Kisah sekuritas underwriter IPO BUMN
“Kami serba salah. Diberi jatah sedikit dikira tidak fair. Tapi diberi saham banyak, dikira sahamnya tidak laku,” kata Direktur Utama Danareksa Sekuritas Marciano Herman.
Dua kali menangani penawaran publik perdana (initial public offering/ IPO) BUMN, dua kali pula underwriter dibuat pusing. Itulah yang mungkin dialami tiga perusahaan sekuritas pelat merah, yaitu PT Danareksa Sekuritas, PT Mandiri Sekuritas dan PT Bahana Securities.
Ketiganya adalah penjamin pelaksana emisi (underwriter) IPO PT Garuda Indonesia (Persero) dan PT Krakatau Steel (Persero Tbk. Belum selesai ribut-ribut IPO Krakatau, di panitia kerja (Panja) DPR, tiga sekuritas itu saat ini tengah menghadapi “persoalan” lain yaitu IPO Garuda.
Berbeda dengan polemik IPO Krakatau yang permintaannya membeludak dan harga perdana yang dinilai terlalu murah, pelepasan saham Garuda ke publik, justru menjadi antitesis dari IPO Krakatau yang laris manis diserap pasar.
Sebut saja Tobing, salah seorang calon investor Garuda. Dia mengaku bisa mendapatkan alokasi saham sebanyak yang dia pesan. Sesuatu yang mustahil terjadi, ketika Krakatau melepas saham perdananya ke pasar.
“Saya pesan 200 lot, dan ternyata saya mendapatkan saham sebanyak yang saya pesan. Justru karena saya dapat saham sebanyak yang dipesan, saya khawatir pesan banyak-banyak. Jangan-jangan saham Garuda sepi peminat,” katanya kemarin.
Besarnya alokasi saham Garuda yang diterima investor tidak terlepas dari kondisi penjualan saham maskapai pelat merah ini. Sejumlah sumber mengatakan underwriter ngos-ngosan menjual saham maskapai penerbangan yang menjadi kebanggan nasional tersebut.
Seperti yang diungkapkan seorang eksekutif di salah satu sekuritas, Bahana Securities yang menjadi salah satu underwriter Garuda kelimpungan lantaran stok saham yang harus dijual masih bertumpuk.
“Jika tidak terserap, saham yang menumpuk itu harus dibagi rata dengan underwriter lain. Padahal, dana yang dibutuhkan untuk membeli sisa saham yang tidak terserap cukup besar, Iya, kalau harganya naik saat listing. Kalau turun, underwriter harus capital loss,” katanya.
Direktur Utama Bahana Securities Eko Yuliantoro saat dikonfirmasi mengatakan pihaknya tetap berupaya menjual saham Garuda sesuai dengan target. Namun dia tidak menjelaskan mengenai potensi yang harus diserap dari saham yang tidak laku itu.
Kesulitan penjualan saham Garuda ini mungkin tidak terjadi apabila Kementerian BUMN selaku pemegang saham mayoritas Garuda tidak melancarkan “aksi balas dendam” IPO Krakatau.
Seperti yang terjadi sebelumnya, harga perdana Krakatau Steel yang dipatok di level Rp850 per saham dianggap terlalu murah. Akibatnya hal itu memicu polemik yang berkepanjangan. Para politisi pun teriak.
Polemik tidak hanya terjadi di kalangan elit politik di parlemen, juga termasuk wartawan, tapi juga sempat dikabarkan membuat hubungan antara Menteri BUMN Mustafa Abubakar dengan pejabat-pejabat sekitarnya menjadi kurang harmonis.
Kementerian BUMN akhirnya mengambil ‘hikmah’ dari IPO Krakatau, sehingga saat Garuda melepaskan saham perdananya, instansi pemerintah ini tidak ingin kecolongan lagi: Harganya dipatok lebih tinggi dari kisaran awal yang ditetapkan.
Underwriter telah sepakat memasang harga di kisaran Rp600-Rp850 per saham. Namun, pada detik-detik terakhir pemerintah melalui Kementerian BUMN tidak memberikan restu. Sebagai gantinya, ditetapkanlah angka Rp750—Rp1.100 per saham.
Harga saham yang ditetapkan itu mencerminkan rasio nilai perusahaan (enterprise value/EV) dibandingkan EBITDA di kisaran 7,3 kali. Banyak pengamat yang menilai harga tersebut lebih mahal ketimbang perusahaan penerbangan yang lain.
Dalam roadshow yang digelar, tidak ada cerita-cerita luar biasa dari investor asing yang akan menyerap saham Garuda. Minimnya respons pasar lalu terlihat saat Kementerian BUMN memangkas jumlah saham dilepas, dan memberi alokasi berlebih untuk pemodal domestik.
Sebelumnya, saham yang akan dilepas ke publik mencapai 9,36 miliar. Namun setelah roadshow, jumlah tersebut dipangkas menjadi 6,3 miliar saham sebagai antisipasi terhadap minimnya jumlah investor yang membeli.
Bagaimanapun, investor mempertimbangkan kinerja sebuah perusahaan sebelum membeli sahamnya. Pun dengan Garuda, investor tetap melihat kondisi perusahaan di masa lalu untuk memperkirakan perusahaan di masa mendatang.
Minimnya minat investor terhadap Garuda tidak lepas dari laporan keuangan Garuda yang identik dengan kerugian masa lalu. Investor butuh pemanis agar bersedia membelinya, dan dengan harga saat ini, pemanis itu dianggap absen.
Menanggapi IPO Garuda sendiri, praktis para pelaku pasar terbelah. Di barisan mereka optimistis, dukungan diberikan dengan valuasi EV/EBITDA, dan sebaliknya di barisan pesimistis banyak pula yang menyodorkan PER untuk menjustifikasinya.
Di balik polemik tersebut, satu hal mempersatukan, yakni situasi pasar yang—meminjam istilah pramugari Garuda—sedang mengalami turbulensi. Tengok saja koreksi indeks bursa yang pernah menjadi terdalam se-Asia pada awal Januari sebesar 2,81% pada 7 Januari.
Dampak situasi pasar ini menyebabkan dua emiten pendatang baru tahun ini menjadi ‘korbannya’ yakni PT Martina Berto Tbk dan PT Megapolitan Development Tbk yang harganya terkoreksi.
Kekhawatiran serupa akan menimpa pencatatan perdana saham Garuda tidak bisa dinafikan. Dalam kondisi tersebut, saham berfundamental sebagus apapun berpotensi tertekan, meski kemudian melambung kembali.
Di titik inilah persoalan valuasi dan ekspektasi atas saham dan kinerja Garuda menjadi perdebatan yang kurang relevan dengan realitas; pasar sedang tidak ramah. Sesuatu yang sebetulnya telah diingatkan oleh perbagai kalangan.
Ekonom dan fungsionaris Partai Amanat Nasional (PAN) Dradjad H. Wibowo jauh-jauh hari telah mengatakan pemodal global sedang mengetes pasar bursa pada Januari dan melakukan aksi ambil untung.
“Untuk itu, Kementerian BUMN perlu menstabilkan pasar melalui Jamsostek dan perusahaan pelat merah lainnya. Jika tidak, akan ada efek domino terhadap IPO BUMN selanjutnya. Sedalam apa, ini yang kita belum ketahui,” ujarnya belum lama ini.
Namun, kementerian saat itu memberi jalan bagi Garuda IPO pada Februari, hingga kesan terburu-buru muncul. Publik belum lupa paparan publik yang terkatung menunggu pernyataan pra efektif, dan prospektus ala kadar yang terbit di harian sore tepat pada hari yang sama.
Dalam beberapa kesempatan, Kepala Biro Penilaian Keuangan Perusahaan (PKP) Sektor Jasa Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) M. Noor Rachman memilih tidak berkomentar menanggapi proses IPO BUMN penerbangan tersebut.
Namun, sumber Bisnis menyebutkan tepat pada hari ketika paparan publik berlangsung, otoritas pasar modal sebenarnya belum menerima Peraturan Pemerintah (PP) dari harus ditandatangani Presiden, sebagai surat meloloskan IPO Garuda.
“Bapepam-LK bersikeras syarat pra efektif belum lengkap, karena PP dari presiden hari itu belum juga turun. Jika asal memberi izin, otoritas pasar modal yang nanti bisa ‘digantung’ jika dipersoalkan kemudian hari,” tuturnya.
Dengan keterburu-buruan itu, Menteri BUMN akhirnya memilih memangkas jumlah saham yang dilepas dan kembali ke investor domestik. Nasib IPO Garuda kini bergantung pada strategi, yang menurut Mustafa masih dirahasiakan, untuk menghadapi turbulensi kali ini.
(artikel ini terbit di Bisnis Indonesia edisi 2 feb 2011)
Dua kali menangani penawaran publik perdana (initial public offering/ IPO) BUMN, dua kali pula underwriter dibuat pusing. Itulah yang mungkin dialami tiga perusahaan sekuritas pelat merah, yaitu PT Danareksa Sekuritas, PT Mandiri Sekuritas dan PT Bahana Securities.
Ketiganya adalah penjamin pelaksana emisi (underwriter) IPO PT Garuda Indonesia (Persero) dan PT Krakatau Steel (Persero Tbk. Belum selesai ribut-ribut IPO Krakatau, di panitia kerja (Panja) DPR, tiga sekuritas itu saat ini tengah menghadapi “persoalan” lain yaitu IPO Garuda.
Berbeda dengan polemik IPO Krakatau yang permintaannya membeludak dan harga perdana yang dinilai terlalu murah, pelepasan saham Garuda ke publik, justru menjadi antitesis dari IPO Krakatau yang laris manis diserap pasar.
Sebut saja Tobing, salah seorang calon investor Garuda. Dia mengaku bisa mendapatkan alokasi saham sebanyak yang dia pesan. Sesuatu yang mustahil terjadi, ketika Krakatau melepas saham perdananya ke pasar.
“Saya pesan 200 lot, dan ternyata saya mendapatkan saham sebanyak yang saya pesan. Justru karena saya dapat saham sebanyak yang dipesan, saya khawatir pesan banyak-banyak. Jangan-jangan saham Garuda sepi peminat,” katanya kemarin.
Besarnya alokasi saham Garuda yang diterima investor tidak terlepas dari kondisi penjualan saham maskapai pelat merah ini. Sejumlah sumber mengatakan underwriter ngos-ngosan menjual saham maskapai penerbangan yang menjadi kebanggan nasional tersebut.
Seperti yang diungkapkan seorang eksekutif di salah satu sekuritas, Bahana Securities yang menjadi salah satu underwriter Garuda kelimpungan lantaran stok saham yang harus dijual masih bertumpuk.
“Jika tidak terserap, saham yang menumpuk itu harus dibagi rata dengan underwriter lain. Padahal, dana yang dibutuhkan untuk membeli sisa saham yang tidak terserap cukup besar, Iya, kalau harganya naik saat listing. Kalau turun, underwriter harus capital loss,” katanya.
Direktur Utama Bahana Securities Eko Yuliantoro saat dikonfirmasi mengatakan pihaknya tetap berupaya menjual saham Garuda sesuai dengan target. Namun dia tidak menjelaskan mengenai potensi yang harus diserap dari saham yang tidak laku itu.
Kesulitan penjualan saham Garuda ini mungkin tidak terjadi apabila Kementerian BUMN selaku pemegang saham mayoritas Garuda tidak melancarkan “aksi balas dendam” IPO Krakatau.
Seperti yang terjadi sebelumnya, harga perdana Krakatau Steel yang dipatok di level Rp850 per saham dianggap terlalu murah. Akibatnya hal itu memicu polemik yang berkepanjangan. Para politisi pun teriak.
Polemik tidak hanya terjadi di kalangan elit politik di parlemen, juga termasuk wartawan, tapi juga sempat dikabarkan membuat hubungan antara Menteri BUMN Mustafa Abubakar dengan pejabat-pejabat sekitarnya menjadi kurang harmonis.
Kementerian BUMN akhirnya mengambil ‘hikmah’ dari IPO Krakatau, sehingga saat Garuda melepaskan saham perdananya, instansi pemerintah ini tidak ingin kecolongan lagi: Harganya dipatok lebih tinggi dari kisaran awal yang ditetapkan.
Underwriter telah sepakat memasang harga di kisaran Rp600-Rp850 per saham. Namun, pada detik-detik terakhir pemerintah melalui Kementerian BUMN tidak memberikan restu. Sebagai gantinya, ditetapkanlah angka Rp750—Rp1.100 per saham.
Harga saham yang ditetapkan itu mencerminkan rasio nilai perusahaan (enterprise value/EV) dibandingkan EBITDA di kisaran 7,3 kali. Banyak pengamat yang menilai harga tersebut lebih mahal ketimbang perusahaan penerbangan yang lain.
Dalam roadshow yang digelar, tidak ada cerita-cerita luar biasa dari investor asing yang akan menyerap saham Garuda. Minimnya respons pasar lalu terlihat saat Kementerian BUMN memangkas jumlah saham dilepas, dan memberi alokasi berlebih untuk pemodal domestik.
Sebelumnya, saham yang akan dilepas ke publik mencapai 9,36 miliar. Namun setelah roadshow, jumlah tersebut dipangkas menjadi 6,3 miliar saham sebagai antisipasi terhadap minimnya jumlah investor yang membeli.
Bagaimanapun, investor mempertimbangkan kinerja sebuah perusahaan sebelum membeli sahamnya. Pun dengan Garuda, investor tetap melihat kondisi perusahaan di masa lalu untuk memperkirakan perusahaan di masa mendatang.
Minimnya minat investor terhadap Garuda tidak lepas dari laporan keuangan Garuda yang identik dengan kerugian masa lalu. Investor butuh pemanis agar bersedia membelinya, dan dengan harga saat ini, pemanis itu dianggap absen.
Menanggapi IPO Garuda sendiri, praktis para pelaku pasar terbelah. Di barisan mereka optimistis, dukungan diberikan dengan valuasi EV/EBITDA, dan sebaliknya di barisan pesimistis banyak pula yang menyodorkan PER untuk menjustifikasinya.
Di balik polemik tersebut, satu hal mempersatukan, yakni situasi pasar yang—meminjam istilah pramugari Garuda—sedang mengalami turbulensi. Tengok saja koreksi indeks bursa yang pernah menjadi terdalam se-Asia pada awal Januari sebesar 2,81% pada 7 Januari.
Dampak situasi pasar ini menyebabkan dua emiten pendatang baru tahun ini menjadi ‘korbannya’ yakni PT Martina Berto Tbk dan PT Megapolitan Development Tbk yang harganya terkoreksi.
Kekhawatiran serupa akan menimpa pencatatan perdana saham Garuda tidak bisa dinafikan. Dalam kondisi tersebut, saham berfundamental sebagus apapun berpotensi tertekan, meski kemudian melambung kembali.
Di titik inilah persoalan valuasi dan ekspektasi atas saham dan kinerja Garuda menjadi perdebatan yang kurang relevan dengan realitas; pasar sedang tidak ramah. Sesuatu yang sebetulnya telah diingatkan oleh perbagai kalangan.
Ekonom dan fungsionaris Partai Amanat Nasional (PAN) Dradjad H. Wibowo jauh-jauh hari telah mengatakan pemodal global sedang mengetes pasar bursa pada Januari dan melakukan aksi ambil untung.
“Untuk itu, Kementerian BUMN perlu menstabilkan pasar melalui Jamsostek dan perusahaan pelat merah lainnya. Jika tidak, akan ada efek domino terhadap IPO BUMN selanjutnya. Sedalam apa, ini yang kita belum ketahui,” ujarnya belum lama ini.
Namun, kementerian saat itu memberi jalan bagi Garuda IPO pada Februari, hingga kesan terburu-buru muncul. Publik belum lupa paparan publik yang terkatung menunggu pernyataan pra efektif, dan prospektus ala kadar yang terbit di harian sore tepat pada hari yang sama.
Dalam beberapa kesempatan, Kepala Biro Penilaian Keuangan Perusahaan (PKP) Sektor Jasa Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) M. Noor Rachman memilih tidak berkomentar menanggapi proses IPO BUMN penerbangan tersebut.
Namun, sumber Bisnis menyebutkan tepat pada hari ketika paparan publik berlangsung, otoritas pasar modal sebenarnya belum menerima Peraturan Pemerintah (PP) dari harus ditandatangani Presiden, sebagai surat meloloskan IPO Garuda.
“Bapepam-LK bersikeras syarat pra efektif belum lengkap, karena PP dari presiden hari itu belum juga turun. Jika asal memberi izin, otoritas pasar modal yang nanti bisa ‘digantung’ jika dipersoalkan kemudian hari,” tuturnya.
Dengan keterburu-buruan itu, Menteri BUMN akhirnya memilih memangkas jumlah saham yang dilepas dan kembali ke investor domestik. Nasib IPO Garuda kini bergantung pada strategi, yang menurut Mustafa masih dirahasiakan, untuk menghadapi turbulensi kali ini.
(artikel ini terbit di Bisnis Indonesia edisi 2 feb 2011)
Comments