Menang-Kalah Dalam Sepak Bola


Anda pernah di pagi hari sangat tidak bersemangat karena sepak bola? rasanya semua penikmat sepak bola pasti pernah merasakan kegalauan tersebut.

Kadang, pada saat ajang tertentu, permainan 11 lawan 11 tersebut mampu membuat emosi semua orang naik turun. Coba tengok saat Piala Dunia misalnya, orang rela begadang, bikin hajatan nonton bareng, taruhan, judi, mencuri hingga melahirkan bayi hanya karena sepak bola.

Olahraga sepak bola seakan menjadi contoh konkret manusia adalah homo ludens (makhluk yang bermain). Ketika tim yang didukung memenangkan pertandingan, dunia seakan begitu penuh dengan kebaikan, berkah dan everybody is happy.

Di dalam pertandingan, hasil akhir adalah hal yang mutlak. Tidak ada istilah seri dan imbang, jika tim kalah maka semua kegairahan menghilang, semua aura positif seakan menguap tanpa bekas seperti bensin yang diguyur di jalan beraspal.

Semua fenomena tersebut paling mudah dilihat kala akhir pekan, Sabtu dan Minggu. Pada dua hari itu, planet bumi seakan semarak dengan pertandingan liga sepak bola baik yang domestik maupun luar negeri.

Di Indonesia, 99% saluran televisi adalah kanal gratis tak berbayar dan stasiun dengan keterpemirsaan (audience share) seperti grup MNC (RCTI, MNC Tv dan Global Tv), grup VIVA (ANTV dan TV One) serta Indosiar adalah televisi yang mengandalkan sepak bola.

Tidak akan mungkin ada berita olah raga tanpa ada klip sepak bola. Itu rumus baku yang lebih utama dari pada rumus teori fisika, matematika maupun kimia sekalipun.

Semua televisi tersebut seakan memanjakan penikmat sepak bola. ANTV dan Indosiar nyaris setiap hari menayangkan liga domestik (Indonesia Super League/ISL dan Liga Primer Indonesia/LPI dan Liga Ti-Phone).

Di ISL, rata-rata penonton di stadion sepak bola mencapai 10.500 per pertandingan. Televisi bahkan membayar Rp50 juta-Rp60 juta untuk siaran langsung kepada tuan rumah dan tim away. Djarum sebagai sponsor ISL pun menaruh Rp40 miliar.. jadi hitung sendiri berapa dana yang berputar hanya di satu kompetisi.

Tawuran yang terjadi antar pendukung tim di ISL misalnya, adalah salah satu indikator betapa sepak bola seakan menjadi agama dan aturan hidup bagi fans. Orang pun paham sepak terjang JakMania, Bobotoh Viking, Bonek dan lain-lain.

Di Tangerang, polisi selalu sibuk setiap kali Persita Tangerang ataupun Persikota Tangerang bertanding. Nyaris selalu ada bentrokan setiap ada rombongan La Viola (persita) pulang menonton pertandingan.

Lebih seru lagi, saya berulang kali menemukan anak-anak kecil berkostum ungu di Tangerang begitu fasih meneriakan yel-yel yang memaki tim lawan. Mereka hapal yel-yel timnya seperti menghafal al Fatihah dan surat-surat kecil Al-Quran... mengherankan.

Dahulu begitu banyak anak-anak dan orang dewasa memakai kostum bola sebagai baju sehari-hari. Jangan heran kalau ada kostum Zidane, Beckham, Ronaldo hingga Lionel Messi dipakai di pedalaman Kalimantan ataupun dusun terpencil di pulau Jawa.

Globalisasi dan peran televisi seperti kata Marshall MacLuhan memang punya peran. Anak-anak jadi calon konsumen potensial bagi klub-klub Eropa seperti Real Madrid, Barcelona, AC Milan, Inter Milan, Juventus, AS Roma, Chelsea, Liverpool, Arsenal hingga Manchester United.

Namun orang Indonesia tetap fanatik dengan timnas Garudanya. Pada 2007 ketika ada hajatan Piala Asia di Jakarta dan Palembang. Kostum seperti Bambang Pamungkas laris manis dipakai anak-anak meski penampilan timnas Garuda hanya menang sekali atas Bahrain dan dua kali kalah tipis atas Korsel dan Arab Saudi.

Di Piala AFC Tiger 2010, rasa nasionalisme membuncah, kemenangan besar timnas Garuda yang diasuh Alfred Riedl membuat kehidupan seakan begitu ringan dijalani. Semua orang membicarakan sepak bola, bagai surga berasal dari lapangan hijau.

Nama Irfan Bachdim menggelinjang dalam relung hati fans sepak bola perempuan. Semua orang ingin foto bareng dengan Irfan, Christian Gonzales, Okto Maniani. Nyaris sebulan pada November 2010, orang dibahagiakan sepak bola.

Berita TV pun semua berbau Garuda, tak terkecuali tayangan gosip dan entertainment. Kalau gak kenal Irfan Bachdim dan tak bicara sepak bola, elo gak gaul deh... begitu kira-kira suasana kebatinan mayoritas penduduk Indonesia.

Bahkan Presiden SBY pun seperti punya kewajiban menyambangi ruang ganti pemain dan menyemangati Firman Utina dan kawan-kawan.

Kekalahan pada partai final di Bukit Jalil sempat membuat romantisme dan kehidupan pagi di Indonesia seakan buram. Dan Jeung Kokom pun hanya bisa mengelus dada... (dada Irfan Bachdim maunya).

Kekalahan memang menyesakkan, tetapi dalam sepak bola, hanya pemenang yang menuliskan sejarah. Tentu saja saya ingin selalu menang. Meski kata si Hadijah, "Makanya tiap ada tayangan sepak bola, gw selalu megang wasitnya aja deh, pasti selalu menang"

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi