Minyak Goreng Langka, Siapa Diuntungkan?

Setiap kali melihat tayangan televisi tentang antrean pembelian minyak goreng, saya selalu gatal ingin berkomentar.

“Ngapain sih harus antre? Kalo antre itu ya untuk beli beras, lauk dan makanan yang langsung dimakan. Ini beli minyak goreng kan tetap harus beli bahan makanan lainnya.” Begitu komentar saya. Asal-asalan cuma tetap pakai logika sih.

Minyak goreng dalam 3 bulan terakhir ini seakan menjadi barang yang begitu popular di masyarakat. Langka dan harganya mahal benar.


ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/hp. (ANTARA FOTO/YUSUF NUGROHO)

Bahkan, ada meme yang menggambarkan pacaran kudu bawa minyak goreng untuk calon mertua. Ada suami yang memberikan hadiah satu karton minyak goreng untuk istri yang berulang tahun. Aneh, tapi itu nyata bro.

Ada yang katakana minyak goreng langka karena produksi menurun selama pandemi Covid-19. Ada lagi yang bilang pasokan diekspor besar-besaran ke luar negeri karena harganya lebih mahal dari pada di jual di dalam negeri.

Pada 2021 harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng ditetapkan Kementerian Perdagangan di level Rp11.000,- atau  lebih rendah dibandingkan dengan harga minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO)

Apapun itu, faktanya barang langka dan ada penimbunan. Di Serang-Banten, ada pasangan suami-istri yang ditangkap polisi. Di Sumatra Utara Satgas Pangan Sumut menemukan sekitar 1,1 juta kilogram (kg) atau 1.100 ton minyak goreng kemasan, tetapi statusnya telah clear.

Lembaga riset Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) memperkirakan kerugian ekonomi yang ditanggung masyarakat akibat krisis kenaikan harga minyak goreng mencapai Rp3,38 triliun.

(https://ekonomi.bisnis.com/read/20220312/12/1509841/harga-minyak-goreng-mahal-kerugian-ekonomi-tembus-rp338-triliun)

Kerugian ini merupakan akumulasi dari selisih harga rata-rata minyak goreng pada periode April 2021—Januari 2022 dibandingkan dengan sebelumnya.

Dalam riset kebijakan Ideas, estimasi kerugian masyarakat diperoleh dengan menjadikan harga rata-rata minyak goreng pada periode Januari—Maret 2021 sebagai harga acuan harga normal.

Akumulasi kerugian sendiri berasal dari dua periode, yakni pada April—September 2021 sebesar Rp980 miliar dan Oktober 2021—Januari 2022 sebesar Rp2,4 triliun.

Jika selama periode kelangkaan minyak goreng setelah 19 Januari 2022 [setelah penetapan harga Rp14.000 per liter] masyarakat mempertahankan konsumsi minyak goreng dengan membeli pada harga yang lebih tinggi, maka kerugian masyarakat akan makin besar.

Konsumsi minyak goreng nasional sendiri diperkirakan mencapai 3,3 miliar liter pada 2021. Konsumsi per kapita per tahun mencapai 12,3 liter, sementara pengeluaran per tahun masyarakat untuk membeli minyak goreng diperkirakan mencapai Rp43 triliun atau Rp156.000 per kapita per tahun.

Pemerintah jelas dalam posisi yang tidak enak. Salah bikin kebijakan, akan berabe.

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi memutuskan untuk menaikkan kembali besaran domestic market obligation atau DMO bahan baku minyak goreng dari 20% menjadi 30% mulai Kamis (10/3/2022).

Langkah itu diambil setelah harga minyak goreng dalam negeri tetap tertahan tinggi kendati intervensi pemerintah sudah dilakukan sejak akhir tahun lalu.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemendag), total ekspor CPO dan turunannya sudah mencapai 2.771.294 ton selama 14 Februari hingga 8 Maret 2022. Sementara porsi DMO untuk kebutuhan industri dalam negeri mencapai 573.890 ton.

Hingga kini telah diterbitkan 126 persetujuan ekspor kepada 54 eksportir setelah implementasi kebijakan DMO itu sejak 14 Februari 2022. Alokasi DMO itu meliputi RDB Palm Olein sebanyak 463.886 ton dan CPO mencapai 110.004 ton.

Data Kemendag menyebutkan minyak goreng curah dan kemasan hasil DMO itu sudah tersalurkan sebanyak 415.787 ke pasar hingga Selasa (8/3/2022).

Artinya, distribusi minyak goreng murah hasil DMO itu sudah melebihi perkiraan kebutuhan konsumsi satu bulan yang mencapai 327.321 ton.

Di negeri tetangga, pemerintah Malaysia telah mengalokasikan subsidi untuk 720.000 ton minyak goreng.

Perang Rusia-Ukraina adalah salah satu faktor utama dalam lonjakan CPO menjadi RM8.000 per ton minggu lalu.

Dewan Minyak Sawit Malaysia juga memperkirakan bahwa harga minyak nabati akan tetap di atas level RM5.000 per ton setidaknya untuk paruh pertama tahun 2022.

Di Indonesia, emiten-emiten produsen produk sawit tentu saja akan terpengaruh dengan kebijakan DMO yang diterapkan pemerintah.

Biar bagaimanapun kinerja emiten-emiten CPO di kuartal pertama 2022 akan baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya karena melihat rata-rata harga CPO dalam tiga bulan terakhir di atas RM5.000 per ton, sedangkan di 2021 lalu masih berada di level RM 3.000 hingga RM5.000 per ton.

Harga CPO sempat menembus level tertingginya yaitu RM 8.720 per ton. Ditambah lagi, harga minyak nabati lain sebagai substitusi minyak sawit seperti rapeseed dan kedelai juga mengalami kenaikan.

Perusahaan sawit seperti PT Astra Agro Lestari Tbk. (AALI) dan PT PP London Sumatra Indonesia Tbk. (LSIP) tentu saja mendapatkan gurihnya harga minyak goreng.

Berdasarkan laporan keuangan tahun 2021, AALI tercatat mencatatkan laba yang meroket sebesar 137 persen dan LSIP naik sebanyak 42 persen.

Dengan semua itu, masih ada keganjilan yang tersisa, masih banyak emak-emak yang kalap dengan pembelian minyak goreng.

Ironis, masa negara dengan produksi sawit terbesar di dunia, masyarakatnya harus antre beli minyak goreng?

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi