Siapa untung dari film impor?
Sejak Jumat (18 feb 2011), seluruh film asing menghilang dari peredaran dan jadwal tayang jejarin bioskop terkenal di Indonesia. Seberapa pengaruhkah hal itu?
Pasar bioskop di Indonesia boleh dibilang sangat potensial. Kondisi itu didukung tren anak muda suka nonton film, bahkan kecenderungan masyarakat yang mulai menyukai film sebagai salah satu sarana refreshing.
Seharusnya ada korelasi positif antara potensi besar dengan pendapatan. Coba kita telaah hasil dari film-film Amrik yang sukses seperti G.I. Joe, Harry Potter and The Half Blood Prince, Transformer, Terminator Salvation, Angels and Demonds, X- Men Origins, 2012, dan Avatar.
Perolehan dari hasil pemutaran di bioskop Indonesia dari delapan film Hollywood yang telah disebutkan di atas mencapai US$22,4 juta. Memang lebih rendah dibandingkan dengan Singapura yang mencapai US$35,5 juta, Malaysia US$37,6 juta, Filipina US$35,7 dan Thailand US$24,0 juta.
Itu menggambarkan potensi film Hollywood di Indonesia belum dikelola dengan baik, karena ada kesalahan sistem distribusi. Hal ini juga berdampak terhadap produksi dalam negeri.
Film-film Hollywood selama ini hanya didominasi oleh importir yang juga pemilik bioskop Twenty One (21), karena grup tersebut sejak lama mendapatkan fasilitas monopoli impor film dan masih diteruskan hingga sekarang.
Kemungkinan karena hanya merekalah yang dikenal Major Studios of USA, yang tidak menjual hak edar filmnya di Indonesia dan lebih senang melakukan distribusi langsung, di mana hasil edarnya menjadi hak dari Major Studios tersebut dan harus dikirimkan ke luar negeri.
Berkaitan dengan sistem distribusi langsung dan nilai perolehan yang begitu besar, timbul pertanyaan bagaimana cara penghitungan bea masuk dari film impor tersebut?
Menurut informasi bahwa nilai pabean yang dilaporkan hanya US$0,43 per meter, maka nilai pabean untuk kedelapan film tersebut di atas, yang diimpor dengan hanya 508 copy dan masing-masing 3.000 meter/copy, hanya US$655.320.
Oleh karena itu, dengan tarif bea masuk film sebesar 10%, negara hanya mendapatkan US$65.532 atau sekitar Rp625 juta saja dengan asumsi nilai film Rp77,8 juta per judul.
Pertanyaannya apakah benar semurah itu harga beli film impor dari Hollywood yang telah menghasilkan US$22,4 juta lebih atau sekitar Rp220 miliar?
Berdasarkan UU Pabean dan pengertian nilai pabean sebagai nilai transaksi yang sebenarnya dibayar oleh importir, termasuk nilai yang harus disetorkan dari hasil edar, maka seharusnya nilai pabean tersebut US$22,4 juta.
Oleh karena itu, bea masuk yang seharusnya masuk ke kas negara dari delapan 8 film tersebut US$2,24 juta atau sekitar Rp22 miliar.
Persoalan itu akhirnya terjawab, setelah pemerintah menaikkan pajak dan bea masuk film impor yang berlaku mulai awal tahun ini.
Regulasi pemerintah itu yang menyebabkan pihak Motion Picture Association (MPA) mengancam akan menarik film dan melarang distribusinya di Indonesia. Buntut dari surat tersebut pihak MPA menghentikan distribusi impor film ke Indonesia terhitung tanggal 17 Februari 2011.
Selama ini, pelaku perflman menilai persoalan ketidak-adilan pembebanan pajak merupakan misteri di dunia perfilman. Masalah ini bagaikan suatu hal yang 'haram' untuk dibicarakan baik karena tokoh-tokoh film merasa dirinya tidak ahli masalah perpajakan maupun karena ada rasa sungkan mencampuri urusan orang. Karena itu, dalam pembahasan dan dalam upaya memajukan perfilman nasional, masalah pajak hampir tidak tersentuh sama sekali.
Tarif dan bea masuk peralatan produksi dan pemutaran film di bioskop (kamera dan proyektor film) lebih besar dari kamera untuk end user atau individu amatir dan alat pemutar film di rumah-rumah dalam bentuk VCD/DVD player.
Besar pajak produksi film nasional saat ini adalah sekitar 10% dari keseluruhan bujet sebuah film. Kalau sebuah film nasional berbujet Rp5 miliar, misalnya, maka besarnya pajak produksinya Rp500 juta. Sementara pajak untuk film impor sekitar 1/10 dari pajak produksi dalam negeri karena hanya membayar pajak (BM + PPN) untuk release copy sekitar Rp50 juta (untuk 20 copy).
Kebijakan kenaikan bea masuk tersebut tertuang dalam surat edaran SE-03/PJ/2011 tentang PPh atas penghasilan berupa royalti dan perlakuan PPN atas pemasukan film impor.
Namun, pemerintah baru melakukan penegasan mengenai kewajiban membayar PPn dan PPh atas pembayaran royalti dan pembayaran bagi hasil edar film impor di mana ketentuan itu bukan hal baru karena memang sudah seharusnya importir film adalah wajib bayar atau wajib pungut atas pajak kewajiban tersebut. Sedangkan untuk besaran bea masuk yang wajib dibayar oleh importir film belum diubah atau disesuaikan.
Beban pajak untuk memproduksi film nasional kurang lebih 10% dari bujet meliputi bea masuk dan PPn atas pengimporan bahan baku dan peralatan produksi film. PPh atas artis, kru teknis dan karyawan film akan semakin meningkat sesuai besaran sektor ekonomi yang terbangun oleh perfilman nasional yang semakin besar.
Beban pajak untuk film impor hanya dikenakan atas pengimporan copy film, yaitu bea masuk 10% dan PPN 10%. Nilai Pabean hanya sebesar nilai biaya cetak copy film, US$0,43 per meter, maka total pajak per meter US$0,0903 per m atau Rp812,70 per m dan total pajak per copy rata-rata 3.000 meter atau US$270,9 (Rp2,4 juta).
Jika memang benar, pihak MPA menghentikan distribusi film ke Indonesia, maka dari sisi positifnya bisa menggiatkan perfilman nasional. Namun, pecinta film hollywood tentu akan kecewa karena menjadi sulit menonton film asing.
Bahkan, saat ini sedang ramai berita soal itu di jejaring sosial semacam Twitter. Namun, analisa sederhana, Indonesia menjadi salah satu pasar terbesar bagi MPA, sehingga pihaknya akan kehilangan pangsa pasar yang cukup besar.
Namun, kendati film-film Hollywood itu sulit masuk ke pasar Indonesia, toh produk bajakan dapat dengan mudah ditemukan di pinggir-pinggir jalan. Apa sih yang tidak ada di Indonesia yang super kreatif ini?
(tengkyu ya Asep...)
Pasar bioskop di Indonesia boleh dibilang sangat potensial. Kondisi itu didukung tren anak muda suka nonton film, bahkan kecenderungan masyarakat yang mulai menyukai film sebagai salah satu sarana refreshing.
Seharusnya ada korelasi positif antara potensi besar dengan pendapatan. Coba kita telaah hasil dari film-film Amrik yang sukses seperti G.I. Joe, Harry Potter and The Half Blood Prince, Transformer, Terminator Salvation, Angels and Demonds, X- Men Origins, 2012, dan Avatar.
Perolehan dari hasil pemutaran di bioskop Indonesia dari delapan film Hollywood yang telah disebutkan di atas mencapai US$22,4 juta. Memang lebih rendah dibandingkan dengan Singapura yang mencapai US$35,5 juta, Malaysia US$37,6 juta, Filipina US$35,7 dan Thailand US$24,0 juta.
Itu menggambarkan potensi film Hollywood di Indonesia belum dikelola dengan baik, karena ada kesalahan sistem distribusi. Hal ini juga berdampak terhadap produksi dalam negeri.
Film-film Hollywood selama ini hanya didominasi oleh importir yang juga pemilik bioskop Twenty One (21), karena grup tersebut sejak lama mendapatkan fasilitas monopoli impor film dan masih diteruskan hingga sekarang.
Kemungkinan karena hanya merekalah yang dikenal Major Studios of USA, yang tidak menjual hak edar filmnya di Indonesia dan lebih senang melakukan distribusi langsung, di mana hasil edarnya menjadi hak dari Major Studios tersebut dan harus dikirimkan ke luar negeri.
Berkaitan dengan sistem distribusi langsung dan nilai perolehan yang begitu besar, timbul pertanyaan bagaimana cara penghitungan bea masuk dari film impor tersebut?
Menurut informasi bahwa nilai pabean yang dilaporkan hanya US$0,43 per meter, maka nilai pabean untuk kedelapan film tersebut di atas, yang diimpor dengan hanya 508 copy dan masing-masing 3.000 meter/copy, hanya US$655.320.
Oleh karena itu, dengan tarif bea masuk film sebesar 10%, negara hanya mendapatkan US$65.532 atau sekitar Rp625 juta saja dengan asumsi nilai film Rp77,8 juta per judul.
Pertanyaannya apakah benar semurah itu harga beli film impor dari Hollywood yang telah menghasilkan US$22,4 juta lebih atau sekitar Rp220 miliar?
Berdasarkan UU Pabean dan pengertian nilai pabean sebagai nilai transaksi yang sebenarnya dibayar oleh importir, termasuk nilai yang harus disetorkan dari hasil edar, maka seharusnya nilai pabean tersebut US$22,4 juta.
Oleh karena itu, bea masuk yang seharusnya masuk ke kas negara dari delapan 8 film tersebut US$2,24 juta atau sekitar Rp22 miliar.
Persoalan itu akhirnya terjawab, setelah pemerintah menaikkan pajak dan bea masuk film impor yang berlaku mulai awal tahun ini.
Regulasi pemerintah itu yang menyebabkan pihak Motion Picture Association (MPA) mengancam akan menarik film dan melarang distribusinya di Indonesia. Buntut dari surat tersebut pihak MPA menghentikan distribusi impor film ke Indonesia terhitung tanggal 17 Februari 2011.
Selama ini, pelaku perflman menilai persoalan ketidak-adilan pembebanan pajak merupakan misteri di dunia perfilman. Masalah ini bagaikan suatu hal yang 'haram' untuk dibicarakan baik karena tokoh-tokoh film merasa dirinya tidak ahli masalah perpajakan maupun karena ada rasa sungkan mencampuri urusan orang. Karena itu, dalam pembahasan dan dalam upaya memajukan perfilman nasional, masalah pajak hampir tidak tersentuh sama sekali.
Tarif dan bea masuk peralatan produksi dan pemutaran film di bioskop (kamera dan proyektor film) lebih besar dari kamera untuk end user atau individu amatir dan alat pemutar film di rumah-rumah dalam bentuk VCD/DVD player.
Besar pajak produksi film nasional saat ini adalah sekitar 10% dari keseluruhan bujet sebuah film. Kalau sebuah film nasional berbujet Rp5 miliar, misalnya, maka besarnya pajak produksinya Rp500 juta. Sementara pajak untuk film impor sekitar 1/10 dari pajak produksi dalam negeri karena hanya membayar pajak (BM + PPN) untuk release copy sekitar Rp50 juta (untuk 20 copy).
Kebijakan kenaikan bea masuk tersebut tertuang dalam surat edaran SE-03/PJ/2011 tentang PPh atas penghasilan berupa royalti dan perlakuan PPN atas pemasukan film impor.
Namun, pemerintah baru melakukan penegasan mengenai kewajiban membayar PPn dan PPh atas pembayaran royalti dan pembayaran bagi hasil edar film impor di mana ketentuan itu bukan hal baru karena memang sudah seharusnya importir film adalah wajib bayar atau wajib pungut atas pajak kewajiban tersebut. Sedangkan untuk besaran bea masuk yang wajib dibayar oleh importir film belum diubah atau disesuaikan.
Beban pajak untuk memproduksi film nasional kurang lebih 10% dari bujet meliputi bea masuk dan PPn atas pengimporan bahan baku dan peralatan produksi film. PPh atas artis, kru teknis dan karyawan film akan semakin meningkat sesuai besaran sektor ekonomi yang terbangun oleh perfilman nasional yang semakin besar.
Beban pajak untuk film impor hanya dikenakan atas pengimporan copy film, yaitu bea masuk 10% dan PPN 10%. Nilai Pabean hanya sebesar nilai biaya cetak copy film, US$0,43 per meter, maka total pajak per meter US$0,0903 per m atau Rp812,70 per m dan total pajak per copy rata-rata 3.000 meter atau US$270,9 (Rp2,4 juta).
Jika memang benar, pihak MPA menghentikan distribusi film ke Indonesia, maka dari sisi positifnya bisa menggiatkan perfilman nasional. Namun, pecinta film hollywood tentu akan kecewa karena menjadi sulit menonton film asing.
Bahkan, saat ini sedang ramai berita soal itu di jejaring sosial semacam Twitter. Namun, analisa sederhana, Indonesia menjadi salah satu pasar terbesar bagi MPA, sehingga pihaknya akan kehilangan pangsa pasar yang cukup besar.
Namun, kendati film-film Hollywood itu sulit masuk ke pasar Indonesia, toh produk bajakan dapat dengan mudah ditemukan di pinggir-pinggir jalan. Apa sih yang tidak ada di Indonesia yang super kreatif ini?
(tengkyu ya Asep...)
Comments