Telegram, Blokir Medsos, dan Relevansi Kekinian

Salah satu yang bikin dunia ini begitu hidup adalah teknologi. Yap! Teknologi bikin hidup menjadi lebih hidup, membuat segala sesuatu menjadi lebih mudah dan murah.



Generasi milenial mungkin akan susah disuruh membayangkan bagaimana dulu ada radio gede, tv hitam putih, walkman, mesin tik, mesin fax,telepon engkol ampe telpon umum yang pake kartu dibolong-bolongin, tustel alias kamera yang diputer dulu baru bisa njepret dan yang layanan telegram.

Tentu telegram dulu bukanlah aplikasi layanan berlogo pesawat kertas putih berlatar biru saat ini. Telegram dulu adalah layanan pesan juga yang dilakukan oleh perusahaan telekomunikasi, PT Telkom.

Saya waktu masih di Solo, tiap bulan pergi naik bis tingkat dari Kartasura ke Beteng, nyari Telkom, buat interlokal ke bokap, itupun PTT alias colect call, yang nerima yang bayar. Semua itu hanya agar wesel bulanan kalo bisa dikirim lebih cepat.

Kadang saya juga pakai telegram. Layanan ini dibayar per kata, jadi harus seringkas mungkin. Contoh: "Ass. kabar baik. Mhn kirim wesel buat beli buku. Hormat ananda."

Nyampenya kapan? Yaa kayak surat kilat khusus, secepatnyalah. Kadang satu hari sih diantar tukang pos sampai ke rumah.

Yang jelas itu sangat berguna sekali bagi kami para perantau.

Itu cerita nyaris 30 tahun lalu.

Kini, aplikasi Telegram naik daun, layanannya terenkripsi, secret en aman.

Kalau kata Gombang Nan Cengka, rekan kerja yg nyentrik tapi pinter, "Salah satu kelebihan Telegram itu ada channel, buat broadcast. Read-only. Pengumuman gak perlu dikotori chat gak jelas."

Sayangnya, layanan ini juga dipakai untuk kegiatan negatif. Para teroris brengsek itu memanfaatkan layanan telegram untuk menyebarkan ilmu perusak mereka. Keji memang.

So, pemerintah pun mengeluarkan maklumat. Telegram diblokir, untuk sementara layanan web-nya, sampai ada SOP jelas dari pihak telegram dalam menyadur materi terorisme tersebut.

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara meminta Telegram membuat standar operasional prosedur (SOP) penanganan konten-konten radikalisme.

"Yang kami minta kepada Telegram adalah membuat SOP itu untuk melakukan self filtering terhadap konten-konten radikalisme," ujar dia di Hotel Aryaduta, Jakarta, Jumat malam (14/7/2017).

Menurut dia, hal tersebut menjadi salah satu syarat untuk membatalkan pemblokiran 11 Domain Name System (DNS) milik Telegram oleh Internet Service Provider (ISP), yang dilakukan berdasarkan permintaan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) pada Jumat.

Adapun ke-11 DNS yang diblokir adalah t.me, telegram.me, telegram.org, core.telegram.org, desktop.telegram.org, macos.telegram.org, web.telegram.org, venus.web.telegram.org, pluto.web.telegram.org, flora.web.telegram.org, dan flora-1.web.telegram.org.

Dampak terhadap pemblokiran ini adalah tidak bisa diaksesnya layanan Telegram versi web (tidak bisa diakses melalui komputer).

"Kami sebelumnya sudah mengupayakan komunikasi."

Ia menjelaskan bahwa alasan pemblokiran 11 DNS milik Telegram tersebut dilakukan, karena banyak konten-kontennya yang berkaitan dengan radikalisme, dan mengarahkan kepada terorisme.

"Antara lain seperti bagaimana membuat bom atau bagaimana melakukan penyerangan. Tentunya ini bisa mempengaruhi masyarakat di Indonesia, makanya kita blokir," terang Rudiantara seperti dikutip dari Elshinta dan Antaranews (14/7/2017).

Bagi saya, blokir memblokir teknologi itu kontraproduktif. Ini imho loh, in my humble opinion. begitulah istilah yang biasa dipakai di layanan media sosial, termasuk telegram.

Saya memang menggunakan banyak medsos. Awalnya dulu ada friendster, chatting room, dll. Terus berkembang dengan Facebook, yang kini juga udah saya tinggalkan 5 tahun terakhir. Gantinya saya aktif di twitter, layanan 140 kata yang bisa mengungkapkan isi hati, otak, gak pake ampela.

Fasilitas BBM blackberry menjadi satu media yang tak pernah saya pakai. Keengganan memakai BBM karena alatnya mahal dan gak sesuai isi kantong hehehehe. Saya benci teknokogi mahal! Thats for sure

Itulah alasan saya memakai whatsapp yang dibikin Google lewat layanan android. Dan terbukti BBM tumbang, bahkan lalu mengadopsi layanan android.

Namun kini WA juga mulai bikin jengkel. Grup WA itu annoying, apalagi kalo kita dipaksa masuk ke suatu grup. Makanya di grup WA saya tak lagi pakai propic, profile picture. Bahkan saya jadi anggota pasif.

Cuma, bokap sekarang udah mulai pakai WA, bahkan dia mulai main facebook. Namanya juga pensiunan, isi waktulah.

China punya Weechat, layanan komunikasi yang dikontrol pemerintah. Bagus sih, pengalaman saya makai di Nanning dan Hong Kong. Namun, saya juga akhirnya memakai Telegram. Lucu juga sih, kesan awalnya.

Ada juga Instagram dan Path, yang saya pakai kadang cuma untuk aktualisasi diri alias narsis, bisa berbagi foto, bikin meme, kadang cuma pamer, tapi itulah hidup, gak pamer maka lu gak ada, gak ada elu gak rame... Kira-kira begitulah.

So sekarang kalau Chief Rudi mau blokir semua layanan medsos, bagi saya itu hal yang kontradiktif dan bisa jadi bumerang, terkesan seperti membakar rumah hanya untuk memberantas tikus dan kecoa, dua binatang yang radikal dan intoleran.

Bahkan ada teman saya yang pasti protes karena gak bosa lagi stalking mantannya.

Bagaimanapun juga teknologi tak bisa diadang, di Indonesia ada lebih dari 80 juta pengguna handphone yg duapertiganya adalah ponsel cerdas, smartphone.

Akhirul kalam, semoga pak presiden yang rajin main Vlog bisa lebih bijaksana soal blokir memblokir layanan teknologi.


Salam kekinian

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi