Capping tarif listrik itu apa sih?
PT Angin Ribut adalah industri yang memulai usahanya pada 2008, ketika harga minyak mentah naik dahsyat. Karena khawatir subsidi listrik dikurangi. Angin Ribut dan industri yang lahir bersamaan dengannya diharuskan membayar tagihan listrik dengan model-model kreatif direksi PLN kala itu, seperti business to business dan multiguna, dengan tarif di atas Rp 1.000 per kWh.
Walaupun dengan bersungut-su-ngut, pemilik perusahaan yang tahu tetangga tua di sebelahnya, PT Lancar Jaya masih membayar tagihan rata-rata Rp59O per kWh, harus sabar dan rela mendapat perlakuan berbeda.
Memasuki 2010, nasib mujur dialami PT Maju Bersama yang membuka usaha manufakturnya pada 2010. Perusahaan itu menikmati tarif baru berdasarkan Permen ESDM No.7/2010 yang tarif rata-rata Rp731 per kWh.
Pemilik perusahaan bersyukur karena masih lebih murah dibandingkan dengan Angin Ribut yang membayar lebih tinggi, sekalipun pada mulanya mengeluh mengapa Lancar Jaya boleh menikmati tarif di bawahnya.
Angin Ribut dan Lancar Jaya dikenakan tarif sesuai dengan kesepakatan politik antara pemerintah dan DPR yaitu maksimal turun 18% untuk Angin Ribut dan maksimal naik 18% untuk Lancar Jaya.
Angin Ribut yang dikenakan capping penurunan tarif, diganjar dengan tarif rata-rata sekitar Rp900 per kWh, sedangkan Lancar Jaya mendapat tarif Rp674 per kWh.
Angin Ribut bersama perusahaan lain yang lahir pada 2008-2009 tentu saja merasa menjadi pihak yang dianaktirikan. Protes keras dan somasi mereka lancarkan pada periode Agustus-September 2010 setelah mengetahui ketidakadilan tersebut.
Atas dasar somasi dan protes keras itu dan kesepakatan PLN dan industri bahwa pelaksanaan capping terhadap penaikan dan penurunan tarif tenaga listrik adalah kebijakan ad hoc, akhirnya per 1 Oktober 2010 PLN melepas sepenuhnya capping tarif untuk Angin Ribut dan perusahaan lain yang termasuk dalam kategori pelanggan bisnis.
Kali ini Angin Ribut merasa happy karena tagihannya langsung turun menyesuaikan dengan Permen ESDM No. 7/2010. Pelanggan bisnis mendapatkan tarif tenaga listrik rata-rata Rp731 per kWh.
Dengan alasan yang sama, serta kesepakatan antara pemerintah dan DPR yang dituangkan dalam APBN
2011 tentang subsidi listrik yang ditetapkan Rp40,7 triliun, pada 10 Desember 2010, PLN menyurati Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh.
Surat itu terkait dengan rencana PLN menerapkan secara penuh Permen ESDM No. 7/2010 kepada seluruh pelanggan, termasuk untuk PT Lancar Jaya yang masuk dalam kategori pelanggan industri.
Menteri ESDM belum memberikan respons ketika pada 31 Desember 2010 PLN kembali menyurati pemerintah yang berisi laporan rencana penerapan secara penuh Permen ESDM itu pada 1 Januari 2011.
Adalah Wakil Sekretaris Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Franky Sibarani yang melontarkan bola panas bahwa pelepasan capping itu berakibat melonjakkan tagihan listrik pada bulan berjalan 20%-30%.
Tidak tepat
Momentum pelepasan capping dinilai tidak tepat karena industri dihadapkan pada berbagai persoalan, seperti kenaikan harga bahan baku, suku bunga yang tinggi, serta risiko penurunan daya beli masyarakat terkait dengan rencana pengaturan BBM bersubsidi. Karena minim sosialisasi, rencana pelepasan capping juga dinilai mengganggu perencanaan perusahaan dan akan kesulitan mengantisipasi dampaknya.
Namun, terlepas dari tanggapan emosional Dirut PLN Dahlan Iskan yang menyatakan pengusaha-pengusaha besar yang mengeluhkan pelepasan capping tersebut manja, beberapa fakta terungkap seiring dengan eskalasi krisis komunikasi yang sempat terjadi.
Salah satu yang menarik adalah klaim tidak semua industri menolak pelepasan capping kendati ndak ingin ikut terekspos dalam konflik. Dahlan menyatakan pihak yang mengeluhkan pelepasan capping hanya sebagian kecil dari industri yang ada di Tanah Air.
Direktur Bisnis dan Manajemen Risiko PLN Murtaqi Syamsuddin menambahkan jika kebijakan capping untuk industri tidak dihapus, negara harus menyediakan tambahan subsidi sedikitnya Rpl,8 triliun.
Tambahan subsidi negara sebesar itu hanya akan dinikmati 9.771 perusahaan dari total 38.449 pelanggan industri. Bahkan, fakta lebih mengejutkan lagi terungkap bahwa dari kebutuhan tambahan subsidi itu, Rpl.l triliun di antaranya hanya dinikmati oleh 309 perusahaan.
Murtaqi mengatakan PLN juga meresahkan dasar hukum yang digunakan selama 6 bulan penerapan capping tarif tahun lalu, dan 12 bulan ke depan apabila kebijakan itu tidak dicabut. Dia mengungkapkan penerapan capping tersebut tidak menggunakan dasar hukum positif yang dikenal di republik ini.
"Karena itu hanya berdasarkan kesepakatan antara pemerintah, DPR, industri,dan PLN. Seharusnya kesepakatan politik itu mendapat tindak lanjut menjadi sebuah kebijakan yang resmi. Kami khawatirkan hal ini memicu gugatan dari pihak lain," ungkapnya.
Selain berkonsultasi dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), PLN berencana berkonsultasi dengan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) untuk memastikan PLN tidak melanggar satu hukum positif akibat dari dipertahankannya capping tarif listrik bagi sebagian kecil perusahaan itu.
Apalagi, subsidi listrik dalam APBN 2011 sebesar Rp40,7 triliun telah mengasumsikan penerimaan tarif listrik per pelanggan Rp729 per kWh, yang itu hanya bisa diraih dengan pelepasan capping.
"Kalau ada capping, penerimaan PLN hanya Rp705 per kWh. Artinya PLN bisa melanggar UU No. 10/2010 tentang APBN 2011. Kalau ini bisa menyentuh masalah hukum, kami tidak akan ambil risiko," kata Murtaqi.
(thanks ya Rudi A)
Walaupun dengan bersungut-su-ngut, pemilik perusahaan yang tahu tetangga tua di sebelahnya, PT Lancar Jaya masih membayar tagihan rata-rata Rp59O per kWh, harus sabar dan rela mendapat perlakuan berbeda.
Memasuki 2010, nasib mujur dialami PT Maju Bersama yang membuka usaha manufakturnya pada 2010. Perusahaan itu menikmati tarif baru berdasarkan Permen ESDM No.7/2010 yang tarif rata-rata Rp731 per kWh.
Pemilik perusahaan bersyukur karena masih lebih murah dibandingkan dengan Angin Ribut yang membayar lebih tinggi, sekalipun pada mulanya mengeluh mengapa Lancar Jaya boleh menikmati tarif di bawahnya.
Angin Ribut dan Lancar Jaya dikenakan tarif sesuai dengan kesepakatan politik antara pemerintah dan DPR yaitu maksimal turun 18% untuk Angin Ribut dan maksimal naik 18% untuk Lancar Jaya.
Angin Ribut yang dikenakan capping penurunan tarif, diganjar dengan tarif rata-rata sekitar Rp900 per kWh, sedangkan Lancar Jaya mendapat tarif Rp674 per kWh.
Angin Ribut bersama perusahaan lain yang lahir pada 2008-2009 tentu saja merasa menjadi pihak yang dianaktirikan. Protes keras dan somasi mereka lancarkan pada periode Agustus-September 2010 setelah mengetahui ketidakadilan tersebut.
Atas dasar somasi dan protes keras itu dan kesepakatan PLN dan industri bahwa pelaksanaan capping terhadap penaikan dan penurunan tarif tenaga listrik adalah kebijakan ad hoc, akhirnya per 1 Oktober 2010 PLN melepas sepenuhnya capping tarif untuk Angin Ribut dan perusahaan lain yang termasuk dalam kategori pelanggan bisnis.
Kali ini Angin Ribut merasa happy karena tagihannya langsung turun menyesuaikan dengan Permen ESDM No. 7/2010. Pelanggan bisnis mendapatkan tarif tenaga listrik rata-rata Rp731 per kWh.
Dengan alasan yang sama, serta kesepakatan antara pemerintah dan DPR yang dituangkan dalam APBN
2011 tentang subsidi listrik yang ditetapkan Rp40,7 triliun, pada 10 Desember 2010, PLN menyurati Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh.
Surat itu terkait dengan rencana PLN menerapkan secara penuh Permen ESDM No. 7/2010 kepada seluruh pelanggan, termasuk untuk PT Lancar Jaya yang masuk dalam kategori pelanggan industri.
Menteri ESDM belum memberikan respons ketika pada 31 Desember 2010 PLN kembali menyurati pemerintah yang berisi laporan rencana penerapan secara penuh Permen ESDM itu pada 1 Januari 2011.
Adalah Wakil Sekretaris Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Franky Sibarani yang melontarkan bola panas bahwa pelepasan capping itu berakibat melonjakkan tagihan listrik pada bulan berjalan 20%-30%.
Tidak tepat
Momentum pelepasan capping dinilai tidak tepat karena industri dihadapkan pada berbagai persoalan, seperti kenaikan harga bahan baku, suku bunga yang tinggi, serta risiko penurunan daya beli masyarakat terkait dengan rencana pengaturan BBM bersubsidi. Karena minim sosialisasi, rencana pelepasan capping juga dinilai mengganggu perencanaan perusahaan dan akan kesulitan mengantisipasi dampaknya.
Namun, terlepas dari tanggapan emosional Dirut PLN Dahlan Iskan yang menyatakan pengusaha-pengusaha besar yang mengeluhkan pelepasan capping tersebut manja, beberapa fakta terungkap seiring dengan eskalasi krisis komunikasi yang sempat terjadi.
Salah satu yang menarik adalah klaim tidak semua industri menolak pelepasan capping kendati ndak ingin ikut terekspos dalam konflik. Dahlan menyatakan pihak yang mengeluhkan pelepasan capping hanya sebagian kecil dari industri yang ada di Tanah Air.
Direktur Bisnis dan Manajemen Risiko PLN Murtaqi Syamsuddin menambahkan jika kebijakan capping untuk industri tidak dihapus, negara harus menyediakan tambahan subsidi sedikitnya Rpl,8 triliun.
Tambahan subsidi negara sebesar itu hanya akan dinikmati 9.771 perusahaan dari total 38.449 pelanggan industri. Bahkan, fakta lebih mengejutkan lagi terungkap bahwa dari kebutuhan tambahan subsidi itu, Rpl.l triliun di antaranya hanya dinikmati oleh 309 perusahaan.
Murtaqi mengatakan PLN juga meresahkan dasar hukum yang digunakan selama 6 bulan penerapan capping tarif tahun lalu, dan 12 bulan ke depan apabila kebijakan itu tidak dicabut. Dia mengungkapkan penerapan capping tersebut tidak menggunakan dasar hukum positif yang dikenal di republik ini.
"Karena itu hanya berdasarkan kesepakatan antara pemerintah, DPR, industri,dan PLN. Seharusnya kesepakatan politik itu mendapat tindak lanjut menjadi sebuah kebijakan yang resmi. Kami khawatirkan hal ini memicu gugatan dari pihak lain," ungkapnya.
Selain berkonsultasi dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), PLN berencana berkonsultasi dengan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) untuk memastikan PLN tidak melanggar satu hukum positif akibat dari dipertahankannya capping tarif listrik bagi sebagian kecil perusahaan itu.
Apalagi, subsidi listrik dalam APBN 2011 sebesar Rp40,7 triliun telah mengasumsikan penerimaan tarif listrik per pelanggan Rp729 per kWh, yang itu hanya bisa diraih dengan pelepasan capping.
"Kalau ada capping, penerimaan PLN hanya Rp705 per kWh. Artinya PLN bisa melanggar UU No. 10/2010 tentang APBN 2011. Kalau ini bisa menyentuh masalah hukum, kami tidak akan ambil risiko," kata Murtaqi.
(thanks ya Rudi A)
Comments
keep posting!