Samba Papua dan pelajaran dari Hitachi (1973)


Majalah Tempo edisi 23 Maret 1973 mengulas, kesebelasan Irian Jaya yang teknik dan ketrampilannya belum pantas dipuji, kalah 2-1 dari kesebelasan hitachi dari jepang. ada beberapa pemain irian yang berbakat, yang bermain cukup lumayan.

MENGALAHKAN lawan dalam angan-angan memang terlalu gampang. Kenyataanya yang tidak selalu begitu. “Bagaimana, mau menang atau kalah?”, tanya Presiden Soeharto pada anak-anak Kesebelasan Irian Jaya minggu lalu di Bina Graha.

Mereka hanya tersenyum. Seperti biasanya Acub Zaenal dengan cepat menjawab: “Kemungkinan kita menang 3-1 , pak”.

Apa yang terjadi kemudian sulit untuk diramalkan Acub Zaenal. Di bawah gemercik hujan membasuh Senayan dan terlebih dahulu telah ketinggalan: 1-0. Kesebelasan Hitachi menundukkan Irian Jaya: 2-1.

Kemakluman yang sudah diduga sejak pertama. Karena apa yang disuguhkan putera-putera Irian Jaya petang itu, baik dari segi teknik maupun ketrampilan bermain bola memang belum terlalu pantas buat dipuji. Kecuali pada semangat dan pola permainan kerasnya barangkali.

Namun dengan langgam demikian tidak melumpuhkan trio ujung tombak Irian Jaya: Niko Pattipeme, Timo Kapisa- clan Dolf Rumbino dalam serangan. Hanya saja penyelesaian mereka yang jarang menemui sasaran.

Sebaliknya pemain-pemain Hitachi juga terbentur dengan sifat keras anak-anak Irian Jaya untuk melakukan serangan-serangan produktif. Karena di setiap lini mereka sudah dihadang dalam serobotan tanpa pola.

Kalau perlu dengan benturan badan sekalian: “Rasanya seperti main berantem saja”, ajar Minoru Kobata pada TEMPO.

Untuk selanjutnya mereka mencoba menghindarkan diri dari perebutan-perebutan bola sedikit mungkin_dengan memakai taktik operan panjang. Dan hasilnya memang tidak cermat: Penyerang tengah Hiroe Ishii dan kiri luar Yusuke Ohmi sering luput dalam peluang, karena pores halang Henk Heipon dan Martin Burwos dengan cepat menghalau setiap serangan mereka.

Gol pertama untuk kesebelasan Hitachi akhirnya tercipta juga pada menit ke-67. Sundulan Shigeru Takanishi dari jarak 5 meter dalam , suatu kerja sama dengan Hiroo Ishii dare Shigeo, Asai berhasil memperdayakan John Pulalo.

5 menit kemudian penyerang tengah Irian Jaya, Timo Kapisa dengan suatu tembakan melambung jerak jauh berhasil menusuk gawang . Tatsuhiku Seta. Dan menyamakan kedudukan: 1-1.

Keadaan seri itu, 2 menit kemudian diubah oleh Hiroo Ishii yang menerima operan dari Hiroshi Nakayama yang bergerak dari rusuk kanan. Sementara bak kanan Dicky Maury yang luput mengontrol bola tak dapat berbuat apa-apa. Kedudukan tidak berubah sampai menit terakhir.

Yang cukup menarik perhatian sore itu adalah terlihatnya pemain-pemain berbakat dari Irian Jaya yang kalau disentuh dengan tangan ahli, bukannya tidak mungkin memperkuat barisan PSSI untuk waktu yang akan datang.

Kendati demikian telah ada individu-individu yang bermain cukup lumayan. Di lini depan tercatat: Niko Pattipemedare Niko Kapisa. Di barisan tengah Henk Heipon tampak sebagai poros: halang yang hampir sempurna.

Kemudian menyusul nama-nama: Martini Burwos dan Marinas Matui. Kini yang tinggal hanya menurun pola-pola dan taktik raja pada mereka. Kalau soal stamina anak-anak Irian Jaya tak usah ditanya. “Kita cukup kuat untuk 2 x 45 naenit lagi”, ajar Henk Heipon.

Meski sedikit omong besar kenyataannya ketika keluar lapangan mereka memang tidak memperlihatkan rasa keletihan.

Cuma dalam soal intelegensi, apakah julukan Pele-Pele Indonesia yang konon sebutan Presiden Suharto itu tidak terlalu berat buat mereka? Itulah yang patut diketahui oleh PSSI. Jika nanti improvisasi mereka di lapangan hijau bagai Edson, Arantes do Nascimentu bukan tidak mungkin penonton akan berteriak: Samba! Pole! Samba!

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh