Merger yang tak sekedar berbagi sinetron

Sejumlah pertanyaan seakan tak terjawab meski pengumuman rencana penggabungan usaha Indosiar dengan SCTV telah menjadi santapan publik.
Banyak yang menanti seperti apa nantinya bentuk dari perkawinan grup bisnis tersebut? Apakah hal itu hanya terkait dengan pindahnya tayangan sinetron populer seperti Cinta Fitri dan lainnya? Apakah elang akan bermahkota di Daan Mogot atau sebaliknya Indosiar mencaplok sang SCTV.
Hingga kemarin pun kejelasan aksi korporasi antara PT Indosiar Karya Media Tbk dengan PT Elang Mahkota Teknologi Tbk yang memiliki PT Surya Citra Media Tbk, pengendali stasiun televisi SCTV, belum sepenuhnya terkuak.
Penjelasan normatif dikemukakan Direktur Utama Elang Mahkota Teknologi Susanto Suwarto yang menyebutkan manajemen tengah melakukan penjajakan awal untuk melakukan ekspansi atau pengembangan usaha perseroan ke depan.
“Pengembangan usaha ini bisa berbentuk akusisi atau merger yang melibatkan Surya Citra Media dan Indosiar Karya Media,” tuturnya.
Direksi Elang Mahkota telah memperoleh persetujuan pendahuluan dari dewan komisaris, meski prosesnya diperkirakan akan memakan waktu panjang.
Hal senada disampaikan Direktur Utama Surya Citra Media Fofo Sariaatmadja. Surya Citra Media merupakan anak usaha Elang Mahkota Teknologi, pengendali stasiun televisi SCTV.
Bentuk dan struktur akusisi atau merger yang melibatkan ketiga perusahaan yang tercatat di BEI ini, kata Fofo akan didiskusikan dengan dibantu oleh profesi pasar modal yang terkait.
Sebelumnya, direksi Indosiar Karya Media juga mengantongi persetujuan dari dewan komisaris pada 18 Februari 2011 untuk melangsungkan merger dengan kedua perusahaan milik keluarga Sariaatmadja tersebut.
Kalau memang bentuknya merger, perusahaan mana yang akan survive?, Fofo tak mau terlalu dini ambil kesimpulan karena semua kemungkingkan opsinya akan dilihat lebih dulu.
“Hal itu Bergantung pada rumusannya dan masukan dari konsultan. Semua akan dipelajari lebih dulu. Kami belum menunjuk penasihat keuangan, baru akan menunjuk,” kata Fofo yang tercatat menjadi pemilik 5,8% saham di Elang Mahkota tersebut.
Analis senior PT Batavia Prosperindo Sekuritas Tbk Gurasa Siagian justru memperkirakan nama SCTV menjadi entitas dominan pascamerger ketiga perusahaan media tersebut.
Gurasa menilai rencana merger usaha Indosiar Karya Mandiri (kode saham IDKM) dengan Elang Mahkota (EMTK) dan Surya Citra (SCMA) hanya berupa penguatan modal untuk mempermudah ekspansi dan memperkuat divisi usaha penyiaran.
“Saat ini IDKM mengalami kesulitan cash flow dengan kapitalisasi pasar hanya sekitar Rp2 triliun,” kata Gurasa.
Lagipula, Surya Citra memiliki kapitalisasi pasar yang lebih tinggi saat ini dengan posisi Rp7,3 triliun. Kondisi tersebut membuat Indosiar lebih banyak mengeluarkan dana dengan rasio tiga kali modal dibandingkan dengan SCTV.
Karena itu, bagi Gurasa, pertukaran saham akan terjadi dengan komposisi 4 saham SCMA akan berbagi dengan 10 saham IDKM.
Namun itu baru satu skenario. Bisa saja nama keduanya akan tetap berkibar di industri penyiaran nasional, tetapi dengan penggantian nama, pada entitas yang lebih banyak menyerahkan modal, dalam hal ini Indosiar.
Masing-masing antara pihak EMTK dan IDKM akan membentuk unit usaha baru pengganti Indosiar. Penggantian nama hanya untuk memberitahu publik bahwa perusahaan telah merger.
Lain lagi dengan pendapat analis PT Universal Broker Indonesia Satrio Utomo yang menilai grup usaha keluarga Sariaatmadja berpeluang mengakuisisi Indosiar Karya Media jika mempertimbangkan kinerja keuangan kedua perseroan hingga September.
Posisi kas dan setara kas perseroan dengan kode saham SCMA pada 30 September 2010 tercatat sebesar Rp528,21 miliar, sedangkan kas yang dimiliki Indosiar hanya Rp25,43 miliar.
Meski demikian, aksi korporasi SCTV dan Indosiar bukanlah hal yang mengejutkan bila mengingatkan hubungan bisnis keluarga Sariatmadja dengan keluarga Salim sejak beberapa tahun silam
Per akhir Desember 2010, keluarga Salim mengendalikan 27,24% saham Indosiar Media melalui PT Prima Visualindo. Citibank Singapura memegang 8,5% saham, PT Dinamika Usaha Jaya 5,09%, dan investor publik 59,17%.

Warisan Lonsum?


Hubungan bisnis Sariaatmadja dengan Salim paling dikenang ketika terjadi pengambilalihan PT PP London Sumatera Indonesia (Lonsum) sejak 2007. Kala itu, Salim dan grup Indofood membutuhkan lahan sawit untuk menopang bisnisnya terutama pasokan bahan baku untuk minyak goreng bermerek Bimoli.
Lonsum yang memiliki lahan sawit 164.000 hektare merupakan kekayaan keluarga Sariatmadja. Sempat dikabarkan keluarga Salim membayar hingga US$1 miliar untuk kepemilikan emiten dengan kode saham LSIP tersebut.
Salim melalui Indofood Agri Resources, emiten di bursa Singapura, akhirnya menguasai 100% saham LSIP. Pada Mei 2009, RUPS Lonsum masih mengakomodir Keluarga Sariaatmadja dengan adanya Eddy Kusnadi Sariaatmadja yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Utama. Namun, Susanto Suwarto dan Fofo Sariaatmadja keluar dari jajaran komisaris.
Keluarga Sariatmadja malah bersinergi dengan Salim karena tetap berperan melalui kepemilikan 6,8% saham di IndoAgri meskipun saat ini kepemilikan atas nama Eddy Kusnadi Sariatmadja tersisa 4,94%.
Apakah kali ini, giliran keluarga Sariatmadja yang membayar kembali kepada Salim? Namun, Fofo merasa kisah lama itu tak perlu diungkit kembali.
Lagipula, sebelum muncul keterangan resmi merger ini, Indosiar sempat beberapa kali dikabarkan akan diakusisi oleh perusahaan televisi lain. Pada Desember tahun lalu, Indosiar dikabarkan menjalin sinergi dengan TV5 Filipina. Namun itu pun hanya menjadi wacana di antara pelaku pasar.
Yang jelas, Direktur Pengawasan PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Uerip Budhi Prasetyo memberi tenggat 3 hari kepada kedua pihak untuk memberikan penjelasan lengkap soal aksi korporasi itu.
Mengacu pada peraturan Bapepam-LK Nomor IX.E.2 tentang Transaksi Material dan Perubahan Kegiatan Usaha Utama, maka emiten yang akan melakukan transaksi wajib menunjuk pihak independen untuk melaksanakan penilaian dan memberi pendapat tentang kelayakan transaksi.
Tak hanya itu, BEI pun melakukan suspensi terhadap saham EMTK, SCMA dan IDKM terkait dengan volatilitas saham yang dinilai tidak wajar. “Pergerakan saham ini harus dijelaskan, apakah terkait fundamental atau murni aksi korporasi,” ujar Direktur BEI Ito Warsito
Sanksi penangguhan perdagangan sementara dari BEI itu, kata dia, hanya semata untuk melindungi investor.
Saham Indosiar (IDKM) mengalami mengalami volatilitas meninggi lebih dari 10% pada perdagangan Senin hingga mencapai Rp1.010 dan sempat menembus angka 1.020 pada menit terakhir perdagangan sebelum disuspensi.
Kenaikan tajam serupa juga terjadi pada saham PT Surya Citra Media (SCMA) yang naik dari yang sebelumnya stabil di angka Rp3.500 menjadi Rp3.775.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Dadang Rahmat mengatakan pihaknya juga mencermati rencana konsolidasi antara Indosiar dan SCTV untuk melihat kemungkinan dilanggarnya undang-undang (UU) Penyiaran.
Analis PT Asjaya Indosurya Securities Reza Priyambada berpendapat merger Indosiar dan SCTV ini akan membentuk kekuatan baru di industri pertelevisian. "Secara positif ini akan membuka persaingan dan dinamika baru di industri televisi," katanya.
Namun, dia menekankan kedua perseroan harus menghadapi tantangan latar belakang perbedaan budaya dalam mengelola bisnis media.
Keterpautan Indosiar dan SCTV akan menjadikannya sebagai jaringan stasiun televisi dengan pangsa pasar yang mendekati grup PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN) milik Harry Tanoesudibyo yang menguasai 37% pangsa pasar stasiun televisi di Indonesia.
Tentu saja merger SCTV dengan Indosiar diharapkan tak akan berlangsung lama sepanjang sinetron drama Cinta Fitri yang seakan tak kunjung berakhir.

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi