Memang selalu ada jeda dalam koma

Tepat setahun lalu, Kompasianer Fahmi Mubarok menulis dengan kegalauan soal media dalam hubungan antarmanusia.

Pada pukul 00:00, tengah malam, manusia menemukan bahasa sebagai alat komunikasi. Beberapa jam selanjutnya, tidak terlacak kejadian berarti, sampai kira-kira pukul 08:00 pagi, moyang manusia diketahui telah melukis di dinding-dinding gua. Setelah itu pun keadaan kembali lengang. 12 jam setelah itu, pada pukul 08:00 malam, orang Sumeria menemukan tulisan, dan Hieroglyph muncul 40 menit kemudian. Sementara itu, abjad hadir pada pukul 09:28, dan tulisan filsuf Yunani kuno diketahui pada beberapa menit selepas pukul 10:00 malam. Sampai pada jam ini, bisa dilihat bahwa 22 jam (dari 24 jam) berlalu, dengan biasa saja.

Selanjutnya, menjelang tengah malam Gutenberg menemukan mesin cetak. Dan momentum ini menjadi titik awal meningginya percepatan perkembangan teknologi. Telegraf, telepon, fonograf, ditemukan hamper pada menit yang sama. Tak lebih dari 2 menit berjalan, berturut-turut muncul inovasi berupa radio, film suara, computer, xerografi, televisi berwarna. Dan pada menit-menit akhir sebelum tengah malam, ditemukan siaran FM stereofonik, satelit, gabungan telekomunikasi dengan computer (WEB), hanphone, laptop, robot yang mampu menangis, dan sebagainya. Inilah, tengah malam itu.

Barangkali demikian, yang ingin diungkapkan oleh Jalaludin Rahmat. Runtutan yang dimulai pada zaman Homo Cromagnon sampai pada tahun-tahun sekarang ini, yang kurang lebih berjarak 36000 tahun.

Lepas dari tepat atau tidaknya skala yang digunakan pada ringkasan tersebut, setidaknya ada 3 fenomena yang bisa ditangkap darinya. Yang pertama, berkaitan dengan percepatan (akselerasi). Kembali melihat ringkasan, selama 22 jam awal berlalu dengan biasa saja. Justru hanya dalam kurun 2 jam (akhir) itulah, “semuanya” ditemukan hingga seperti sekarang ini. Betapa terjadi kesenjangan kemajuan manusia (atau teknologi?) yang terjadi dalam kurun tersebut. Manusia menjadi sedemikian kreatif dan inovatif.

Yang kedua, adalah perubahan yang terjadi dengan akselerasi tinggi tersebut ternyata berkecenderungan untuk melipat realita. Jaringan WEB, handphone, laptop, MTV, dunia dalam berita, miniatur Negara (TMII), hanyalah beberapa dari sekian banyak penampakan dari kecenderungan tersebut. Adalah “ringkas dan mudah” yang menjadi zikir harian-atau mungkin bisa disebut “ideologi” jika dikaitkan dengan konsepsi Althusser.

Fenomena selanjutnya, adalah keberlanjutan dari fenomena pertama. Jika sebelumnya dikatakan bahwa manusia menjadi sedemikian kreatif dan inovatif, maka fenomena yang ketiga ini adalah kikisnya sifat kritis. Kritis yang hilang bukanlah kritis dalam arti “sekedar sinis”, melainkan kritis yang didahului permenungan reflektif. Karena percepatan yang seperti ini telah tidak mengijinkan manusia untuk sekedar berpaling dari teknologi. Telah terjadi perubahan dalam sebuah percepatan, dan percepatan itu pun (yang berarti perubahan kecepatan) mengalami perubahan. Dan perpaduan antara dua hal tersebut lah (hilangnya sifat kritis dan larut dalam teknologi), yang menjadi unsur evolusi masyarakat pendiam dan tak peka ; the silent majority.

Seperti yang telah terkatakan sebelumnya, yang menjadi orientasi di sini adalah percepatan itu sendiri, bukan lagi kreativitas atau kecenderungan melipat realita. Yang terjadi bukan lagi pembalap yang ingin memacu motornya secepat mungkin untuk menaiki podium, melainkan meng-nol-kan gaya gesek antara ban dan aspal, meng-nol-kan pengaruh gaya gravitasi, mendesain bentuk se-aerodinamis mungkin untuk meng-nol-kan tekanan udara. Keadaan yang mencerminkan sebuah kegilaan akan kecepatan, ekstase akan percepatan unlimited, sekaligus kegandrungan akan ke-nol-an; nihilitas. Perpaduan “sempurna” antara optimisitas, pesimisitas, nihilitas, fetishitas, sakralitas, profanitas, eksistensi, dan banalitas.

Mungkin Alvin Toffler bertolak dari sebuah pengandaian, bahwa ada garis korelasi antara fenomena-fenomena tersebut dengan sisi psikologis manusia. Toffler menyatakan bahwa setiap jenis teknologi menghasilkan lingkungan teknologi-teknosfer-yang khas. Teknologi menjadi penyedia akses bagi mengalir dan bertukarnya informasi, yang mewarnai budaya informasi (infosfer). Infosfer yang terbentuk, pada akhirnya juga akan membentuk, atau setidaknya mempengaruhi norma-norma dan nilai-nilai dalam kehidupan sosial (sosiosfer). Dan karena keterlanjuran kodrat manusia sebagai makhluk sosial, maka perubahan sosiosfer juga berpengaruh masing-masing individu secara personal dalam ranah psikologis. Dan inilah, yang disebut lapisan psikosfer. Sambil lalu, analisis Toffler terlihat mantap dan seolah-olah mendeskripsikan fenomena global yang dihadapi oleh manusia sekarang ini.

Tetapi, benarkah semua manusia?

Apa yang dianalisis oleh Toffler, tentu saja berasal dari berbagai informasi dia dapatkan dan dia ketahui, adalah apa yang bersentuhan dengannya, baik melalui pikir, rasa, maupun indra. Tetapi, tesis tentang Global village bukanlah “tesis paska fenomena”. Tesis tersebut adalah sebuah prognosis (prediksi) dari seorang (paranormal) Mcluhan, dan tentu saja berdasarkan indikasi dan diagnosis yang dia temukan. Global Village, bukanlah sesuatu yang telah terjadi, dalam arti, tidak semua rentang geografis yang berkelok-terjal bisa teratasi oleh jejaring teknologi.

Toffler mungkin lupa, masih ada kata “kesenjangan” di antara jutaan kata dalam kamus. Kata tersebut tetap menjadi lubang hitam dalam perbincangan kali ini. Akselerasi, justru bersesuaian dengan peribahasa Jawa kebat klewat gancang pincang. Berjalan begitu cepat, tetapi juga banyak yang terserak-tercecer olehnya. Agaknya Toffler terlalu meyakini keberlakuan konsep Mcluhan, dan menariknya terlalu jauh ke dalam ranah psikologi. Dia yang sama sekali tidak menyentuh tentang dirinya, mencoba meraba apa yang dia lihat, tetapi mengatakan telah memegang dirinya.

Meskipun dunia telah dilipat dalam televisi, tetapi lipatan itu tetap merupakan keadaan yang “seolah-olah”. Semua manusia tak pernah hidup dalam satu desa, yang global sekalipun. Kecepatan dan percepatan memang bisa “mereduksi” waktu, tetapi tak bisa mereduksi ruang (bahkan “mereduksi” pun tidak), sedangkan manusia hidup dalam dimensi ruang sekaligus waktu. Manusia, tetap berkeringat dan sesekali menghela nafas meski menaiki pesawat super untuk mengelilingi dunia.

Teknologi, telah membuat manusia tak mustahil untuk akrab denganvmanusia lain di seberang lautan sana, bercengkerama tanpa menghiraukan rentang geografis, tanpa tenggorokan serak karena memekik terlalu keras. Namun, sungguh sayang, dengan begitu justru manusia menjadi tak begitu mengenali manusia lain, yang duduk disebekahnya.

Di salah satu sisi, teknologi telah menggeser refleksi “selamat bersenang-senang”, menjadi “mari bersenang-senang”, juga tidak suka menambahkan “koma” dalam kalimat kehidupan manusia, sekaligus menghapus “titik”. Tetapi bisakah, kalimat dibaca tanpa bubuhan “koma”, yang selalu memberikan jeda? Juga, setiap kalimat harus berakhiran beberapa “titik”, untuk memulai kalimat yang baru, baik “titik” yang berjumlah satu, maupun yang berjumlah lebih dari satu.

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi