Dana bagi hasil (DBH) sumber daya alam

Pemerintah membuat perkiraan sejumlah alokasi dana bagi hasil sumber daya alam yang lebih rendah Rp2,11 triliun dari ketetapan dalam APBN 2010 menyusul terbitnya sejumlah Peraturan Menteri Keuangan(PMK) baru-baru ini.

Pertama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 26 Januari lalu menerbitkan PMK No.20/PMK.07/2010 tentang Perkiraan Alokasi Dana Bagi Hasil (DBH) Sumber Daya Alam (SDA) Kehutanan Tahun Anggaran 2010 sebesar Rp1,03 triliun bagi 26 provinsi dan 413 kabupaten/kota.

Namun, jika merujuk pada APBN 2010, seharusnya daerah penghasil SDA kehutanan mendapatkan jatah yang lebih besar, yakni hingga Rp1,6 triliun. Artinya ada potensi penurunan DBH SDA kehutanan sekitar Rp570 miliar dari yang seharusnya.

Sehari sebelumnya, 25 Januari, terbit PMK No.12/PMK.07/2010 tentang Perkiraan Alokasi DBH SDA Minyak dan Gas Bumi Tahun Anggaran 2010 sebesar Rp22,59 triliun. Nominal proyeksi tersebut terbagi atas DBH minyak bumi sebesar Rp13,11 triliun dan DBH gas bumi Rp9,48 triliun.

Sementara, dalam APBN 2010 dengan tegas menetapkan DBH minyak bumi sebesar Rp14,1 triliun dan DBH gas bumi Rp9,9 triliun. Apabila dihitung, maka terjadi selisih negative sebesar Rp1,41 triliun antara ketetapan APBN dengan perkiraan Menteri Keuangan.

Potensi penurunan juga terjadi untuk DBH SDA panas bumi yang dalam APBN 2010 ditetapkan sebsar Rp200 miliar. Namun, pada 11 Januari lalu terbit PMK No. 06/PMK.07/2010 yang memperkirakan alokasi dana bagi
hasil sumber daya alam panas bumi untuk tahun anggaran 2010 sebesar Rp195,53 miliar.

Sebelum itu, terbit PMK No. 224/PMK.07/2009 mengenai alokasi dana bagi hasil sumber daya alam pertambangan umum tahun anggaran 2010 yang menuliskan angka proyeksi Rp6,58 triliun atau lebih rendah dari target APBN 2010 yang mematok angka Rp6,6 triliun.

Ada pula PMK No.201/PMK.07/2009 dengan tanggal penerbitan 4 Desember 2009 yang menetapkan alokasi DBH SDA perikanan yang sama dengan ksepakatan APBN 2010, yakni sebesar Rp100 miliar.

Berangkat dari fakta tersebut, Anggota Komisi VI DPR Hasto Kristianto menilai wajar jika sejumlah pemerintah daerah menuntut adanya transparansi perhitungan DBH.

Namun, perlu diluruskan jangan sampai kebijakan DBH dipahami sebagai bentuk egoisme daerah penghasil syang kemudian memunculkan perdebatan untuk memaksimumkan porsi bagi hasil bagi daerah penghasil.

“Karena itulah pemerintah harus membeberkan data terkait formula yang dipakai, mekanisme pencairan , dan porsi pembagian antara daerah penghasil dan non penghasil . Namun, pemerintah juga harus meluruskan agar kebijakan DBH tidak didasarkan pada egoisme daerah penghasil,” ucapnya kepada Bisnis Indonesia, 7 feb 2010.

Intinya, tandas Hasto, kebijakan DBH harus dilaksanakan sesuai perintah konstistusi yang lebih menitik beratkan penggunaan dana pengelolaan SDA untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.

Mardiasmo, Dirjen Perimbangan Keuangan mengakui terjadi penyesuaian proyeksi alokasi dana bagi hasil ke daerah karena mempertimbangkan data bagi hasil yang dilaporkan sejumlah kementerian terkait. Hal ini dalam rangka mengakurasikan data perimbangan keuangan Negara terkait realisasi dengan jatah DBH yang harus disediakan.

"Kalau di APBN (2010) kan bagian dari perencanaan (transfer DBH),tetapi nanti pada saat penyalurannya akan beubah berdasarkan realisasi DBH-nya. Bisa naik bisa turun,” jelasnya.

Intinya, tegas Mardiasmo, hal ini bukan upaya pemerintah melakukan efisiensi anggaran dengan mengurangi jatah DBH daerah. Namun, murni mengacu pada evaluasi data bagi hasil yang dirancang oleh kementerian terkait, seperti Kementerian Kehutanan, Kementerian ESDM, dan lainnya.

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh