Ada Lonsum, Cinta Fitri, SCTV & Indosiar
Pertunangan stasiun televisi Indosiar dan SCTV nampaknya akan segera menuju pelaminan. Apakah aksi merger hanya dipicu oleh pindahnya sinetron populer Cinta Fitri?
Bagi Fofo Sariaatmadja, Presiden Direktur Surya Citra Media, merger itu baru rencana dan setelah ada pemberitahuan kepada Bapepam-LK, prosesnya akan dimulai.
"Sesuai dengan ketentuan, kami harus mengumumkan soal rencana merger ke otoritas bursa. Prosesnya baru akan dimulai dan akan makan waktu," tuturnya.
Menanggapi perusahaan yang akan survive setelah merger, Fofo mengatakan saat ini belum bisa diketahui karena semuanya akan dilihat lebih dulu.
"Hal itu bergantung pada rumusannya dan masukan dari konsultan. Semua akan dipelajari lebih dulu. Kami belum menunjuk penasihat keuangan, baru akan menunjuk," katanya.
Fofo berharap merger diharapkan menciptakan efisiensi yang lebih bagus dan kinerja yang solid. Meski dia juga belum menjelaskan secara detail mengenai jadwal pelaksanaan RUPS terkait dengan merger tersebut.
Kemarin sore (22/2/2011), harga saham Surya Citra Media melonjak 8,57% ke level Rp3.800, saham Elang Mahkota meroket 13,56% ke Rp1.340, dan Indosiar Karya Media naik 6,32% ke Rp1.010.
"Lonjakan terbesar dialami oleh Elang Mahkota karena ada spekulasi di pasar bahwa perusahaan itu nantinya yang survive," tutur satu pialang saham.
Ada yang bilang transaksi merger SCTV dan Indosiar terkait dengan kelanjutan penjualan saham Lonsum milik Keluarga Sariatmadja ke Grup Salim beberapa tahun lalu. Namun Fofo mengatakan sebaiknya tidak usah dikaitkan dengan hal tersebut.
Pada 5 Mei 2009, RUPS PT PP London Sumatera Indonesia Tbk (LSIP) merombak susunan direksi dan komisaris perseroan karena masuknya keluarga Salim sebagai pemegang saham.
Kursi Presiden Komisaris masih mengakomodir Keluarga Sariaatmadja dengan adanya Eddy Kusnadi Sariaatmadja yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Utama. Namun, Susanto Suwarto dan Fofo Sariaatmadja keluar dari jajaran komsaris.
Sementara kursi Direktur Utama kini dijabat oleh Benny Tjoeng yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Utama PT Astra Sedaya Finance dan sempat menjadi wakil dirut PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI).
Itu semua bermula pada 2 tahun sebelumnya, pertengahan mei, sebuah pesan dari Singapura tiba-tiba mengejutkan lantai bursa saham Jakarta. Pesan penting itu datang dari First Durango Singapore Pte. Ltd., pemilik mayoritas saham PT PP London Sumatera Indonesia Tbk. Melalui direksi, mereka meminta otoritas bursa menghentikan sementara perdagangan saham Lonsum. Penyebabnya, mereka sedang membahas transaksi spektakuler.
Kontan saja, aksi itu menggegerkan pasar saham. Apalagi, pada saat bersamaan Indofood juga meminta penghentian serupa. Spekulasi langsung merebak, Lonsum bakal diakuisisi perusahaan milik Grup Salim.
Dugaan itu tak meleset. Tak lama berselang, Indofood mengakui bahwa anak usahanya, IndoAgri, berniat membeli 64,4%-100%n saham perkebunan tertua di Indonesia itu dengan nilai Rp5,7 triliun-Rp9,1 triliun atau US$1 miliar.
Itu adalah transaksi terbesar sepanjang sejarah perkebunan Indonesia. Jual-beli bernilai besar lainnya adalah penjualan 270.000 hektare kebun Grup Salim-yang telah diserahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)-kepada Kumpulan Guthrie Bhd. senilai Rp3,3 triliun pada 2000.
Pembelian Lonsum, pemilik kebun 164 ribu hektare (mencakup kelapa sawit, karet, kakao) jelas akan mengembalikan kejayaan Salim sebagai raja kebun dan sawit Indonesia. Salim sempat tersungkur setelah menyerahkan ratusan ribu hektare kebun ke BPPN pada 1998. Namun, lewat transaksi ini, Salim bakal menguasai 384.000 hektare kebun. Itu setara dengan lima kali lipat luas DKI Jakarta.
"Ini mempercepat target kami memiliki 250.000 hektare kebun sawit yang semula diperkirakan tercapai pada 2015," ujar Direktur Indofood, Thomas Tjhie, kala itu.
Dari total lahan itu, 165.000 hektare merupakan kebun sawit. Ini berarti Salim melompati posisi teratas pemilik kebun sawit di Indonesia saat itu, yakni PT Astra Agro Lestari Tbk 164.000 ha, Asian Agri Group 150.000 ha, dan PT Sinar Mas Agro Tbk (SMART) 95.000 hektare.
Akuisisi ini juga sudah direncanakan Indofood jauh-jauh hari untuk mendongkrak produksi dan memasok kebutuhan minyak sawit mentah (CPO) bagi industri minyak goreng merek Bimoli. Selama ini 50 persen pasokan CPO untuk Bimoli berasal dari luar, yang tergantung pasar yang harganya terus melonjak.
Indofood pernah berniat membeli Astra Agro, namun batal di tengah jalan. Lonsum kemudian jadi incaran berikut. Pertimbangannya, perusahaan ini berpengalaman 100 tahun, berkinerja baik, punya lahan luas serta pusat riset modern-Bah Lias Research Station-yang mampu memproduksi 15 juta benih kelapa sawit unggul. Produktivitas CPO Lonsum juga terbaik, yaitu 5,6 ton per hektare dibandingkan rata-rata nasional 3,5 ton per hektare.
Dengan berbagai keunggulan itu, Lonsum ibarat gadis cantik. Karena itu, selain Salim, ia juga diincar para pemuja lainnya. Namun nasib Salim sedang beruntung. Pada saat banyak orang melamar, pemilik Lonsum merasa lebih sreg dengan Indofood. "Ini kemujuran bagi kami," ujar Presiden Direktur Indofood, Anthoni Salim waktu itu.
Namun Anthoni tentu tak cuma berbekal kemujuran. Dia membawa iming-iming cukup menggiurkan bagi pemilik Lonsum. Menurut hitungan UBS, nilai pembelian itu cukup menarik, setara dengan US$13.000-US$15.000 per hektare. Bandingkan dengan Astra Agro US$11.400 per hektare.
Tawaran memikat lainnya, keluarga Sariaatmadja sebagai pemilik tak sepenuhnya didepak, meski akhirnya 100% saham Lonsum dipegang IndoAgri. Sariaatmadja malah bersinergi dengan Salim karenatetap berperan melalui kepemilikan 6,8% saham di IndoAgri. "Itulah mengapa Sariaatmadja mau menjual ke Salim," ujar Andreas Bokkenheuser, analis UBS Investment Research.
So, kalau Indosiar merger dengan SCTV, bagaimana nasib PT Elang Mahkota Teknologi Tbk, induk usaha PT Surya Citra Media Tbk? rasanya eksistensi keluarga Sariatmadja tetap akan bertahan.
Lagipula prosesnya pun baru tahap lamaran. Meskipun Direktur Utama Indosiar Karya Media Handoko mengatakan rencana merger tersebut telah disetujui di rapat dewan komisaris pada 18 Februari 2011 dan tertuang dalam berita acara rapat dewan komisaris No:01/IKM/BOC/II/2011.
"Dewan komisaris mendukung rencana merger tersebut sepanjang rencana proses merger dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku," kata Handoko dalam keterbukaan informasi kepada Bursa Efek Indonesia (BEI).
Juru Bicara Indosiar Gufron Sakaril membenarkan adanya pemberian laporan rencana aksi korporasi tersebut kepada otoritas bursa termasuk Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam-LK).
Belum dijelaskan secara rinci bentuk penggabungan usaha antara Indosiar dengan SCTV ini. "Belum ada informasi lebih jauh lagi. Ini masih laporan awal," kata Gufron.
Per akhir Desember 2010, keluarga Salim mengendalikan 27,24% saham Indosiar Media melalui PT Prima Visualindo. Citibank Singapura memegang 8,5% saham, PT Dinamika Usaha Jaya 5,09%, dan investor publik 59,17%.
Sebelum muncul keterangan resmi merger ini, perseroan dengan kode saham IDKM ini sempat beberapa kali dikabarkan akan diakusisi oleh perusahaan televisi lain. Sebelumnya memang sudah berhembus kabar Indosiar akan diambil alih oleh Trans TV atau SCTV, tetapi Handoko sempat membantahnya.
Pada Desember tahun lalu, stasiun yang bermarkas di wilayah Daan Mogot Jakarta Barat tersebut dikabarkan menjalin sinergi dengan TV5 Filipina yang dimiliki ABC Development. Namun itu pun hanya menjadi wacana di antara pelaku pasar.
Analis PT Asjaya Indosurya Securities Reza Priyambada berpendapat merger Indosiar dan SCTV ini akan membentuk kekuatan baru di industri pertelevisian. "Secara positif ini akan membuka persaingan dan dinamika baru di industri televisi," katanya.
Namun, dia menekankan kedua perseroan harus menghadapi tantangan latar belakang perbedaan budaya dalam mengelola bisnis media.
Keterpautan Indosiar dan SCTV akan menjadikannya sebagai jaringan stasiun televisi dengan pangsa pasar yang mendekati grup PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN) yang dikuasai Harry Tanoesudibyo.
Grup MNC dengan RCTI, MNC TV dan Global TV menguasai 37% pangsa pasar stasiun televisi di Indonesia.
Namun berdasarkan audience share, SCTV selalu berada di urutan kedua tepat di bawah RCTI sedangkan Indosiar di empat besar di bawah grup Trans yang dimiliki Chairul Tanjung.
SCTV dalam beberapa tahun terakhir dikabarkan juga mencari mitra strategis tetapi tak kunjung berjodoh. Manajemen stasiun TV yang dikelola keluarga Sariatmadja tersebut gencar ekspansi ke daerah.
Salah satunya melalui aksi akuisisi terhadap PT Bangka Tele Vision dengan membeli 85% kepemilikan pemegang saham lama yaitu PT Kuda Persada Sakti dan PY Indonesia Network Information.
Hardijanto Saroso, Corporate Secretary Surya Citra dalam laporan keterbukaan informasi kepada Bursa Efek Indonesia 30 Desember 2010, mengatakan pihaknya membeli 425 lembar saham Bangka Tele Vision. "Total nilai pembelian saham sebesar Rp425 juta atau Rp1 juta per lembar saham pada harga nominal," katanya.
Dari sisi kinerja, Surya Citra Media (SCMA) pengelola SCTV, mencatatkan pendapatan per kuartal III/2010 sebesar Rp1,42 triliun atau naik 17,1%. Laba kotor naik 34,2% menjadi Rp784,8 miliar, EBITDA naik 58,6% jadi Rp571,4 miliar Laba bersih meroket 89,2% menjadi Rp333,5 miliar.
Sementara itu, laba bersih Indosiar Karya Media (IKM) juga meroket 389% menjadi Rp27 miliar pada kuartal III/2010 dibandingkan dengan periode tahun sebelumnya yang merugi sebesar Rp9 miliar. Laba bersih Indosiar tersebut diperkirakan mencapai Rp30 miliar -Rp40 miliar.
Hingga saat ini pendapatan terbesar perseroan hampir 90% dari iklan. Adapun komposisi pendapatan iklan sebanyak 40% dari produk makanan dan minuman, 16% dari perlengkapan mandi, 13% dari produk jasa, dan lain-lainnya.
Analis CLSA Asia Pasific Markets Jessica Irene memperkirakan penetrasi iklan di media cetak maupun televisi kian gencar, mengingat belanja iklan Indonesia per GDP tergolong rendah sekitar 0,3%.
"Belanja iklan rata-rata emerging market sekitar 0,8%, sementara di negara berkembang 0,4%."
Anak usaha IKM, PT Indosiar Visual Mandiri yang mengoperasikan secara langsung stasiun TV di wilayah Daan Mogot Jakarta itu menyiapkan anggaran Rp600 miliar untuk divisi program. Dana sebesar itu, akan digunakan guna meraih rating ke posisi pertama pada tahun ini.
Anggaran Rp600 miliar itu pula yang bisa membuat sinetron Cinta Fitri pun berlabuh di Daan Mogot...
Bagi Fofo Sariaatmadja, Presiden Direktur Surya Citra Media, merger itu baru rencana dan setelah ada pemberitahuan kepada Bapepam-LK, prosesnya akan dimulai.
"Sesuai dengan ketentuan, kami harus mengumumkan soal rencana merger ke otoritas bursa. Prosesnya baru akan dimulai dan akan makan waktu," tuturnya.
Menanggapi perusahaan yang akan survive setelah merger, Fofo mengatakan saat ini belum bisa diketahui karena semuanya akan dilihat lebih dulu.
"Hal itu bergantung pada rumusannya dan masukan dari konsultan. Semua akan dipelajari lebih dulu. Kami belum menunjuk penasihat keuangan, baru akan menunjuk," katanya.
Fofo berharap merger diharapkan menciptakan efisiensi yang lebih bagus dan kinerja yang solid. Meski dia juga belum menjelaskan secara detail mengenai jadwal pelaksanaan RUPS terkait dengan merger tersebut.
Kemarin sore (22/2/2011), harga saham Surya Citra Media melonjak 8,57% ke level Rp3.800, saham Elang Mahkota meroket 13,56% ke Rp1.340, dan Indosiar Karya Media naik 6,32% ke Rp1.010.
"Lonjakan terbesar dialami oleh Elang Mahkota karena ada spekulasi di pasar bahwa perusahaan itu nantinya yang survive," tutur satu pialang saham.
Ada yang bilang transaksi merger SCTV dan Indosiar terkait dengan kelanjutan penjualan saham Lonsum milik Keluarga Sariatmadja ke Grup Salim beberapa tahun lalu. Namun Fofo mengatakan sebaiknya tidak usah dikaitkan dengan hal tersebut.
Pada 5 Mei 2009, RUPS PT PP London Sumatera Indonesia Tbk (LSIP) merombak susunan direksi dan komisaris perseroan karena masuknya keluarga Salim sebagai pemegang saham.
Kursi Presiden Komisaris masih mengakomodir Keluarga Sariaatmadja dengan adanya Eddy Kusnadi Sariaatmadja yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Utama. Namun, Susanto Suwarto dan Fofo Sariaatmadja keluar dari jajaran komsaris.
Sementara kursi Direktur Utama kini dijabat oleh Benny Tjoeng yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Utama PT Astra Sedaya Finance dan sempat menjadi wakil dirut PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI).
Itu semua bermula pada 2 tahun sebelumnya, pertengahan mei, sebuah pesan dari Singapura tiba-tiba mengejutkan lantai bursa saham Jakarta. Pesan penting itu datang dari First Durango Singapore Pte. Ltd., pemilik mayoritas saham PT PP London Sumatera Indonesia Tbk. Melalui direksi, mereka meminta otoritas bursa menghentikan sementara perdagangan saham Lonsum. Penyebabnya, mereka sedang membahas transaksi spektakuler.
Kontan saja, aksi itu menggegerkan pasar saham. Apalagi, pada saat bersamaan Indofood juga meminta penghentian serupa. Spekulasi langsung merebak, Lonsum bakal diakuisisi perusahaan milik Grup Salim.
Dugaan itu tak meleset. Tak lama berselang, Indofood mengakui bahwa anak usahanya, IndoAgri, berniat membeli 64,4%-100%n saham perkebunan tertua di Indonesia itu dengan nilai Rp5,7 triliun-Rp9,1 triliun atau US$1 miliar.
Itu adalah transaksi terbesar sepanjang sejarah perkebunan Indonesia. Jual-beli bernilai besar lainnya adalah penjualan 270.000 hektare kebun Grup Salim-yang telah diserahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)-kepada Kumpulan Guthrie Bhd. senilai Rp3,3 triliun pada 2000.
Pembelian Lonsum, pemilik kebun 164 ribu hektare (mencakup kelapa sawit, karet, kakao) jelas akan mengembalikan kejayaan Salim sebagai raja kebun dan sawit Indonesia. Salim sempat tersungkur setelah menyerahkan ratusan ribu hektare kebun ke BPPN pada 1998. Namun, lewat transaksi ini, Salim bakal menguasai 384.000 hektare kebun. Itu setara dengan lima kali lipat luas DKI Jakarta.
"Ini mempercepat target kami memiliki 250.000 hektare kebun sawit yang semula diperkirakan tercapai pada 2015," ujar Direktur Indofood, Thomas Tjhie, kala itu.
Dari total lahan itu, 165.000 hektare merupakan kebun sawit. Ini berarti Salim melompati posisi teratas pemilik kebun sawit di Indonesia saat itu, yakni PT Astra Agro Lestari Tbk 164.000 ha, Asian Agri Group 150.000 ha, dan PT Sinar Mas Agro Tbk (SMART) 95.000 hektare.
Akuisisi ini juga sudah direncanakan Indofood jauh-jauh hari untuk mendongkrak produksi dan memasok kebutuhan minyak sawit mentah (CPO) bagi industri minyak goreng merek Bimoli. Selama ini 50 persen pasokan CPO untuk Bimoli berasal dari luar, yang tergantung pasar yang harganya terus melonjak.
Indofood pernah berniat membeli Astra Agro, namun batal di tengah jalan. Lonsum kemudian jadi incaran berikut. Pertimbangannya, perusahaan ini berpengalaman 100 tahun, berkinerja baik, punya lahan luas serta pusat riset modern-Bah Lias Research Station-yang mampu memproduksi 15 juta benih kelapa sawit unggul. Produktivitas CPO Lonsum juga terbaik, yaitu 5,6 ton per hektare dibandingkan rata-rata nasional 3,5 ton per hektare.
Dengan berbagai keunggulan itu, Lonsum ibarat gadis cantik. Karena itu, selain Salim, ia juga diincar para pemuja lainnya. Namun nasib Salim sedang beruntung. Pada saat banyak orang melamar, pemilik Lonsum merasa lebih sreg dengan Indofood. "Ini kemujuran bagi kami," ujar Presiden Direktur Indofood, Anthoni Salim waktu itu.
Namun Anthoni tentu tak cuma berbekal kemujuran. Dia membawa iming-iming cukup menggiurkan bagi pemilik Lonsum. Menurut hitungan UBS, nilai pembelian itu cukup menarik, setara dengan US$13.000-US$15.000 per hektare. Bandingkan dengan Astra Agro US$11.400 per hektare.
Tawaran memikat lainnya, keluarga Sariaatmadja sebagai pemilik tak sepenuhnya didepak, meski akhirnya 100% saham Lonsum dipegang IndoAgri. Sariaatmadja malah bersinergi dengan Salim karenatetap berperan melalui kepemilikan 6,8% saham di IndoAgri. "Itulah mengapa Sariaatmadja mau menjual ke Salim," ujar Andreas Bokkenheuser, analis UBS Investment Research.
So, kalau Indosiar merger dengan SCTV, bagaimana nasib PT Elang Mahkota Teknologi Tbk, induk usaha PT Surya Citra Media Tbk? rasanya eksistensi keluarga Sariatmadja tetap akan bertahan.
Lagipula prosesnya pun baru tahap lamaran. Meskipun Direktur Utama Indosiar Karya Media Handoko mengatakan rencana merger tersebut telah disetujui di rapat dewan komisaris pada 18 Februari 2011 dan tertuang dalam berita acara rapat dewan komisaris No:01/IKM/BOC/II/2011.
"Dewan komisaris mendukung rencana merger tersebut sepanjang rencana proses merger dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku," kata Handoko dalam keterbukaan informasi kepada Bursa Efek Indonesia (BEI).
Juru Bicara Indosiar Gufron Sakaril membenarkan adanya pemberian laporan rencana aksi korporasi tersebut kepada otoritas bursa termasuk Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam-LK).
Belum dijelaskan secara rinci bentuk penggabungan usaha antara Indosiar dengan SCTV ini. "Belum ada informasi lebih jauh lagi. Ini masih laporan awal," kata Gufron.
Per akhir Desember 2010, keluarga Salim mengendalikan 27,24% saham Indosiar Media melalui PT Prima Visualindo. Citibank Singapura memegang 8,5% saham, PT Dinamika Usaha Jaya 5,09%, dan investor publik 59,17%.
Sebelum muncul keterangan resmi merger ini, perseroan dengan kode saham IDKM ini sempat beberapa kali dikabarkan akan diakusisi oleh perusahaan televisi lain. Sebelumnya memang sudah berhembus kabar Indosiar akan diambil alih oleh Trans TV atau SCTV, tetapi Handoko sempat membantahnya.
Pada Desember tahun lalu, stasiun yang bermarkas di wilayah Daan Mogot Jakarta Barat tersebut dikabarkan menjalin sinergi dengan TV5 Filipina yang dimiliki ABC Development. Namun itu pun hanya menjadi wacana di antara pelaku pasar.
Analis PT Asjaya Indosurya Securities Reza Priyambada berpendapat merger Indosiar dan SCTV ini akan membentuk kekuatan baru di industri pertelevisian. "Secara positif ini akan membuka persaingan dan dinamika baru di industri televisi," katanya.
Namun, dia menekankan kedua perseroan harus menghadapi tantangan latar belakang perbedaan budaya dalam mengelola bisnis media.
Keterpautan Indosiar dan SCTV akan menjadikannya sebagai jaringan stasiun televisi dengan pangsa pasar yang mendekati grup PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN) yang dikuasai Harry Tanoesudibyo.
Grup MNC dengan RCTI, MNC TV dan Global TV menguasai 37% pangsa pasar stasiun televisi di Indonesia.
Namun berdasarkan audience share, SCTV selalu berada di urutan kedua tepat di bawah RCTI sedangkan Indosiar di empat besar di bawah grup Trans yang dimiliki Chairul Tanjung.
SCTV dalam beberapa tahun terakhir dikabarkan juga mencari mitra strategis tetapi tak kunjung berjodoh. Manajemen stasiun TV yang dikelola keluarga Sariatmadja tersebut gencar ekspansi ke daerah.
Salah satunya melalui aksi akuisisi terhadap PT Bangka Tele Vision dengan membeli 85% kepemilikan pemegang saham lama yaitu PT Kuda Persada Sakti dan PY Indonesia Network Information.
Hardijanto Saroso, Corporate Secretary Surya Citra dalam laporan keterbukaan informasi kepada Bursa Efek Indonesia 30 Desember 2010, mengatakan pihaknya membeli 425 lembar saham Bangka Tele Vision. "Total nilai pembelian saham sebesar Rp425 juta atau Rp1 juta per lembar saham pada harga nominal," katanya.
Dari sisi kinerja, Surya Citra Media (SCMA) pengelola SCTV, mencatatkan pendapatan per kuartal III/2010 sebesar Rp1,42 triliun atau naik 17,1%. Laba kotor naik 34,2% menjadi Rp784,8 miliar, EBITDA naik 58,6% jadi Rp571,4 miliar Laba bersih meroket 89,2% menjadi Rp333,5 miliar.
Sementara itu, laba bersih Indosiar Karya Media (IKM) juga meroket 389% menjadi Rp27 miliar pada kuartal III/2010 dibandingkan dengan periode tahun sebelumnya yang merugi sebesar Rp9 miliar. Laba bersih Indosiar tersebut diperkirakan mencapai Rp30 miliar -Rp40 miliar.
Hingga saat ini pendapatan terbesar perseroan hampir 90% dari iklan. Adapun komposisi pendapatan iklan sebanyak 40% dari produk makanan dan minuman, 16% dari perlengkapan mandi, 13% dari produk jasa, dan lain-lainnya.
Analis CLSA Asia Pasific Markets Jessica Irene memperkirakan penetrasi iklan di media cetak maupun televisi kian gencar, mengingat belanja iklan Indonesia per GDP tergolong rendah sekitar 0,3%.
"Belanja iklan rata-rata emerging market sekitar 0,8%, sementara di negara berkembang 0,4%."
Anak usaha IKM, PT Indosiar Visual Mandiri yang mengoperasikan secara langsung stasiun TV di wilayah Daan Mogot Jakarta itu menyiapkan anggaran Rp600 miliar untuk divisi program. Dana sebesar itu, akan digunakan guna meraih rating ke posisi pertama pada tahun ini.
Anggaran Rp600 miliar itu pula yang bisa membuat sinetron Cinta Fitri pun berlabuh di Daan Mogot...
Comments