Persoalan Gula Nasional

(Sepudin Zuhri)

"Pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab atas karut marutnya pergulaan nasional. Terlalu banyak rente di Kementerian Negara BUMN. Pemerintah malu telanjur sudah bilang kalau Indonesia sudah swasembada gula," ujar pengusaha yang berkecimpung di sektor pergulaan.

Gula menjadi komoditas yang diatur tata niaganya. Kenapa barang yang diatur itu justru selalu tidak beres dan terus muncul berbagai masalah setiap tahunnya.

Ada benarnya juga pernyataan dari sumber di atas tersebut. Pemerintah lah yang bertanggung jawab atas mahalnya harga gula saat ini serta pasokan yang menipis akibat produksi gula pada tahun lalu jauh dari target.

Pemerintah menargetkan produksi gula pada 2009 mencapai 2,9 juta ton, dengan perincian kebutuhan domestik sekitar 2,7 juta ton per tahun, maka akan ada surplus sebanyak 200.000 ton.

Bukannya surplus, fakta yang ada justru produksi turun drastis hanya mencapai 2,4 juta ton.

Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat saja masih kurang 300.000 ton. Belum lagi, gula produksi petani itu, ada yang terserap oleh industri makanan dan minuman skala kecil pada tahun lalu sekitar 200.000 ton.

Artinya defisit gula konsumsi pada tahun lalu mencapai 500.000 ton. Kenapa pemerintah terlalu tinggi memasang target produksi dan celakanya tetap berkukuh dengan target itu. Padahal, produksi gula seharusnya jauh-jauh hari sudah dapat diperhitungkan.

Maksudnya, pemerintah sudah memperhitungkan neraca pergulaan sejak awal 2009, sehingga dapat membuat berbagai skenario jika terjadi penurunan produksi.

Keputusan impor pun seharusnya tidak dilakukan mendadak pada akhir tahun lalu.

Dampaknya, impor dilakukan pada saat harga gula di pasar dunia menyentuh titik tertinggi di atas US$700 per ton pada Januari tahun ini.

Padahal, pada Juli 2009, harga gula masih berada di level US$400 per ton. Berapa banyak kerugian yang harus ditanggung negara. Di sinilah terlihat sisi keangkuhan pemerintah yang tidak didasari fakta yang ada di lapangan. Bahkan, tidak memiliki perencanaan yang matang.

Terus naik

Harga gula di pasar dunia pada Juli 2009 US$454 per ton naik menjadi US$547 per ton pada Agustus dan terus bergerak naik menjadi US$565 per ton pada bulan berikutnya. Pada Oktober 2009, harga gula semakin mahal US$584 per ton, US$597 per ton pada November dan pada akhir tahun lalu sekitar US$563 per ton.

Pemerintah memberikan izin impor gula kristal putih sebanyak 500.000 ton pada Januari-15 April tahun ini pada saat harga US$734 per ton.

Memang, tidak mungkin mengimpor gula kristal putih pada periode Juli-Oktober, karena masih dalam masa giling tebu.

Peraturan Menteri Perdagangan dan Perindustrian No. 527/2004 menyebutkan impor gula kristal putih dapat dilakukan 2 bulan sebelum masuk musim giling tebu dan 2 bulan setelah selesai musim giling.

Masa giling tebu berakhir pada Oktober, sehingga impor baru dapat dilakukan pada Desember tahun lalu saat harga masih sekitar US$600 per ton.

Bahkan, pemerintah dapat memutuskan impor kapan pun melihat produksi turun dan harga dipastikan terus bergerak naik. Tidak harus mengacu pada ketentuan itu, untuk kepentingan hajat hidup orang banyak. Toh, impor gula saat itu pun dipastikan tidak akan membuat harga gula petani jatuh, karena memang harga gula sedang tinggi.

Dirut PT Kencana Gula Manis (KGM) Hatanto Reksodipoetro menyayangkan sikap pemerintah yang terlambat dalam memutuskan impor gula kristal putih, karena tidak percaya dengan adanya fenomena penurunan produksi gula selama tahun lalu.

"Pada waktu itu mendekati akhir tahun, mendekati akhir masa giling tahun 2009, pemerintah yang diwakili Menteri Perdagangan tetap tidak percaya bahwa telah terjadi penurunan produksi gula tebu petani."

Pemerintah, lanjutnya, baru menyadari adanya penurunan produksi gula pada awal tahun ini yang disampaikan para distributor dan pedagang gula.

Dia menambahkan jika keputusan impor gula dilakukan lebih awal, misalkan, pada September tahun lalu saat harga gula putih masih sekitar US$550-US$600 per ton, maka akan menguntungkan perekonomian Indonesia dibandingkan dengan mengimpor saat ini di mana harga mencapai US$760 per ton.

Setelah PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IX, X, XI, PT Rajawali Nusantara Indonesia, Perum Bulog, dan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia melakukan impor, harga gula mulai bergerak turun.

Sangat dikhawatirkan gula impor tersebut sulit terjual di dalam negeri dengan harga tinggi, sedangkan harga gula di pasar dunia mulai bergerak turun. Apalagi mendekati musim giling tebu yang tentu memengaruhi penurunan harga.

Di satu sisi, importir tidak berkenan merugi, tetapi di sisi lain, mereka akan kesulitan jika menjual dengan harga tinggi.

Bahkan, salah satu pedagang gula mengatakan lebih memilih gula rafinasi yang harganya Rp9.100 per kg dibandingkan dengan menebus gula impor yang harganya Rp9.300 per kg.

Harga gula rafinasi pada pekan lalu US$736 per ton, sedangkan pada pekan ini turun menjadi US$714 per ton. Sementara itu, harga raw sugar turun menjadi US$576 per ton dibandingkan dengan sebelumnya US$594 per ton.

Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) M. Yamin Rachman mengatakan harga gula rafinasi dan raw sugar turun cukup signifikan, sehingga memengaruhi penurunan harga jual di dalam negeri.

"Gula rafinasi lebih fleksibel mengikuti perkembangan harga internasional. Saat turun, maka harga di dalam negeri juga turun," ujarnya.

Dia menambahkan karena mengikuti perkembangan harga internasional tersebut, maka menjadi lebih kompetitif dibandingkan dengan gula kristal putih yang diimpor oleh PT Perkebunan Nusantara IX, X, XI, RNI dan Bulog sebanyak 500.000 ton.

Jadi, pemerintah tidak usah malu untuk mengakui kalau Indonesia belum mampu berswasembada gula dan harus melakukan berbagai langkah serta kebijakan bagaimana caranya untuk meningkatkan produksi gula.

Termasuk bagaimana merestrukturisasi PTPN penghasil gula. Apakah perlu kebijakan ekstrem untuk melepas gula ke dalam pasar bebas, sehingga benar-benar melalui mekanisme pasar. Toh, faktanya, selama ini komoditas ini diatur tata niaganya, tetapi tidak kunjung reda dari berbagai permasalahan. (sepudin.zuhri@bisnis.co.id)

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi