Seberapa manis saham emiten farmasi?

Kinerja emiten sektor farmasi masih terpuruk ditengah membaiknya iklim ekonomi Indonesia, kenaikan hanya ditopang oleh beberapa emiten yang mampu menciptakan produk inovatif.

Analis Indo Premier Securities, Ihsan Binarto mengatakan aspek fundamental menghambat fundamental perusahaan sektor farmasi. Termasuk laporan keuangan dan kurang reaktif pada pasar. "Pasar hanya akan melihat performa perusahaan yang bagus," katanya.

Industri farmasi harus pandai menciptakan dan berinovasi dengan produk-produk yang lebih inovatif. Tentunya dengan menekan biaya pengeluaran untuk membukukan laba yang lebih tinggi. "Emiten berkinerja bagus akan sangat dicari orang," katanya.

Ihsan mencontohkan, hingga saat ini, produsen farmasi yang sudah bisa berinovasi sehingga dapat memperbaiki kinerja keuangannya adalah PT Kalbe Farma (KLBF). Kalbe farma banyak menciptakan produk food suplemen, seperti Extra Joss. Produk food supplement itulah sebuah emiten dilihat perform dan inovatif.

Per September, kas dan setara kas akhir Kalbe periode 2010 naik menjadi Rp1,57 triliun dibanding periode yang sama 2009 sebesar Rp1,22 triliun. Pada awal tahun lalu, Kalbe juga mengalokasikan capex sebesar Rp650 miliar. Dana itu sebagian besar akan dialokasikan untuk pembangunan pabrik, pengembangan jaringan distribusi, mengembangkan perangkat teknologi informasi dan riset.

Berdasar data penutupan perdagangan saham pekan lalu, hanya PT Kimia Farma Tbk dan PT Indo Farma Tbk yang mengalami kenaikan signifikan. Kimia farma naik 16 poin atau 12,03% dari pembukaan menjadi 149 poin sedangkan Indo Farma naik 3 poin atau 4,17% menjadi 75 poin.

Selain itu ketiga saham farmasi lainnya, PT Darya Varia Tbk stagnan pada 1.000 poin, PT Kalbe Farma Tbk stagnan pada 2.850 poin dan PT Merck Tbk stagnan pada 94.000 poin. Kondisi selebihnya, masih sama dengan tidak ada pergerakan saham.

Analis Trimegah Securities Handy Hutajaya menilai ditengah kondisi membaiknya iklim ekonomi Indonesia, saham farmasi harusnya mampu naik signifikan. Padahal, lanjut dia, pemerintah telah merevisi besaran anggaran anggaran kesehatan dengan alokasi minimal sebesar 5% dari gross domestic bruto (GDP).

Selain itu, pembiayaan pembelian produk farmasi juga ditunjang dengana anggaran pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dialokasikan minimal 10% GDP. “Besaran anggaran kesehatan sebagaimana dimaksud diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik ,” katanya.

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh