Indofood dan Kenaikan Harga Mie
Krisis pangan, ditandai naiknya harga komoditas tersebut, membayangi kinerja perusahaan yang bergerak di sektor makanan, termasuk PT Indofood Sukses Makmur Tbk, yang dikenal sebagai produsen mi instan.
Tingginya harga bahan baku menekan margin keuntungan perusahaan yang ada di sektor konsumsi.
Cuaca ekstrem yang melanda berbagai negara membuat pasokan bahan pangan terganggu, termasuk pasokan gandum. Anomali cuaca yang terjadi belakangan ini menyebabkan pasokan gandum seret dan sekaligus mengerek harga bahan baku utama mi instan itu.
Lonjakan harga gandum memang tidak mungkin bisa diredam, ditambah munculnya berbagai aksi spekulasi para importir bahan tersebut. Terlebih, Rusia sebagai produsen gandum terbesar ketiga di dunia tahun lalu, juga memberhentikan ekspor gandumnya setelah terjadi kekeringan yang luar biasa di negara Beruang Merah itu.
Kondisi ini tentu saja cukup berpengaruh terhadap PT Indofood Sukses Makmur Tbk, yang merupakan produsen mie instan terbesar di dunia.
Analis CLSA Swati Chopra, dalam risetnya yang dipublikasikan pada 29 Januari 2011, menyebutkan margin Indofood dari penjualan mi akan tergerus, menyusul pergerakan harga gandum.
“Meskipun kami tidak melihat kemungkinan margin terjun bebas, kami memperkirakan margin mi Indofood tidak sebesar sebelumnya yang pernah berada di kisaran 18% hingga 19%,” tulis Swati Chopra.
Swati menyebutkan margin mi yang berada di level 18% hingga 19% pernah dicatat Indofood terjadi sebelum terjadi krisis finansial di Asia beberapa tahun lalu.
Pencapaian serupa juga pernah diraih perusahaan milik Keluarga Salim ini saat Indofood menguasai 90% pangsa pasar mi di Indonesia.
Belakangan, margin mi yang berada di kisaran 19% berhasil dicatat Indofood hanya pada kuartal III/ 2010, di mana harga gandum saat itu berada di level terendah dan sesaat sebelum anak usahanya yakni PT Indofood CBP Tbk melepas saham ke publik.
Namun, harga gandum saat ini telah melejit 40% hingga 50% dari level harga pada kuartal III/ 2010. Kondisi ini memaksa Indofood harus menaikkan harga jual mi instannya.
Menurut riset tersebut, setiap kenaikan 5% harga gandum akan berdampak pada turunnya pendapatan perseroan hingga 7,5%.
Selain itu, Indofood juga menghadapi sejumlah kompetitor dalam segmen bisnis mie instan. Masuknya keluarga William Katuari ke bisnis ini lewat Mie Sedap juga semakin memberikan tantangan bagi Indofood dalam bisnis mi instan.
Analis itu memproyeksikan pendapatan Indofood pada akhir 2010 mencapai Rp39,8 triliun atau naik 7,16% dibandingkan dengan perolehan pada 2009 sebesar Rp37,14 triliun.
Untuk tahun ini, pendapatan diperkirakan mencapai Rp45,8 triliun atau naik 15,07% dibandingkan dengan perkiraan pencapaian tahun lalu.
Selain dari penjualan mie instan dan barang-barang konsumsi lainnya, kinerja perseroan juga ditopang oleh sektor perkebunan serta perdagangan tepung terigu oleh Bogasari.
Pendapatan dari bisnis barang-barang konsumsi mencapai 42% dari total pendapatan, perkebunan sebesar 47% dan Bogasari 11%.
Analis JP Morgan Stevanus Djuanda, dalam riset yang dipublikasikan pada 19 Januari 2011, menilai Indofood cukup berpengalaman dalam menghadapi gejolak pasar, terutama kenaikan harga bahan baku.
“Seperti yang terjadi saat harga tepung terigu naik hingga 300% serta CPO naik 84%, Indofood secara historis berhasil melewati kondisi itu,” tulis Stevanus.
Kendati Indofood menghadapi tantangan dari naiknya harga gandum, perusahaan ini di sisi lain berpotensi mencatat perbaikan kinerja, menyusul berkurangnya utang, setelah melepas sebagian saham Indofood CBP ke pasar.
Indofood CBP pada kuartal III/ 2010 melepas 1,17 miliar saham atau setara dengan 20%
dari total saham perseroan, setelah penawaran umum perdana (IPO) sebanyak 5,83 miliar saham. Dari pelepasan saham itu perseroan bakal mendapatkan dana sekitar Rp 6,29 triliun.
Dari dana yang diperoleh itu, sebesar 70% digunakan untuk melunasi utang dan sisanya digunakan untuk belanja modal perseroan.
Swati Chopra menyebutkan beban utang Indofood berkurang sekitar 13% setelah saham Indofood CPB dilego ke publik lewat IPO. Hal ini akan mendorong perseroan mencatat kenaikan kinerja.
Selain pendapatan, laba bersih emiten berkode INDF ini diperkirakan berada di level Rp2,88 triliun pada akhir 2010 dan menjadi Rp3,01 triliun di penghujung tahun ini.
“Meskipun Indofood telah berhasil mengurangi beban utangnya, kami berharap perseroan terus melakukan aksi korporasi,” katanya.
Tingginya harga bahan baku menekan margin keuntungan perusahaan yang ada di sektor konsumsi.
Cuaca ekstrem yang melanda berbagai negara membuat pasokan bahan pangan terganggu, termasuk pasokan gandum. Anomali cuaca yang terjadi belakangan ini menyebabkan pasokan gandum seret dan sekaligus mengerek harga bahan baku utama mi instan itu.
Lonjakan harga gandum memang tidak mungkin bisa diredam, ditambah munculnya berbagai aksi spekulasi para importir bahan tersebut. Terlebih, Rusia sebagai produsen gandum terbesar ketiga di dunia tahun lalu, juga memberhentikan ekspor gandumnya setelah terjadi kekeringan yang luar biasa di negara Beruang Merah itu.
Kondisi ini tentu saja cukup berpengaruh terhadap PT Indofood Sukses Makmur Tbk, yang merupakan produsen mie instan terbesar di dunia.
Analis CLSA Swati Chopra, dalam risetnya yang dipublikasikan pada 29 Januari 2011, menyebutkan margin Indofood dari penjualan mi akan tergerus, menyusul pergerakan harga gandum.
“Meskipun kami tidak melihat kemungkinan margin terjun bebas, kami memperkirakan margin mi Indofood tidak sebesar sebelumnya yang pernah berada di kisaran 18% hingga 19%,” tulis Swati Chopra.
Swati menyebutkan margin mi yang berada di level 18% hingga 19% pernah dicatat Indofood terjadi sebelum terjadi krisis finansial di Asia beberapa tahun lalu.
Pencapaian serupa juga pernah diraih perusahaan milik Keluarga Salim ini saat Indofood menguasai 90% pangsa pasar mi di Indonesia.
Belakangan, margin mi yang berada di kisaran 19% berhasil dicatat Indofood hanya pada kuartal III/ 2010, di mana harga gandum saat itu berada di level terendah dan sesaat sebelum anak usahanya yakni PT Indofood CBP Tbk melepas saham ke publik.
Namun, harga gandum saat ini telah melejit 40% hingga 50% dari level harga pada kuartal III/ 2010. Kondisi ini memaksa Indofood harus menaikkan harga jual mi instannya.
Menurut riset tersebut, setiap kenaikan 5% harga gandum akan berdampak pada turunnya pendapatan perseroan hingga 7,5%.
Selain itu, Indofood juga menghadapi sejumlah kompetitor dalam segmen bisnis mie instan. Masuknya keluarga William Katuari ke bisnis ini lewat Mie Sedap juga semakin memberikan tantangan bagi Indofood dalam bisnis mi instan.
Analis itu memproyeksikan pendapatan Indofood pada akhir 2010 mencapai Rp39,8 triliun atau naik 7,16% dibandingkan dengan perolehan pada 2009 sebesar Rp37,14 triliun.
Untuk tahun ini, pendapatan diperkirakan mencapai Rp45,8 triliun atau naik 15,07% dibandingkan dengan perkiraan pencapaian tahun lalu.
Selain dari penjualan mie instan dan barang-barang konsumsi lainnya, kinerja perseroan juga ditopang oleh sektor perkebunan serta perdagangan tepung terigu oleh Bogasari.
Pendapatan dari bisnis barang-barang konsumsi mencapai 42% dari total pendapatan, perkebunan sebesar 47% dan Bogasari 11%.
Analis JP Morgan Stevanus Djuanda, dalam riset yang dipublikasikan pada 19 Januari 2011, menilai Indofood cukup berpengalaman dalam menghadapi gejolak pasar, terutama kenaikan harga bahan baku.
“Seperti yang terjadi saat harga tepung terigu naik hingga 300% serta CPO naik 84%, Indofood secara historis berhasil melewati kondisi itu,” tulis Stevanus.
Kendati Indofood menghadapi tantangan dari naiknya harga gandum, perusahaan ini di sisi lain berpotensi mencatat perbaikan kinerja, menyusul berkurangnya utang, setelah melepas sebagian saham Indofood CBP ke pasar.
Indofood CBP pada kuartal III/ 2010 melepas 1,17 miliar saham atau setara dengan 20%
dari total saham perseroan, setelah penawaran umum perdana (IPO) sebanyak 5,83 miliar saham. Dari pelepasan saham itu perseroan bakal mendapatkan dana sekitar Rp 6,29 triliun.
Dari dana yang diperoleh itu, sebesar 70% digunakan untuk melunasi utang dan sisanya digunakan untuk belanja modal perseroan.
Swati Chopra menyebutkan beban utang Indofood berkurang sekitar 13% setelah saham Indofood CPB dilego ke publik lewat IPO. Hal ini akan mendorong perseroan mencatat kenaikan kinerja.
Selain pendapatan, laba bersih emiten berkode INDF ini diperkirakan berada di level Rp2,88 triliun pada akhir 2010 dan menjadi Rp3,01 triliun di penghujung tahun ini.
“Meskipun Indofood telah berhasil mengurangi beban utangnya, kami berharap perseroan terus melakukan aksi korporasi,” katanya.
Comments