Kepercayaan memang tidak murah


Ada kesamaan antara mengelola bank dengan organisasi sepak bola adalah trust atau kepercayaan. Nilai budaya itu bisa menjadi pembeda yang signifikan antara kesuksesan dan kehancuran dari kepemimpinan pengelola.

Di jejaring twitternya pada 1 Juni 2011, ada akun yang menulis "Shame on FifA to go ahead with elections! After so many corruption alegations its time to change a President that has been there 13 years!"

Sang pemilik akun adalah Sebastian Paredes, eks Presiden Direktur PT Bank Danamon Tbk yang kini memimpin DBS Bank Hong Kong. Apa yang ditulis cukup kritis tetapi dia termasuk orang yang cukup paham dengan sepak bola dan tentu saja sebagai bankir.

Paredes pernah menjadi pemain bola di Ekuador, negeri kelahirannya, saat remaja. Kala menjadi bos Bank Danamon, dia pernah berupaya mendatangkan Manchester United ke Indonesia dan berpartisipasi sebagai manajer tim Fantastic Eleven ketika pertandingan eksibisi pembukaan Indonesia Super League, Juli 2008.

Kembali ke soal kepercayaan, menjadi pemimpin baik sebagai bos bank ataupun pengelola sepak bola itu membutuhkan karakter yang baik dan kebijaksanaan, kemampuan untuk menciptakan nilai tambah, kekuatan menghadapi tantangan dan tentunya kebenaran (truth) ketika menyampaikan informasi dan visinya.

Bagi pemimpin, membangun dan menjaga kepercayaan tentu tak semudah dan semurah perkiraan orang. Tak jarang sang pemimpin justru menjadi orang yang bertanggung jawab sebagai penghancur kepercayaan bagi institusinya.

Di Indonesia, beberapa bankir kehilangan reputasi karena fraud. Bahkan di skala global, reputasi nama besar Dominique Strauss-Kahn sebagai bos Dana Moneter Internasional langsung anjlok karena kasus dugaan pelecehan seksual.

Sebagai organisatoris, seorang Nurdin Halid paham benar bagaimana kehilangan kepercayaan dari publik adalah hal yang sangat mahal. Dia terlempar dari kursi jabatan ketua umum Persatuan sSepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) dan tak mendapat restu FIFA.

Kepemimpinan sejumlah pejabat FIFA juga tak luput sorotan. Soal korupsi menjadi faktor utama yang menggoyang reputasi badan tertinggi yang mengelola sepak bola di planet Bumi ini.

Pekan lalu, Komisi Etik FIFA menghukum Presiden Federasi Sepak bola Asia (AFC) Mohammed bin Hammam dan Wakil Ketua FIFA Jack Warner (Presiden Concacaf), bersalah atas tuduhan korupsi dan dugaan politik uang dalam pemilihan tuan rumah Piala Dunia.

Dua anggota Uni Sepak Bola Karibia (CFU), Debbie Minguell dan Jason Sylvester, dinyatakan terlibat dengan kasus Bin Hammam dan Warner, juga dijatuhi hukuman. President FIFA Joseph "Sepp" Blatter juga diperiksa tetapi dinyatakan bersih dan tak bersalah.

Sanksi dari Komisi Etik tersebut membuat Hammam mundur dari calon Presiden FIFA, untuk menantang Blatter kandidat petahana yang telah berkuasa 13 tahun, seperti status tweet Paredes.

Sepp Blatter pun melenggang sebagai calon tunggal pemilihan Presiden FIFA dan tak pelak dia meraih 186 suara dari kemungkinan 203 suara. Sebagian besar pemilik suara dari Asia meninggalkan arena pertemuan Komite Eksekutif, karena termasuk pendukung Hammam.

Blatter menjadi Presiden FIFA ke-8 sejak dilantik 8 Juni 1998, itu 13 tahun lalu. Dia cukup lihai mengelola faktor kepercayaan para pemangku kepentingan sepak bola sejagad. Enam konfederasi yaitu UEFA, Conmebol, Concacaf, AFC, CAF, dan OFC menerima US$2,5 juta (lebih dari Rp20 miliar) per tahun.

Bagi-bagi keuntungan boleh jadi melenakan sehingga banyak penggemar bola yang tak ambil pusing dengan sejumlah kasus suap yang sempat menggemparkan FIFA.

Berdasarkan laporan keuangan yang disampaikan di Zurich-Swiss, selama 2007-2010, FIFA yang dipimpin Blatter meraih pendapatan US$4,19 miliar dengan pengeluaran US$3,56 miliar, sehingga menghasilkan keuntungan US$631 juta.

Sumber pendapatan utama yaitu sponsor iklan dari penyelenggaraan sejumlah kompetisi yang di bawah persetujuan FIFA, terutama pendapatan Piala Dunia 2010 yang mencapai US$3,4 miliar.

Keuntungan selama periode tersebut juga membantu penguatan cadangan simpanan FIFA yang kini mencapai US$1,28 miliar, yang telah sesuai dengan Statuta FIFA.

Blatter juga pintar meraih kepercayaan karena laporan keuangan tersebut disesuaikan dengan standar akuntansi internasional IFRS (International Financial Reporting Standards). Setidaknya faktor truth mampu dibuktikan pria Swiss tersebut.(fahmi.achmad@bisnis.co.id)

Terbit di Bisnis Indonesia edisi Sabtu 4 Juni 2011

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi