Mundur itu jantan atau betina?

Tuntutan mundur menjadi satu suku kata yang begitu populer di dunia nyata maupun jagat maya dalam beberapa pekan terakhir. Mulai dari soal jabatan politik, posisi demonstran, rekan kerja hingga ke dunia olahraga.
Di dunia politik, Boediono dan Sri Mulyani Indrawati menjadi nama beken yang dituntut mundur dari jabatan Wapres dan Menteri Keuangan. Nyaris semua orang Indonesia paham, kalau ini terkait dengan kasus Rp6,7 triliun Bank Century yang kini berganti nama menjadi Bank Mutiara.
Pak Boediono baru saja pidato dan mengatakan dirinya tak akan mundur karena bisa menjadi sejarah baru pejabat Indonesia yang lari dari tanggung jawab kalau mundur dari jabatan Wapres karena kasus tersebut.
Bebal, itu kata teriakan otak saya mendengar pernyataan itu. “Ah bebal atau kebal ?” tanya si edithion, one of my Jayabaya colleagues. “Hmm dia merasa kebal sehingga bebal,” kira-kira begitu saya menjawab lewat twitter.
Bagi saya, Boediono dan Sri Mulyani lari dari tanggung jawab kasus Century.
Sikap Boediono, setidaknya bagi saya, mirip dengan gaya ngeyel Raymond Domenech pelatih timnas Prancis yang untuk kesekian kalinya diteriakin mundur oleh para penonton di Stade de France. Rabu, 3 Maret 2010, Les Bleus untuk pertama kalinya dalam 3 dekade kalah dari tim Matador Spanyol.
Domenech berkilah Prancis jadi runner up Piala Dunia 2006 di Jerman ketika Zidane menanduk Materazzi, dan itu juga karena kalah adu penalti dari Italia yang minus pangeran Maldini.
Namun, dosa Domenech sudah begitu banyak. Prancis hancur lebur di Piala Eropa 2008 dan Spanyol yang ditekuk Thierry Henry dkk di Jerman 2006, melumat Les Bleus tanpa ampun.
Dosa lainnya, Prancis seperti tak layak lolos ke Piala Dunia 2010 Afsel karena tak mampu bersaing di kualifikasi. Hanya keberuntungan dan kelihaian Henry yangmembuat Robbie Keane dan Irlandia menangis tersedu kalah dalam playoff tos-tosan terakhir.
Teriakan boooooo dan huuuuuu menjadi koor wajib bagi penonton kepada Domenech dan Henry, tapi itu tak berlaku kepada John Terry, the Skipper of Chelsea. Penonton Stamford Bridge selalu mendukung JT.
John Terry bahkan tahu diri dan harus melepas jabatan England Skipper karena sempat ‘bermain’ dengan Peronchel, model Prancis, yang mantan Wayne Bridge, bek kiri eks Chelsea yang kini di Manchester City.
Meski Chelsea pekan lalu kalah 2-4 dari ManCity dan Bridge enggan menjabat tangan Terry, tetapi JT mendapatkan dukungan lebih dari 80.000 penonton Stadion Wembley ketika Inggris melumat Mesir 3-1 kemarin.
Wayne Rooney bahkan mengatakan JT merupakan kapten Inggris yang sebenar-benarnya, meskipun kemarin Steven Gerrard yang menjadi kapten Three Lions.
Lain lagi dengan sepakbola di Indonesia. Pengurus PSSI yang dipimpin Nurdin Halid mendapatkan banyak tentangan dan bahkan dari para wartawan PWI. Kepengurusan ini tetap akan berlangsung sampai 2011.
Padahal dalam pedoman dasar PSSI yang diratifikasi anggota dalam munas 29 April 2009 di Ancol, ada statuta baru bahwa pengurus PSSI tidak boleh terlibat dalam tindak kriminal. Nurdin memang pernah di penjara.
Salah satu bendahara PSSI Joseph Refo dinonaktifkan baru-baru ini karena menjadi tersangka pembunuhan istri sendiri. Korban wafat akibat luka-luka dipukul tersangka dengan laptop pada dini hari.
Tapi bukan hanya itu, kejengkelan publik terhadap dunia sepakbola di Indonesia. Sudah lebih dari 20 tahun, timnas Garuda tak pernah juara dalam berbagai event internasional. Bahkan Sea Games pun tak pernah punya taji meskipun bermain di Senayan.
Terakhir di Laos, Bambang Pamungkas, Budi Sudarsono dkk tak berkutik di bawah ketiak laos, Vietnam, Singapura ataupun bahkan Thailand. Peringkat Indonesia kini di 137 dunia... kasihan.
Salah siapa? Ada 3 opsi; A. Salah para pelatih dan pemain, B. Salah wasit dan penonton, C. Salah PSSI dan kebijakan. Mari kita bentuk pansus dan voting aja langsung.
Soal pelatih dan pemain rasanya bukanlah persoalan besar. Jumlah penduduk dan popularitas sepakbola di Tanah Air menjadi faktor pemudah mencari pemain berbaka t dari Sabang sampai Merauke.
Dulu Indonesia punya banyak nama pesepakbola terkenal dan pelatih bertangan dingin. Ada nama Tony Pogacnik, Will Coever, sampai nama-nama lawas seperti Rahmad Darmawan, Sartono Anwar dll. Dan yang saya suka adalah selalu ada pemain playmaker sejati di lini tengah yang menjadi idola anak-anak hingga kakek-kakek.
Sejarah mencatat timnas Indonesia tak pernah kekurangan gelandang bertipe kreator atau playmaker.
Pada akhir 1970-an, Indonesia memiliki fantasista sejati dalam diri alm.Ronny Pattinasarani. Di era berikutnya, muncul Zulkarnaen Lubis dan Rully Nere. Lalu Yessy Mustamu dan Inyong Lolombulan.
Saya masih saja teringat dengan gaya elegan Frans Sinatra Huwae lalu Fachri Husaini dan Ansyari ‘uwak’ Lubis. Sebut juga nama-nama beken lain seperti Adjat Sudrajat, Yusuf Bachtiar, Ahmad Muhariyah, Louis Mahodim, Noah Meriem dan Yusuf Ekodono.
Kini, kita masih memiliki Uston Nawawi dan Eduard Ivakdalam yang hingga kini masih aktif bermain di usianya yang menjelang 36 tahun.
Masih ada nama-nama lain, seperti Firman Utina yang kini di Persija dan Eka Ramdani di Persib. Dua orang ini setidaknya punya peran bebas dan gaya seperti Paul Scholes, Iniesta, Deco, meski beda kualitas.
Apakah hanya Firman dan Eka yang harus menanggung tongkat estafet gaya playmaker dari Eduard Ivakdalam ?
Talenta-talenta istimewa selalu lahir di negeri ini. Hanya saja, belakangan ini kesempatan talenta-talenta muda untuk mengasah diri sangat kecil. Mereka tidak mendapatkan kesempatan bermain yang cukup sejak keran pemain asing dibuka lebar-lebar.
Bakat muda Indonesia tidak terasah. Mereka hanya menjadi penghangat di bangku cadangan. Mereka duduk manis menunggu kesempatan bermain datang yang akan tiba jika si pemain asing itu cedera atau terkena akumulasi kartu.
Seperti sulit rasanya menggeser nama-nama berikut ini. Roman Chmelo (Slovakia) di Arema, Robertino Pugliara (Argentina) di Persiba Balikpapan, Zah Rahan (Liberia) di Sriwijaya FC, Leonardo Martin Zada (Brasil) di Persela, Robbie Gaspar (Australia/Kroasia) di Persema, Amarildo de Souza (Brasil) di Persik, dan John Tarkpor (Liberia) di Persebaya.
Ataupun peran Sergio Junior (Brasil) di Persijap, Ronald Fagundez (Uruguay) dan Danilo Fernando (Brasil) di Persisam, dan Esteban Vizcarra (Mexico) di Pelita Jaya.
Tapi seperti tulisan di tabloid BOLA, di posisi pekerja keras timnas Indonesia tidak kekurangan stok pemain yang berkualitas. Ada Ponaryo Astaman (SFC), Syamsul Chaerudin (PSM), Hariono (Persib), Legimin Raharjo (Persik), Ardan Aras (Pelita Jaya), Wijay (Persebaya) maupun I Gede Sukadana (Persela) yang tampil baik di kompetisi liga.
Mental pemain memang perlu ditingkatkan. Setidaknya tak perlu ada kasus pidana bagi perkelahian antarpemain seperti pemain depan Gresik United Bernard Momadao yang divonis hukuman masa percobaan 6 bulan dan denda Rp2.500 olehPengadilan Negeri Solo 4 Maret 2010.
Momadao terbukti bersalah melakukan penganiayaan terhadap Nova Zaenal Muttaqin pemain Persis Solo.
Soal kualitas wasit juga menjadi sorotan. Jumlah wasit berkualitas dan berlisensi A dari FIFA jangan-jangan tak ada. Saya bahkan tak pernah mendengar ada wasit Indonesia dalam pertandingan resmi AFC, apalagi FIFA.
Tak heran, Kapolda Jateng Irjen(pol) Alex Bambang Riatmodjo sampai harus turun tangan masuk ranah sepakbola dengan menahan dan memeriksa setiap wasit yang dicurigai ‘bermain’.
Terakhir ,Polda Jateng memeriksa wasit Dedik Wahyudi dan asisten wasit Fajar Riyadi (Yogyakarta) dan Sutopo (Denpasar) yang menjadi pengadil pertandingan PSIS Semarang melawan Mitra Kukar Kutai Kertanegara.
Kemarin, Ali Kadir, wasit pertandingan PPSM Sakti Magelang vs PSIS Semarang juga diamankan polisi karena untuk diperiksa khawatir ada dugaan suap dari pertandingan yang berakhir 1-1 tersebut.
Namun, saya kira ujung semua ini ada pada aturan dan regulatornya. PSSI bahkan menjadi induk olahraga yang begitu superbody tak bisa dikontrol KONI, KOI ataupun pemerintah. Kebijakan mereka kontroversial.
Sampai-sampai Sindhunata, penulis air mata bola, pada Rabu lalu menulis di Kompas soal tuntutan mundur kepada Nurdin Halid. Sindhunata mencontohkan keputusan mundur Ketua Gereja Protestan Jerman yang meletakkan jabatan karena ditilang polisi akibat mabuk.
Apakah kebijakan bisa disalahkan? Lho itu sudah jelas dan Presiden SBY kan juga telah berpidato dan bilang kebijakan tak bisa disalahkan. Negeri yang aneh... dasar bebal.
Aaah..... sudahlah mendingan saya memberikan dukungan kepada Hanna Prabandari yang berani menyatakan mundur dari Bisnis Indonesia per 1 April 2010, nyaris 5 tahun masa karyanya. Semoga sukses di Allianz Insurance.. dan jangan lupa kalau Jeremy sudah besar, ajak Ale nonton di Senayan ya....

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh