Prospek PT Timah, antara La Nina dan Yasi
Produksi PT Timah Tbk memang diproyeksi menurun pada tahun ini akibat faktor cuaca. Namun sebagian analis masih menyimpan harapan produksi perseroan tetap menguat karena faktor manusia.
Seperti dikutip Bloomberg, Sekretaris Perusahaan PT Timah Abrun Abubakar mengatakan faktor cuaca membayangi perusahaan dengan aktivitas penambangan timah terbesar dunia itu, sehingga produksi timah mereka kemungkinan hanya berkisar 37.000 metrik ton.
Jika benar, penurunan itu menjadi yang keempat berturut-turut sejak 2007. Pada 2010, BUMN ini diproyeksi memproduksi 40.000 ton timah, melemah dari produksi 2009 sebanyak 45.086 ton, turun dari posisi 2008 dan 2007 masing-masing 49.029 ton dan 58.325 ton.
“Kami masih konservatif menetapkan target produksi kami tahun ini, karena semuanya bergantung dengan kondisi cuaca. Kami tidak tahu akan seeksterim apa nanti cuacanya,” ujarnya, pada 14 Januari.
Proyeksi Abrun bukan tanpa alasan. Biro Meterologi Australia memperkirakan La Nina, yang menyebabkan hujan lebat di Australia dan Asia Tenggara, akan berlangsung hingga kuartal kedua 2011.
Selama ini, faktar alam memang sering dituding sebagai biang turunnya produksi beberapa komoditas seperti timah, batu bara, minyak sawit, dan karet pada tahun lalu. Namun, tidak semua pelaku pasar sependapat, karena manusia punya daya untuk meminimalisir itu.
Analis PT Kim Eng Securities Indonesia Lucky Ariesandi menilai acuan tersebut terlalu konservatif. Meski ada berita menggelisahkan seputar La Nina yang kemungkinan berakhir 1‐2 bulan lebih lama dari ekspektasi semula, iklim 2011 secara umum lebih kering.
“Kami yakin outlook harga timah masih akan menggembirakan, karena semua bank sentral di seluruh dunia kecuali China mempertahankan kebijakan moneter longgar,” tuturnya dalam laporan riset per 18 Januari.
Kapasitas produksi lepas pantai, lanjutnya, berpotensi membesar karena Timah akan mulai mengoperasikan 15 kapal keruk penghisap (cutter suction dredger/ CSD) baru pada triwulan II/2010.
Dari sisi pasar, harga berpotensi naik karena suplai terbatas dan terjadi kekurangan pasokan di pasar. Stok global diestimasi jatuh lebih dalam hanya di kisaran 18.000 ton, setara dengan konsumsi 2,6 pekan, turun dari 7,5 pekan (2009) dan 4,8 pekan (2010).
Karenanya, broker asing itu berani memperkirakan produksi PT Timah sebesar 45.000 ton pada 2011 dan 48.000 ton pada 2012. Di sisi lain, harga pokok penjualan (COGS) diproyeksikan sebesar US$17.4000 dan US$15.000 per ton dari sebelumnya US$14.200 dan US$12.500.
“Kami membuat beberapa perubahan terhadap asumsi 2011 dan 2012 yakni rata-rata harga jual sebesar US$25.000 dan US$20.000 per ton untuk 2011 dan 2012, dari perkiraan sebelumnya US$18.000 per ton,” papar Lucky.
Berdasarkan asumsi tersebut, lanjutnya, target harga saham PT Timah diproyeksi sebesar Rp2.625, dengan peringkat tahan atas saham berkode TINS tersebut mengingat kenaikan yang mulai terbatas.
Pasar London
Meski memproyeksi penjualan dan produksi melemah, namun Abrun mematok laba bersih 2010 naik dua kali mengikuti harga logam di pasar London. Mengacu pada laba pada 2009 yang 77% menjadi Rp313,75 miliar (US$34,6 juta), laba 2010 akan menjadi Rp627,5 miliar.
Proyeksi tersebut didasari fakta harga timah di pasar London tahun lalu memang melesat hampir 59%. Credit Suisse memperkirakan harga timah bakal menyentuh level US$28.000 per ton pada kuartal IV/2011.
Segendang sepenarian, Direktur Utama PT Timah Wahid Usman juga menilai harga timah akan menyentuh US$30.000 tahun ini. Kuatkah ekspektasi ini, ataukah hanya proyeksi tanpa dasar?
Dalam salah satu laporan risetnya, analis PT AAA Securities Herman Koeswanto mencatat meski produksi Timah rata-rata berada di bawah konsensus dan estimasi, namun penjualan menunjukkan perbaikan.
Analis tersebut mencatat pada pertengahan tahun lalu, perbaikan kinerja dipicu kenaikan harga rata-rata jual logam timah sebesar 51% menjadi US$16.970 per ton, meski volume penjualan menurun 11% secara tahunan menjadi 9.770 ton.
“Kami masih optimistis volume penjualan akhir 2010 mencapai 48.000 ton mengingat telah dilakukan kontrak pada volume penjualan. Timah menunjukkan perbaikan pada profitabilitas di mana margin kotor dan usahanya mencapai 20% dan 14% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 8% dan 1%,” ulasnya.
Dia mengaku masih menyukai sektor timah, sehingga masih berani mempertahankan rekomendasi beli dengan target harga Rp3.000. Saat ini, saham Timah diperdagangkan pada harga 14,6 kali–11,5 kali dari PER 2010 dan 2011.
Namun, yang tak boleh dilupakan di luar hubungan suplai-permintaan tersebut, tentu saja faktor kenaikan rupiah terhadap dolar dan kenaikan harga minyak mentah dunia yang sedikit-banyak memengaruhi keuntungan Timah pada tahun ini.
Seperti dikutip Bloomberg, Sekretaris Perusahaan PT Timah Abrun Abubakar mengatakan faktor cuaca membayangi perusahaan dengan aktivitas penambangan timah terbesar dunia itu, sehingga produksi timah mereka kemungkinan hanya berkisar 37.000 metrik ton.
Jika benar, penurunan itu menjadi yang keempat berturut-turut sejak 2007. Pada 2010, BUMN ini diproyeksi memproduksi 40.000 ton timah, melemah dari produksi 2009 sebanyak 45.086 ton, turun dari posisi 2008 dan 2007 masing-masing 49.029 ton dan 58.325 ton.
“Kami masih konservatif menetapkan target produksi kami tahun ini, karena semuanya bergantung dengan kondisi cuaca. Kami tidak tahu akan seeksterim apa nanti cuacanya,” ujarnya, pada 14 Januari.
Proyeksi Abrun bukan tanpa alasan. Biro Meterologi Australia memperkirakan La Nina, yang menyebabkan hujan lebat di Australia dan Asia Tenggara, akan berlangsung hingga kuartal kedua 2011.
Selama ini, faktar alam memang sering dituding sebagai biang turunnya produksi beberapa komoditas seperti timah, batu bara, minyak sawit, dan karet pada tahun lalu. Namun, tidak semua pelaku pasar sependapat, karena manusia punya daya untuk meminimalisir itu.
Analis PT Kim Eng Securities Indonesia Lucky Ariesandi menilai acuan tersebut terlalu konservatif. Meski ada berita menggelisahkan seputar La Nina yang kemungkinan berakhir 1‐2 bulan lebih lama dari ekspektasi semula, iklim 2011 secara umum lebih kering.
“Kami yakin outlook harga timah masih akan menggembirakan, karena semua bank sentral di seluruh dunia kecuali China mempertahankan kebijakan moneter longgar,” tuturnya dalam laporan riset per 18 Januari.
Kapasitas produksi lepas pantai, lanjutnya, berpotensi membesar karena Timah akan mulai mengoperasikan 15 kapal keruk penghisap (cutter suction dredger/ CSD) baru pada triwulan II/2010.
Dari sisi pasar, harga berpotensi naik karena suplai terbatas dan terjadi kekurangan pasokan di pasar. Stok global diestimasi jatuh lebih dalam hanya di kisaran 18.000 ton, setara dengan konsumsi 2,6 pekan, turun dari 7,5 pekan (2009) dan 4,8 pekan (2010).
Karenanya, broker asing itu berani memperkirakan produksi PT Timah sebesar 45.000 ton pada 2011 dan 48.000 ton pada 2012. Di sisi lain, harga pokok penjualan (COGS) diproyeksikan sebesar US$17.4000 dan US$15.000 per ton dari sebelumnya US$14.200 dan US$12.500.
“Kami membuat beberapa perubahan terhadap asumsi 2011 dan 2012 yakni rata-rata harga jual sebesar US$25.000 dan US$20.000 per ton untuk 2011 dan 2012, dari perkiraan sebelumnya US$18.000 per ton,” papar Lucky.
Berdasarkan asumsi tersebut, lanjutnya, target harga saham PT Timah diproyeksi sebesar Rp2.625, dengan peringkat tahan atas saham berkode TINS tersebut mengingat kenaikan yang mulai terbatas.
Pasar London
Meski memproyeksi penjualan dan produksi melemah, namun Abrun mematok laba bersih 2010 naik dua kali mengikuti harga logam di pasar London. Mengacu pada laba pada 2009 yang 77% menjadi Rp313,75 miliar (US$34,6 juta), laba 2010 akan menjadi Rp627,5 miliar.
Proyeksi tersebut didasari fakta harga timah di pasar London tahun lalu memang melesat hampir 59%. Credit Suisse memperkirakan harga timah bakal menyentuh level US$28.000 per ton pada kuartal IV/2011.
Segendang sepenarian, Direktur Utama PT Timah Wahid Usman juga menilai harga timah akan menyentuh US$30.000 tahun ini. Kuatkah ekspektasi ini, ataukah hanya proyeksi tanpa dasar?
Dalam salah satu laporan risetnya, analis PT AAA Securities Herman Koeswanto mencatat meski produksi Timah rata-rata berada di bawah konsensus dan estimasi, namun penjualan menunjukkan perbaikan.
Analis tersebut mencatat pada pertengahan tahun lalu, perbaikan kinerja dipicu kenaikan harga rata-rata jual logam timah sebesar 51% menjadi US$16.970 per ton, meski volume penjualan menurun 11% secara tahunan menjadi 9.770 ton.
“Kami masih optimistis volume penjualan akhir 2010 mencapai 48.000 ton mengingat telah dilakukan kontrak pada volume penjualan. Timah menunjukkan perbaikan pada profitabilitas di mana margin kotor dan usahanya mencapai 20% dan 14% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 8% dan 1%,” ulasnya.
Dia mengaku masih menyukai sektor timah, sehingga masih berani mempertahankan rekomendasi beli dengan target harga Rp3.000. Saat ini, saham Timah diperdagangkan pada harga 14,6 kali–11,5 kali dari PER 2010 dan 2011.
Namun, yang tak boleh dilupakan di luar hubungan suplai-permintaan tersebut, tentu saja faktor kenaikan rupiah terhadap dolar dan kenaikan harga minyak mentah dunia yang sedikit-banyak memengaruhi keuntungan Timah pada tahun ini.
Comments