Menanti lokomotif di Tanjung Enim
Bagi PT Tambang Batu bara Bukit Asam (Persero) Tbk, Tanjung Enim adalah segalanya. Sebagai lokasi produksi terluas, kenaikan daya angkut ke pelabuhan diperkirakan menjadi katalis kinerja ke depan.
Sejarah pertambangan batu bara di Tanjung Enim dimulai sejak zaman kolonial Belanda pada 1919, dengan menggunakan metode penambangan terbuka (open pit mining) di wilayah operasi pertama, yaitu di Tambang Air Laya.
Selanjutnya mulai 1923, PTBA yang kala itu masih menjadi perusahaan Belanda beroperasi dengan metode penambangan bawah tanah (underground mining) hingga 1940. Produksi untuk kepentingan komersial dimulai pada 1938.
Sampai sekarang, Tanjung Enim di Sumatra Selatan masih merupakan timbunan batu bara terbesar bagi BUMN tersebut seluas 66.414 hektare. Tiga lokasi penambangan lain adalah Peranap Cerenti (17.100 hektare) di Pekanbaru, Ombilin (3.950 hektare) di Sumatra Barat, dan IPC (3.238 Ha) di Kalimatan Timur.
Analis PT eTrading Securities Teddy Dwitama menilai proyek kereta api tidak bisa dinafikan efeknya terhadap kinerja perseroan, mengingat jauhnya lokasi penambangan dari pelabuhan.
Penambahan kapasitas daya angkut kerta menjadi cara paling efektif meningkatkan volume produksi, sehingga sejak 2009 perseroan telah bekerja sama dengan PT Kereta Api Indonesia (KAI) mendongkrak kapasitas angkut batu bara di jalur kereta sekarang.
Tidak cukup dengan itu, perseroan pun bekerja sama dengan beberapa pihak membangun jalur kereta baru sepanjang 307 kilometer (km) yang menghubungkan Tanjung Enim hingga Srengsem (Lampung).
“Jalur baru ini ditargetkan mengangkut 25 juta ton per tahun. Jika kedua proyek ini berjalan, PTBA akan mampu menjual batu bara melalui angkutan kereta api hingga 47,7 juta ton per tahun,” tuturnya dalam laporan riset per 4 Februari.
Jika jalur pertama dibangun bersama KAI, perseroan menggandeng Transpacific Railway Infrastructure dan China Railway Engineering untuk membangun jalur kedua. Mereka membentuk perusahaan patungan bernama PT Bukit Asam Transpacific Railway (BATR).
Proyek-proyek tersebut kini telah mendapat izin Gubernur Lampung, Gubernur Sumatra Selatan, dan Menteri Perhubungan. Untuk operasional dan perawatan kedua jalur tersebut, BATR telah menandatangani kerja sama kontrak dengan China Railway Group.
Di sisi lain, perjanjian dengan KAI mengenai angkutan batu bara jangka panjang [coal transport agreement/ CTA] telah ditandatangani dan berlaku sejak 1 Januari 2010 hingga 31 Desember 2029.
“Dalam perjanjian tersebut, PT KAI menyanggupi kenaikan kapasitas daya angkut batu bara menjadi 22,7 juta ton pada 2014. Kapasitas angkut akan dinaikan bertahap, menjadi 14 juta ton pada 2011, 15,6 juta ton pada 2012, 18,5 juta ton (2013), dan 22,7 juta ton (2014-2029),” ujar Teddy.
Dalam laporan terpisah, analis PT AAA Securities Herman Koeswanto mencatat guna mencapai target pengangkutan 14 juta ton pada 2011, PT KAI berencana menambah enam lokomotif pada 2011.
Di sisi lain, rencana bisnis BATR bersama Rajawali Grup diperkirakan member dampak pertumbuhan organik yang sangat signifikan, dim ana berpotensi melipatgandakan produksi 4 kali lipat pada 2010 dibandingkan dengan 2009.
“Kami masih menyukai PTBA mengingat fundamental perseroan yang solid dan prospek bisnis yang cerah. Kami pertahankan rekomendasi beli kami dengan target harga tetap di Rp21.700 per saham,” tuturnya dalam salah satu risetnya.
Valuasi saham perseroan berkode PTBA tersebut, lanjutnya, memang terlihat tidak menarik pada periode 2010 dan harga sahamnya sudah merefleksikan kondisi kinerja atau pasar telah price in dengan PER sebesar 16 kali dan sembilan kali EV/EBITDA.
Namun untuk valuasi 2011, PTBA masih diperdagangkan menarik pada kisaran 11,8 kali PER 2011–6,8 kali EV/EBITDA 2011. PTBA secara historis memang diperdagangkan premium dibandingkan dengan rata-rata industri.
Saat ini, total wilayah penambangan PTBA mencapai 90.702 hektare, dengan total sumber daya batu bara berjumlah 7,29 miliar ton, dan total cadangan tambang sejumlah 1,99 miliar ton. Lebih dari 80% produksi batu bara mereka digunakan untuk pembangkit listrik.
PTBA tengah memfinalisasi PLTU Banjarsari 2x 100 megawatt (MW) milik PLN senilai US$ 300 juta. Untuk pembangunan PLTU Tanjung Enim 3x10 MW saat ini telah mencapai 55% dengan estimasi nilai US$41 juta.
eTrading Securities mencatat penjualan terbesar sampai 2010 masih dari dalam negeri sebesar 64% dari total penjualan, dan ekspor hanya 36%. Sepanjang Januari-September 2010, volume penjualan BUMN ini naik 12% menjadi 9,78 juta ton, dibandingkan dengan capaian 2009 sebesar 8.73 juta ton.
“Turunnya harga jual batu bara pada Januari-September 2010 mengakibatkan pendapatan PTBA turun 10% menjadi Rp5,9 triliun dibandingkan dengan capaian 2009 sebesar Rp6.5 triliun” komentar Teddy.
Harga jual rata-rata batu bara pada 2010 tercatat melemah 18%, menjadi Rp751,43 per ton, sedangkan pada 2009 menjadi Rp613,21 per ton pada 2010. Ke depan, perseroan bersiap memasukkan faktor tambahan kenaikan daya angkut batu bara terhadap kinerjanya.
Sejarah pertambangan batu bara di Tanjung Enim dimulai sejak zaman kolonial Belanda pada 1919, dengan menggunakan metode penambangan terbuka (open pit mining) di wilayah operasi pertama, yaitu di Tambang Air Laya.
Selanjutnya mulai 1923, PTBA yang kala itu masih menjadi perusahaan Belanda beroperasi dengan metode penambangan bawah tanah (underground mining) hingga 1940. Produksi untuk kepentingan komersial dimulai pada 1938.
Sampai sekarang, Tanjung Enim di Sumatra Selatan masih merupakan timbunan batu bara terbesar bagi BUMN tersebut seluas 66.414 hektare. Tiga lokasi penambangan lain adalah Peranap Cerenti (17.100 hektare) di Pekanbaru, Ombilin (3.950 hektare) di Sumatra Barat, dan IPC (3.238 Ha) di Kalimatan Timur.
Analis PT eTrading Securities Teddy Dwitama menilai proyek kereta api tidak bisa dinafikan efeknya terhadap kinerja perseroan, mengingat jauhnya lokasi penambangan dari pelabuhan.
Penambahan kapasitas daya angkut kerta menjadi cara paling efektif meningkatkan volume produksi, sehingga sejak 2009 perseroan telah bekerja sama dengan PT Kereta Api Indonesia (KAI) mendongkrak kapasitas angkut batu bara di jalur kereta sekarang.
Tidak cukup dengan itu, perseroan pun bekerja sama dengan beberapa pihak membangun jalur kereta baru sepanjang 307 kilometer (km) yang menghubungkan Tanjung Enim hingga Srengsem (Lampung).
“Jalur baru ini ditargetkan mengangkut 25 juta ton per tahun. Jika kedua proyek ini berjalan, PTBA akan mampu menjual batu bara melalui angkutan kereta api hingga 47,7 juta ton per tahun,” tuturnya dalam laporan riset per 4 Februari.
Jika jalur pertama dibangun bersama KAI, perseroan menggandeng Transpacific Railway Infrastructure dan China Railway Engineering untuk membangun jalur kedua. Mereka membentuk perusahaan patungan bernama PT Bukit Asam Transpacific Railway (BATR).
Proyek-proyek tersebut kini telah mendapat izin Gubernur Lampung, Gubernur Sumatra Selatan, dan Menteri Perhubungan. Untuk operasional dan perawatan kedua jalur tersebut, BATR telah menandatangani kerja sama kontrak dengan China Railway Group.
Di sisi lain, perjanjian dengan KAI mengenai angkutan batu bara jangka panjang [coal transport agreement/ CTA] telah ditandatangani dan berlaku sejak 1 Januari 2010 hingga 31 Desember 2029.
“Dalam perjanjian tersebut, PT KAI menyanggupi kenaikan kapasitas daya angkut batu bara menjadi 22,7 juta ton pada 2014. Kapasitas angkut akan dinaikan bertahap, menjadi 14 juta ton pada 2011, 15,6 juta ton pada 2012, 18,5 juta ton (2013), dan 22,7 juta ton (2014-2029),” ujar Teddy.
Dalam laporan terpisah, analis PT AAA Securities Herman Koeswanto mencatat guna mencapai target pengangkutan 14 juta ton pada 2011, PT KAI berencana menambah enam lokomotif pada 2011.
Di sisi lain, rencana bisnis BATR bersama Rajawali Grup diperkirakan member dampak pertumbuhan organik yang sangat signifikan, dim ana berpotensi melipatgandakan produksi 4 kali lipat pada 2010 dibandingkan dengan 2009.
“Kami masih menyukai PTBA mengingat fundamental perseroan yang solid dan prospek bisnis yang cerah. Kami pertahankan rekomendasi beli kami dengan target harga tetap di Rp21.700 per saham,” tuturnya dalam salah satu risetnya.
Valuasi saham perseroan berkode PTBA tersebut, lanjutnya, memang terlihat tidak menarik pada periode 2010 dan harga sahamnya sudah merefleksikan kondisi kinerja atau pasar telah price in dengan PER sebesar 16 kali dan sembilan kali EV/EBITDA.
Namun untuk valuasi 2011, PTBA masih diperdagangkan menarik pada kisaran 11,8 kali PER 2011–6,8 kali EV/EBITDA 2011. PTBA secara historis memang diperdagangkan premium dibandingkan dengan rata-rata industri.
Saat ini, total wilayah penambangan PTBA mencapai 90.702 hektare, dengan total sumber daya batu bara berjumlah 7,29 miliar ton, dan total cadangan tambang sejumlah 1,99 miliar ton. Lebih dari 80% produksi batu bara mereka digunakan untuk pembangkit listrik.
PTBA tengah memfinalisasi PLTU Banjarsari 2x 100 megawatt (MW) milik PLN senilai US$ 300 juta. Untuk pembangunan PLTU Tanjung Enim 3x10 MW saat ini telah mencapai 55% dengan estimasi nilai US$41 juta.
eTrading Securities mencatat penjualan terbesar sampai 2010 masih dari dalam negeri sebesar 64% dari total penjualan, dan ekspor hanya 36%. Sepanjang Januari-September 2010, volume penjualan BUMN ini naik 12% menjadi 9,78 juta ton, dibandingkan dengan capaian 2009 sebesar 8.73 juta ton.
“Turunnya harga jual batu bara pada Januari-September 2010 mengakibatkan pendapatan PTBA turun 10% menjadi Rp5,9 triliun dibandingkan dengan capaian 2009 sebesar Rp6.5 triliun” komentar Teddy.
Harga jual rata-rata batu bara pada 2010 tercatat melemah 18%, menjadi Rp751,43 per ton, sedangkan pada 2009 menjadi Rp613,21 per ton pada 2010. Ke depan, perseroan bersiap memasukkan faktor tambahan kenaikan daya angkut batu bara terhadap kinerjanya.
Comments