi di strip ratio, laba operasional pun lebih tinggi dari perkiraan Kresna Securities menjadi Rp2,3 triliun.

Strip ratio adalah rasio antara tanah yang dikeruk per ton dengan batu bara yang dikumpulkan setiap tonnya. Semakin rendah rasio ini, berarti semakin efektif kinerja perseroan karena tidak terlalu banyak mengeruk 'sampah.'

Namun, patut dicatat, laba bersih PTBA tahun lalu juga disumbang faktor non-kinerja, terihat dari pendapatan lain-lain sebesar Rp91,6 miliar. Dari sisi kinerja, potensi BUMN ini memaksimalkan laba terganjal kewajiban menyuapi kebutuhan dalam negeri.

(Please read Bisnis Indonesia Newspaper)

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi