Yang Mana Paling Cuan, Reksa Dana atau Saham atau Kripto?

23 Maret 2022

Sudah lama saya diajarkan bahwa kalau ingin sukses, maka jangan berdiam diri. Harus kerja keras. Kalau tidak kerja keras, ya berinvestasilah agar asetmu bertambah.

Investasi memang banyak rganya. Beli tanah, saya belum mampu. Beli emas? Beberapa gramlah hadiah buat istri. Nabung di bank? Ada sih buat jaga-jaga. Deposito? Gak tertarik, gak punya duit banyak, lagian bunganya juga kecil.

Investasi di pasar modal menarik. Yaiyalah, setiap hari nulis tentang pasar modal. Almarhum Tachy Zulnasri, humas BNI semasa dipimpin Sigit Pramono, sering mengingatkan saya untuk berinvestasi di pasar modal. Saya jawab selalu dengan senyum. Penuh arti.

Pasar modal itu ribet dan kudu pintar. Belum lagi harus siap dana besar dan hati seluas samudera biar gak stress saat rugi. Itu kesan pertama.


((PIXABAY/SERGEITOKMAKOV)

Better telat daripada tidak sama sekali dan menyesal kemudian. Reksa dana bisa dibeli Rp100.000, daftarnya mudah kok. Begitu iklan yang wara-wiri menari-nari dalam pikiran. Entah siapa yang memasukkan pariwara reksa dana itu di benak saya.

Pada pertengahan 2017, Irvin Avriano mantan rekan karajo yang saat itu pindah bekerja di Mandiri Sekuritas jadi teman diskusi. Dibantu dia, akhirnya saya dan istri punya akun dan rekening investasi yang tercatat Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) pada 5 September 2017.

Tanggalnya ingat ya? Ingat dong, namanya yang pertama, selalu diingat.. eeh.

Kalau tidak salah itu tepat setelah saham BMRI stock split 1:2.

Nah, istri saya memilih untuk menjadi investor saham. Dia paham umpan kecil, dapat ikan kecil, umpan besar, bisa cuan kakap.

Mansek punya banyak pelatihan bagi investor pemula dan istri saya ikuti semuanya. Saya hanya jadi sopir mengantar ke tempat pelatihan. Kini circle-nya banyak.

Nama Lo Kheng Hong, Rita Effendy, Kartika Sutandi (Tjoe Ay) dan investor kakap lainnya sudah akrab bagi istri saya. Kini di era online, zooming saham menjadi sarapan pagi, morning call atau apalah ajang sebelum pembukaan pasar jam 09.00.

Saya lebih tipikal moderat, rada cenderung konservatif. Ya abis gimana, yang megang duit kan ‘menteri keuangan’.

Saya pilih jadi investor reksa dana. Awalnya sih memang coba-coba, eh nggak juga sih.




Ada tiga produk reksa dana yang saya subscript.

Ada yang tipikal lambat tapi pasti, ya saya beli Mandiri Investas Dana Obligasi II (Mido 2)

Ada yang tipe agresif, underlyingnya di saham, bisa untung gede nih. Saya beli Eastspring Investments Value Discovery (Value).

Ada juga yang campuran. Karakter yang gak mau rugi tapi gak ketinggalan untungnya. Maka saya beli Aberdeen Indonesia Balanced Growth Fund (Abi Balanced).

Sayangnya Abi Balanced ditutup tahun lalu. So dananya kembali ke rekening investasi saya. Dana return itu dianggap hasil keuntungan, dan sudah ada di laporan SPT pajak saya. Bijak taat pajak lah.

Di Mido 2, portofolio saya bertambah 21,51% per 22 Maret 2022. Di Value, ada kenaikan 8,41%. Tapi tolong jangan lihat persentasenya. Harga HP Anda pasti lebih mahal dan lebih banyak dari total nominal portofolio saya. Ya namanya juga investor pemula.

Gak mencari produk reksa dana yang lain? Nantilah. Cari informasi yang detail dahulu.

Meski semakin variatif, jumlah reksa dana dalam beberapa tahun terakhir cenderung stagnan.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), per 28 Februari 2022 jumlah reksa dana sebanyak 2.195 produk, dan dengan jumlah reksa dana terbanyak tercatat pada tahun 2020 yaitu 2.219 produk. 

Mulai tahun 2018 hingga saat ini, jumlah reksa dana berada di kisaran 2.000-an, di mana pada 2018 sebanyak 2.099 produk, 2019 naik menjadi 2.181, kemudian kembali naik di tahun 2020. Lalu sedikit menurun di tahun 2021 menjadi 2.198 produk. 

Di sisi lain, jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya pertumbuhan jumlah reksa dana di 5 tahun terakhir terbilang stagnan. Misalnya dari tahun 2015 ke tahun 2016, jumlah reksa dana bisa bertambah hampir 400 produk, dari 1.091 produk menjadi 1.425 produk. 

Dahulu, dan mungkin juga sampai sekarang, produk reksa dana yang biasa bertambah adalah instrumen reksa dana terproteksi. 

Hal ini terkait dengan masa penawaran reksa dana terproteksi yang terbatas dan jika masa penawarannya habis maka produk tersebut tidak bisa dipakai lagi dan Manajer Investasi perlu untuk mengajukan produk baru. 

Reksa dana proteksi menarik untuk institusi karena ada penghematan pajak. Namun, sekarang tarif pajaknya kan sama.

Pada PP 16/2009 s.t.d.t.d PP 55/2019 yang telah dicabut, wajib pajak reksa dana dikenai PPh final bunga obligasi dengan tarif sebesar 5% pada 2014 hingga 2020 dan sebesar 10% pada tahun 2021 dan tahun-tahun selanjutnya. Kala itu, tarif PPh final atas bunga obligasi yang diterima oleh wajib pajak dalam negeri masih sebesar 15%.

Dengan adanya PP 91/2021, bunga obligasi yang diterima oleh wajib pajak dalam negeri dikenai PPh final dengan tarif sebesar 10%.

Tidak ada perbedaan tarif pajak antara wajib pajak dalam negeri non-reksa dana dan wajib pajak reksa dana. Ini mungkin yang bikin daya tarik produk reksa dana terproteksi menurun.

Banyak manajer investasi lebih berhati-hati mengeluarkan produk reksa dana selama pandemi Covid-19. 

Produk reksa dana saat ini ternyata tidak tumbuh secepat bertambahnya jumalh investor ritel seperti saya.

Secara jumlah, investor ritel menjadi penopang industri reksa dana sehingga kenaikan signifikan secara tahunan tak langsung berimbas pada kenaikan dana kelolaan. Jumlah investor reksa dana naik signifikan dari 3,1 juta pada 2020 menjadi 7,21 juta pada Januari 2022.

Secara umum, jumah investor di pasar modal menurut KSEI sudah mencapai angka 7,86 juta investor per akhir Januari 2022. Jumlah ini mencatatkan kenaikan 5 persen secara bulanan dari posisi akhir Desember 2021 yang sebesar 7,45 juta.

Namun, jumlah investor kripto di Indonesia ternyata lebih banyak bro.

Berdasarkan data terakhir yang dikemukakan oleh Kementerian Perdagangan Republik Indonesia per Desember 2021 lalu jumlah investor aset crypto di Indonesia telah mencapai 11 juta orang atau mengalami kenaikan hingga 100 persen dari tahun 2020 yang baru mencapai 5 juta orang.

Entah dana di kripto sudah berapa banyak. Saya masih lebih mantap berinvestasi di reksa dana.

Dari sisi dana kelolaan, industri reksa dana pada Februari 2022 mengumpulkan dana kelolaan Rp525,73 triliun atau turun 1,63% secara tahun berjalan.

Dana kelolaan atau asset under management (AUM) per kapita reksa dana per kapita di Indonesia berdasarkan studi terbaru ternyata masih dalam level yang rendah, dan hal tersebut berhubungan dengan level GDP di dalam negeri. 

Level AUM per kapita Indonesia sendiri akan terasa sangat rendah jika dibandingkan dengan Singapura yang  berada di level lebih dari 100 persen.

Sementara, saat ini GDP per kapita Indonesia berada pada level US$4.100 - US$4.200, yang berarti butuh waktu sekitar 4 atau 5 tahun lagi untuk mencapai US$5.000. Hal tersebut juga tergantung dengan asumsi pertumbuhan GDP dan jumlah penduduk.

So, biarlah kondisinya demikian, yang penting masih bisa cuan kan bos?

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi