London Sumatra antara karet dan CPO


Pada 2010, harga karet menjadi penolong kinerja PT PP London Sumatra Indonesia Tbk. Kisah yang sama berpotensi terulang di tengah proyeksi penurunan produksi sawit perseroan tahun ini.

Perusahaan yang awam disebut Lonsum ini pada Oktober-Desember 2010 melaporkan kenaikan laba sebesar 79,5% dibandingkan dengan kuartal yang sama tahun sebelumnya dan 74,8% secara triwulan.

Secara tahunan, laba emiten sawit ini naik sebesar 46,1%, atau hanya 4% di atas proyeksi konsensus pasar menyusul penurunan produksi perseroan. Produksi CPO pada kuartal tersebut turun 0,5% secara tahunan, tetapi masih naik 13,2% secara triwulanan.

Bagi analis PT Credit Suisse Securities Indonesia Teddy Oetomo, capaian laba tersebut terhitung 14% melampaui perkiraannya. Harga karet menjadi 'penyelamat', mengingat produksi CPO terhitung 8% di bawah prediksi.

"Pertumbuhan laba pada kuartal IV/010 perseroan terutama ditopang lonjakan harga karet di tengah kenaikan kontribusi penjualan karet terhadap pendapatan perseroan dari 11% pada 2009 menjadi 15% pada 2010," ulasnya dalam laporan riset per 24 Februari 2011.

Menyusul produksi CPO Lonsum yang lemah tahun lalu, lanjutnya, perkiraan produksi CPO perseroan pada 2011-2012 pun berpotensi turun 5,2% yang berujung pada penurunan perkiraan laba bersih periode tersebut sebesar 1,2% dan 2,7%.

Ini, tentu saja berpijak pada asumsi produksi CPO perseroan yang masih menurun. Dalam kacamata optimistis, broker patungan asing ini memperkirakan produk CPO akhir 2011 bisa saja naik 15% jika cuaca mendukung.

Apalagi, manajemen Lonsum telah melakukan perbaikan operasional secara signifikan dalam 24 bulan terakhir, merefleksikan komitmen Indofood Agri Resources memperkuat kualitas perkebunan Lonsum.

"Kami mengekspektasikan manajemen melanjutkan proses perbaikan fundamental dan struktural tersebut. Karena itu, kami mengantisipasi perbaikan efisiensi Lonsum dan produktivitasnya ke depan," ujar Teddy.

Berbekal proyeksi tersebut, Credit Suisse mempertahankan peringkat netral saham LSIP dan menurunkan target kami dari Rp13.030 per saham menjadi Rp12.900 per saham karena kami mengurangi estimasi laba akhir 2011.

Dengan menyesuaikan harga saham setelah pemecahan saham (stock split) 1:5 akhir Maret lalu, target harga saham LSIP oleh Credit Suisse tersebut setara dengan Rp2.580 per unit. Target harga tersebut didasarkan pada PER 2011 sebesar 15 kali.

Sebagai produsen CPO di industri hulu, laba Lonsum sangat dipengaruhi harga CPO dunia. Sama seperti saham perkebunan lainnya, harga saham perseroan lebih berkorelasi erat dengan pergerakan harga CPO dan bukannya rerata harga tahunan.

"Kami menaikkan asumsi harga CPO dari 2.300 ringgit per ton menjadi 2.950 ringgit per ton. Kami memperkirakan laba perseroan naik 34% untuk merefleksikan asumsi kenaikan harga tersebut," ujar Teddy.

Namun demikian, penyesuaian laba tersebut dinilai masih di bawah proyeksi pertumbuhan PT Astra Agro Lestari Tbk karena komposisi lahan plasma perseroan yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan anak usaha PT Astra International Tbk tersebut.

Target tersebut juga bukan tanpa risiko, mengingat Credit Suisse mencatat saham perkebunan telah tertekan (underperfomed) sepanjang tahun berjalan dan berpotensi tertekan lagi karena harga minyak dunia dinilai telah menyentuh puncaknya.

La Nina yang biasanya menjadi berita besar juga sulit diandalkan menjadi pengerek harga sekarang, karena fenomena iklim global ini diperkirakan menyentuh posisi terburuk dalam sejarahnya pada tahun lalu hingga sempat mengerek saham perkebunan.

Credit Suisse memperkirakan La Nina, yang mengganggu panen sawit di Malaysia dan Indonesia dan mengancam penanaman kedelai di Amerika Selatan tahun lalu, akan berakhir pertengahan 2011 dan diekspektasikan kembali ke kondisi netral.

"Menurut ahli meterologi, La Nina seharusnya telah mencapai puncaknya dan karenanya situasi yang terburuk pun sudah terlewati. Harga CPO masih bisa naik menjadi 4.000 ringgit per ton, tetapi kami yakin situasi ini tidak berkelanjutan dalam jangka lebih panjang karena akan berujung pada penurunan permintaan," papar Teddy.

Dia mengekspektasikan ada volatilitas harga yang intens pada 2011, tetapi kenaikan harga CPO cenderung lebih mendekati akhirnya karena beberapa alasan. Pertama, posisi spekulasi kedelai, jagung, dan harga CPO yang menembus rekor tinggi. Karenanya, ada kemungkinan aksi ambil untung.

Kedua, suplai bisa memberi kejutan berupa kenaikan pada 2011 berbalik dari gangguan tanaman (tree stress), efek lebih tingginya penanaman pada periode 2007, dan kenaikan produksi dari curah hujan yang meninggi dan berujung pada penurunan harga minyak sawit.

Di tengah kondisi seperti itulah, produk karet yang menyumbang lebih dari 15% dari total area penanaman inti Lonsum, akan menjadi komoditas primadona penolong perseroan, mengulang kisah manis tahun lalu.

(please read Bisnis Indonesia newspaper)

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi