Meneropong prospek saham Jaya Pari

Di antara emiten baja lain, PT Jaya Pari Steel Tbk memiliki perusahaan afiliasi terbanyak di bursa. Kebijakan perseroan mengurangi transaksi dengan afiliasi dinilai membahayakan kinerja.
Saat ini, dua perusahaan Jaya Pari telah mencatatkan sahamnya di bursa Indonesia, yakni PT Gunawan Dianjaya Steel Tbk dan PT Betonjaya Manunggal Tbk. Gunawan Dianjaya menjadi salah satu emiten pendatang baru pada 2009.
Analis PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Dipo Akbar Panuntun menilai faktor afiliasi menjadi salah satu penyebab penurunan kinerja emiten yang berbasis di Surabaya itu pada tahun lalu, di samping penurunan harga baja dunia akibat sisa-sisa efek resesi global.
“Selain karena kejatuhan harga baja, kami memperkirakan kebijakan Jaya Pari untuk menghindari transaksi dengan afiliasi akan menekan pendapatannya sebesar 57,7% secara tahunan pada 2009,” tuturnya dalam laporan riset per 23 Februari.
Sejak tahun lalu, lanjutnya, Jaya Pari telah membuat kebijakan untuk menghindari transaksi antar perusahaan afiliasi yang rata-rata nilainya lebih dari Rp100 miliar per tahun. Kebijakan itu diambil di tengah merosotnya harga baja dunia.
Kondisi industri baja yang tidak menguntungkan tercermin dari penurunan harga baja dunia lebih dari 50% sejak triwulan III/2008 hingga triwulan III/2009, yang memangkas margin laba operasi Jaya Pari dari sebelumnya 12,7% menjadi hanya 2,9%.
Jika pada 2008 pendapatan perseroan melonjak akibat tingginya kenaikan harga baja dunia, emiten itu kini harus menghadapi kenyataan pahit pendapatannya turun 66,5% untuk per 30 September 2009 karena harga baja dunia jatuh kembali.
Pefindo mencatat harga plat baja di Amerika Serikat sempat menyentuh level tertinggi US$1.200 per ton pada Agustus 2008, yang kemudian turun sekitar 60% menjadi hanya US$480 per ton pada Juni 2009.
Bergerak linier, penjualan Jaya Pari pun turun 66,5% secara tahunan menjadi hanya Rp216,3 miliar, seiring dengan melemahnya industri baja di Indonesia. “Perseroan terpukul oleh merosotnya harga baja dunia karena pendapatannya sangat terkait dengan pergerakan harga baja di pasar internasional,” komentar Dipo.

Revisi proyeksi
Dengan melihat pencapaian hingga September 2009, Pefindo memutuskan menyesuaikan proyeksi sebelumnya dengan merevisi perkiraan pendapatan emiten baja tersebut pada akhir 2009.
“Pertimbangannya antara lain selama September 2009, penjualan turun 66,5% secara tahunan menjadi Rp216,3 miliar dari Rp645 miliar pada September 2008. Karenanya, kami pesimistis target pendapatan 2009 pada proyeksi kami sebelumnya sebesar Rp405,6 miliar dapat terealisasi,” papar Dipo.
Mempertimbangkan kinerja per September tersebut, lanjutnya, proyeksi pendapatan akhir 2009 pun dipangkas 25% menjadi Rp302,7 miliar. Dibandingkan dengan realisasi pendapatan 2008, proyeksi topline tersebut turun 58,7%.
Perkiraan itu cukup jitu karena berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2009, Jaya Pari tercatat membukukan penjualan bersih Rp302,87 miliar dan laba bersih Rp1,92 miliar.
Meski demikian, Dipo menilai kinerja Jaya Pari akan tumbuh kembali pada 2010 dan tahun-tahun berikutnya. Dengan ekspektasi membaiknya industri baja, dia memproyeksikan pendapatan Jaya Pari tumbuh dengan rerata pertumbuhan per tahun sebesar 5,9% hingga 2013.
“Kami memperkirakan industri baja akan kembali ke arah positif pada 2010. Pertumbuhan harga plat baja di Amerika Serikat pada Desember 2009 hingga Januari 2010 sebesar 6,8% secara bulanan menunjukkan indikasi tren positif pergerakan harga baja ke depan,” ujarnya.
Jaya Pari yang berdiri sejak 1973 adalah produsen plat baja (hot rolled carbon steel plates) yang biasa digunakan industri konstruksi dan infrastruktur serta industri baja olahan. Dalam menjalankan operasinya, Jaya Pari didukung sebanyak 8 distributor yang tersebar di Jakarta dan Surabaya.

Target harga
Pefindo menetapkan estimasi target harga saham untuk 12 bulan berdasarkan posisi penilaian pada 30 September 2009 dengan menggunakan metode arus kas diskonto (discounted cash flow/ DCF) dan asumsi tingkat diskonto 18,2%, sebesar Rp272 -Rp301 per saham.
Penilaian tersebut didasarkan pada nilai 100% saham per 30 September 2009, dengan asumsi risk free rate, equity premium, dan beta masing-masing sebesar 9,5%, 5%, dan 1,34 kali. Risiko spesifik ditetapkan 2%.
“Kami mengaplikasikan metode arus kas diskonto sebagai metode penilaian utama dengan pertimbangan pertumbuhan pendapatan adalah faktor value driver (yang sangat mempengaruhi nilai) jika dibandingkan dengan pertumbuhan aset,” ungkap Dipo.
Menurut dia, perhitungan DCF tersebut tidak perlu dikombinasikan dengan dengan metoda guideline company method (GCM), karena tidak terdapat perusahaan sejenis yang benar-benar dapat diperbandingkan dengan Jaya Pari di Bursa Efek Indonesia sekarang ini.
Pada perdagangan kemarin, harga saham Jaya Pari yang berkode JPRS ditutup pada level harga Rp310 per saham, atau tidak berubah dibandingkan dengan posisi penutupan sehari sebelumnya.(Oleh Arif Gunawan S.)

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh