Ada apa dengan PIGS?

"Volatilitas tinggi di pasar uang global masih akan berlangsung "

Dua pekan lalu pasar modal dunia mengalami guncangan hebat. Bursa Asia yang sebelumnya terpengaruh oleh pengetatan likuiditas di China dan India kembali berhadapan dengan perkembangan global yang berasal dari Eropa.

Semua ini adalah lanjutan dari krisis di Yunani yang telah berlangsung sejak Desember lalu, dan saat ini melebar ke Portugal dan Spanyol, dan diperkirakan masih akan berlanjut hingga ke Italia ataupun Irlandia. Dari rangkaian inilah muncul istilah PIGS (Portugal, Italy/Ireland, Greece, Spain). Pendeknya, pasar modal dunia terseret oleh PIGS.

Mata uang euro yang semula dianggap sebagai safe heaven mulai pudar reputasinya. Dolar pun beranjak menguat kendati fundamental ekonomi Amerika masih lemah. Efek dari hal ini bersifat negatif terhadap instrumen investasi global, karena kenaikan harga instrumen global selama setahun terakhir ini banyak berasal dari aksi carry trade.

Dalam skema carry trade, spekulator melakukan short pada instrumen dengan imbal hasil rendah (seperti USD) sekaligus mengambil posisi long pada instrumen dengan potensi imbal hasil tinggi semisal saham di emerging markets dan komoditas.

Ketika mata uang yang mengalami posisi short menguat, maka spekulan membalik posisi dengan melakukan carry trade unwinding, di mana saham dan komoditas dijual dan posisi short dinetralkan dengan cara mengambil posisi long.

Akar masalah

Lalu, apa yang menyebabkan Euro melemah? Akar masalah terletak pada konsekuensi penghentian Quantitative Easing (QE) oleh Bank Sentral Eropa (ECB) pada Desember 2009 lalu.

QE adalah usaha bank sentral menstimulasi ekonomi dengan cara melonggarkan kriteria kredit bagi korporasi dan lembaga keuangan. Dengan cara ini, Bank Sentral akan membeli ataupun menerima gadai surat-surat berharga pasar uang dari rating lebih rendah. Untuk kasus Eropa, rating minimal untuk memperoleh pinjaman jangka pendek telah diturunkan menjadi BBB dari semula rating A-.

Sebagai akibatnya, Yunani yang menjadi salah satu negara pengguna mata uang Euro (negara Eurozone) dengan peringkat utang terendah (yaitu BBB), menerbitkan surat utang jangka pendek sebanyak-banyaknya. Hal ini dipicu oleh tingginya permintaan akibat selisih bunga yang tinggi antara surat utang Yunani dan tingkat bunga repo ECB.

Masalah serius muncul saat berakhirnya skema QE. ECB mengetatkan kembali kriteria surat utang yang boleh digunakan untuk transaksi repo. Sialnya, hal ini terjadi bersamaan dengan dua perkembangan penting di Yunani, yaitu peningkatan defisit anggaran pemerintah dan dibukanya penyelidikan atas manipulasi data ekonomi oleh Yunani saat mengajukan diri menjadi anggota Eurozone pada 2002.

Hal itulah yang mendorong terjadinya krisis mini terhadap surat utang Yunani tepat sebulan setelah program QE ECB berakhir pada Desember 2009.

Berhenti sampai di situ? Ternyata tidak. Perhatian pasar uang global bergeser ke negara-negara Eurozone lain yang berpotensi mengalami masalah dalam pendanaan, terkait dengan tingginya defisit anggaran serta tingkat utang terhadap PDB. Dari kriteria lanjutan inilah negara-negara seperti Portugal, Spanyol, Italia dan Irlandia masuk dalam daftar pantau investor global.

Negara-negara dalam PIGS dikenal memiliki defisit anggaran yang lebar dan posisi utang terhadap PDB yang tinggi. Kesepakatan Maastricht yang dijadikan acuan keanggotaan Eurozone memang mengisyaratkan angka defisit maksimum sebesar 3% dan rasio utang terhadap PDB sebesar 60%, namun akibat krisis ekonomi global, diberikan kelonggaran temporer bagi negara-negara Eurozone selama 3 tahun sejak pelanggaran besaran defisit maupun utang.

Masalahnya, tenggat waktu bagi Yunani untuk menekan defisit dan utang adalah tahun 2010 ini. Mengapa secepat itu? Karena bahkan sebelum krisis global berkecamuk Yunani telah melanggar batas kesepakatan Maastricht.

Melihat postur anggaran Yunani tahun ini dan tahun depan, pengetatan defisit dan utang akan sulit sekali terwujud dan terdapat kemungkinan Yunani harus menghadapi sanksi dengan kemungkinan terburuk dipaksa keluar dari keanggotaan Eurozone. Untuk mencegah hal tersebut, usulan agar Yunani meminta bantuan darurat dari IMF telah diwacanakan. Langkah ini dilakukan setelah rencana meminta pinjaman dari China gagal terwujud.

Di dalam Eurozone sendiri terdapat masalah lanjutan, di mana kegagalan dalam mendisiplinkan Yunani akan berkonsekuensi buruk, mengingat hampir seluruh negara Eurozone mengalami pelebaran defisit anggaran sebagai konsekuensi dari penanganan krisis, sehingga tambahan volume utang yang meningkat dapat meningkatkan risiko kegagalan pembayaran (default). Secara empiris, risiko ini meningkat tajam pada negara dengan posisi utang terhadap PDB sekitar 100%. Bila terjadi default, maka efeknya akan menyebar ke seluruh Eurozone.

Hubungan dagang dan transaksi intra Eurozone yang mencapai lebih 70% volume perdagangan, juga membawa konsekuensi pelemahan di salah satu negara anggota berpotensi negatif terhadap ekonomi negara lain lewat transmisi melemahnya angka penjualan bagi korporasi di wilayah Eurozone. Konsekuensinya, potensi penerimaan pajak dapat terganggu dan semakin menyulitkan usaha pemulihan ekonomi Eropa.

Risiko ke depan adalah perlambatan ekonomi dari kawasan Eropa dapat mengganggu pemulihan ekonomi global. Padahal tekanan di sektor keuangan publik masih akan berlanjut, di mana konsultan McKinsey Global mencatat bahwa berbagai pemerintah di dunia secara kumulatif menerbitkan sekitar US$ 3 triliun surat utang baru hanya untuk tahun ini saja.

Dampak ke Indonesia

Menyaksikan betapa sensitifnya dunia terhadap gejolak finansial PIGS, maka negara-negara ekonomi berkembang dan terlebih Indonesia, tentu harus bersikap waspada. Berakhirnya QE oleh Bank of England pada Februari 2010, serta berakhirnya QE oleh The Fed pada bulan Maret 2010 mengisyaratkan bahwa volatilitas tinggi di pasar uang global masih akan berlangsung.

Beruntunglah Indonesia yang secara tepat menerbitkan Global Bond senilai US$2 miliar pada awal Januari 2010 pada saat volatilitas dan tingkat suku bunga masih relatif rendah. Dibantu oleh postur defisit anggaran Indonesia yang lebih rendah daripada tahun 2009 serta posisi utang pemerintah terhadap PDB di bawah 30%, maka posisi Indonesia jauh lebih baik dibanding dengan kebanyakan negara maju dan negara berkembang. Hal itu yang harus terus dipertahankan.

Namun begitu, kewaspadaan finansial masih harus terus dipelihara, mengingat imbas eksternal dari pergerakan nilai tukar, harga komoditas, serta arus investasi global-masih akan berlangsung setidaknya hingga akhir semester pertama tahun 2010 ini. Kita tidak bisa lagi hanya bergantung pada keberuntungan.

Oleh Poltak Hotradero
Head of Research pada PT. Recapital Securities

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi