Beras, AISA, dan Segala Perdebatannya

Indonesia, 24 Juli 2017,

Hari ini topik yang paling dibahas adalah soal kasus beras yang melibatkan PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk. suatu perusahaan terbuka sejak 2003 yang bergerak di bidang industri makanan.



Kamis Malam (21/7/2017), gudang milik anak usaha perseroan yakni PT Indo Beras Unggul disegel Tim Satgas Pangan karena diduga melakukan tindakan kecurangan usaha.

Semua langsung heboh. Semua media memberitakan. Semua orang saling menceritakan. Fakta, bumbu cerita, isu, gosip, provokasi semua berbaur jadi satu.

Ada yang bilang ini pengalihan isu (dari apa?), ada yang ngoceh ini persaingan usaha, ada yang bilang ini biar menteri dan kapolri gak diganti, pokoknya macem-macemlah gosipnya.



Yang pasti, karena Tiga Pilar itu perusahaan terbuka, sahamnya yang berkode AISA langsung terkapar. Anjlok 400 poin atau 24,9% dari Rp1.605 menjadi 1.205. Kerugian besar bagi suatu perusahaan terbuka.

Belum lagi, AISA diprediksi akan kesulitan melakukan go public anak usahanya yaitu Dunia Pangan.

PT Dunia Pangan (DP) bergerak di bidang perdagangan beras sejak 2006 di Sragen, Jawa Tengah. Lalu, AISA mulai masuk ke bisnis beras pada 2010, setelah mengakuisisi PT Dunia Pangan (DP) dan mengakuisisi pabrik beras PT Jatisari Srirejeki.

Sampai 2016, DP memiliki lima anak perusahaan yang bergerak dalam produksi dan perdagangan beras dengan total kapasitas sebesar 480.000 ton per tahun.

Kini Dunia Pangan mempunyai lima anak usaha yang bergerak dalam produksi dan perdagangan beras, yaitu PT Indo Beras Unggul (IBU), PT Jatisari Srirejeki (JSR), PT Sukses Abadi Karya Inti (SAKTI), PT Tani Unggul Usaha (TUU), dan PT Swasembada Tani Selebes (STS).

Bagi orang biasa seperti saya dan keluarga, beras yang dijual Tiga Pilar mungkin, pernah, sesekali,juga menjadi konsumsi seperti yang dilakukan banyak orang.

Mereka menjual beras yaitu merek Ayam Jago Rp20.400 per kilogram; merek Maknyuss Rp13.700 per kilogram; merek Jatisari Rp13.180 per kilogram; merek Rumah Adat Rp20.300 per kilogram, dan mereka Desa Cianjur Rp20.300 per kilogram.

Bagi Tim Satgas Pangan, penggerebekan yang dilakukan pada Malam Jumat itu berdasarkan informasi akurat.

Hasil temuan Polri menyebutkan bahwa perusahaan itu menjual beras yang tidak sesuai antara informasi dalam label kemasan dan isi sehingga diduga melakukan penipuan kepada konsumen.




Kepala Bareskrim Polri Komjen Pol. Ari Dono Sukmanto mengatakan bahwa selain pelanggaran soal pembelian di atas harga ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, perusahaan juga melakukan pelanggaran tindak pidana persaingan usaha sebagaimana termaktub dalam Pasal 382 BIS KUHP.

http://industri.bisnis.com/read/20170724/99/674294/kasus-beras-maknyuss-menyoroti-subsidi-beras-premium-oplosan-hingga-peran-bulog

Kedua anak perusahaan itu juga melanggar Undang-undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan yaitu Pasal 141 dan Pasal 89 serta UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

“Fakta lain juga terungkap bahwa berdasar hasil temuan dan pemeriksaan laboratorium terkait nilai gizi yang tercantum pada label kemasan, beras kemasan itu diduga telah membohongi publik khususnya konsumen," ungkap Kabareskrim dalam keterangan resminya di Jakarta, Jumat (21/07/2017).

Berdasarkan hasil laboratorium, beras merek Ayam Jago mencantumkan kadar protein sebesar 14% padahal lebih kecil yaitu hanya 7,73%.

Kadar karbohidrat tercantum 25% padahal lebih besar yaitu 81,45%. Lalu kadar lemak tercantum 6% padahal lebih kecil yaitu hanya 0,38% saja.

Sementara untuk beras merek Maknyuss, dalam kemasannya juga mencantumkan kadar protein sebesar 14% padahal lebih kecil yaitu hanya 7,72%. Kadar karbohidrat sebesar 27% padahal lebih besar yaitu 81,47%. Lalu kadar lemak tercantum 0% padahal lebih besar yaitu 0,44%.

"Ini mencurigakan. Ada apa dengan perbedaan kandungan nilai gizi itu? Sekedar memainkan mutu beras? Persoalan bisnis semata? Atau merupakan usaha sejenis melemahkan bangsa ini di kemudian hari melalui kandungan mutu dan gizi di beras itu karena yang dikonsumsi oleh masyarakat selama ini justru mengandung protein, karbohidrat dan lemak yang justru terindikasi memainkan kesehatan masyarakat melalui pangan," papar Ari.

Ari menegaskan, fakta temuan hasil laboratorium itu akan terus didalami agar kekhawatiran dan tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah khususnya program swasembada beras, justru meningkat.

"Tentu saja ini akan terus didalami serta menjadi masukan agar konsumen tak lagi dibohongi dari sisi nilai gizi dan mutu beras yang dikonsumsi," tegas Ari.


Lalu bagaimana tanggapan AISA?

Jo Tjong Seng, Direktus AISA, membenarkan informasi bahwa telah terjadi pemeriksanaan atas PT IBU oleh pihak yang berwenang. Dirinya memastikan anak usaha perseroan tersebut bersikap kooperatif dan transparan, serta akan melakukan tinjauan internal dan eksternal untuk memastikan fakta.

Berbeda dari tuduhan kepolisian, dirinya mengungkapkan selama ini PT IBU membeli gabah dari petani dan beras dari mitra penggilingan lokal. Menurutnya, PT IBU tidak membeli atau menggunakan beras subsidi untuk pengemasan berlabel.
Dirinya mengungkapkan, PT IBU selama ini memproduksi beras untuk kelas menengah atas sesuai deskripsi mutu SNI serta standar ISO 22000 tentang Food Safety dan GMP.

“PT IBU mengikuti ketentuan pelabelan yang berlaku dan menggunakan laboratorium terakreditasi sebagai dasar pencantuman informasi fakta nutrisi,” ungkapnya dalam surat kepada BEI, Jumat (21/7/2017).

http://market.bisnis.com/read/20170721/192/673745/dugaan-penipuan-harga-beras-ini-penjelasan-tiga-pilar-sejahtera-food


Anton Apriyantono, Komisaris Utama AISA punya pendapat yang lebih berbeda. Begitu pula dengan Bondan Winarno yang juga komisaris di AISA.



Lewat media sosial, pernyataannya Anton Apriyantono sebagai berikut

Anton Apriyantono:

1. Itu fitnah besar, sebentar saya kirim bbrp yg sdh saya tulis

2. Varietas IR 64 itu varietas lama yg sudah digantikan dg varietas yg lebih baru yaitu Ciherang kemudian diganti lagi dg Inpari, jadi di lapangan IR 64 itu sudah tidak banyak lagi. Selain itu, tidak ada yang namanya beras IR 64 yg disubsidi, ini sebuah kebohongan publik yg luar biasa. Yang ada adalah beras raskin, subsidi bukan pada berasnya tapi pada pembeliannya, beras raskin tidak dijual bebas, hanya utk konsumen miskin

3. Di dunia perdagangan beras dikenal itu namanya beras medium dan beras premium, SNI utk kualitas beras juga ada, yg diproduksi TPS sdh sesuai SNI utk kualitas atas

4. Kalau dibilang negara dirugikan, dirugikan dimananya? Apalagi sampai bilang ratusan trilyun, lha wong omzet beras TPS saja hanya 4 T per tahun, lagi2 kapolri melakukan kebohongan publik. Apa gak takut azab akherat ya?

5. Mengenai tuduhan menjual diatas HET, ini tidak bijak karena:
A. SK mendag mengenai HET beras baru ditandatangani dan berlaku 18 Juli, sementra itu tanggal 20 juli sdh diterapkan ke Pt IBu saja, tdk kepada yg lain dan tidak diberikan waktu utk melakukan penyesuaian

B. HET 9000 itu terlalu rendah karena harga rata2 beras saja sudah diatas 10 ribu, perlu dievaluasi lagi, selain itu tetap harus dibedakan antara beras medium dan beras premium karena kualitasnya berbeda

6. Mengenai kandungan gizi, ada ketidakpahaman membedakan antara kandungan gizi dengan angka kecukupan gizi

7. Satu lagi, pemberitaan menyimpan 3 juta ton beras atau membeli beras 3 juta ton beras, itu jelas ngawur karena kapasitas terpasang seluruh pabrik TPS hanya 800 ribu ton


Lain lagi dengan pendapat yang menilai kasus ini belum begitu jernih.

Pengamat pertanian Institut Pertanian Bogor, Dwi Andreas Santosa, mengaku sulit memahami tuduhan Satgas Pangan kepada PT IBU, bahwa produsen beras merek Ayam Jago dan Maknyuss itu menggunakan beras sejahtera (rastra) sebagai bahan baku.

"Kalau mereka [PT IBU] beli beras rastra, orang Bulog bisa-bisa ditangkap semua," katanya saat dihubungi, Minggu (23/7/2017).

http://industri.bisnis.com/read/20170723/99/674138/pengamat-kalau-tiga-pilar-beli-beras-subsidi-orang-bulog-bisa-ditangkap

Tuduhan PT IBU menjual beras kualitas medium setara beras premium pun tak bisa serta-merta dilontarkan berdasarkan varietas padi.

Menurut Dwi, kualitas beras ditentukan oleh kadar air, persentase patahan (broken), dan derajat sosoh (keputihan), yang menjadi acuan pula dalam standar nasional Indonesia (SNI).

Seperti diketahui, PT IBU diduga menggunakan beras jenis IR64 yang biasanya dipakai untuk beras medium.

Tudingan itu bertambah samar mengingat beras jenis IR64 kini jarang diproduksi oleh petani Indonesia. Menurut Dwi, saat ini 65% petani menanam jenis padi ciherang.

"Tapi, apakah itu IR64 atau ciherang, [kualitas] medium dan premium sekali lagi tidak ditentukan oleh jenis beras," jelasnya.

Jika yang dimaksud pemerintah adalah PT IBU membeli beras dari petani yang menerima subsidi, itu pun salah kaprah.

Dwi menilai aktivitas PT IBU membeli beras dari petani penerima subsidi adalah praktik yang wajar mengingat sebagian besar petani Indonesia menerima subsidi benih dan pupuk.

Praktek itu pun dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat yang membeli jagung dan kedelai dari petani yang disubsidi.

"Di kita ini enggak ada yang beli beras tanpa subsidi, kecuali dia tanam pakai benih sendiri, pupuk sendiri. Kalau tidak boleh, tangkapi saja semua pedagang beras, semua pemilik penggilingan padi," ujarnya.

Itu pendapat mereka semua. Kalau saya pendapatnya mungkin cenderung berhati-hati, ‘main aman’ kata orang.

Bagi saya, nasi dari beras adalah makanan pokok. ‘Gak makan nasi kok kayak belum makan’. So kasus AISA ini kok ya jadi njlimet benaran atau sengaja dibikin njlimet?

Bagi saya, beras yang dijual tak hanya dari Tiga Pilar, kita bebas memilih beras yang mau dibeli. Kemahalan? Itu relatif. Saya yakin Anda yang mampu beli paket internet tak akan mempersoalkan nasi yang dimakan dari beras seharga berapa?

Banyak orang bilang, kasus ini hanya permainan orang atas. Nasib petani yang menanam padi tak akan menjadi pembahasan.

Kekurangjernihan kasus ini pula yang membuat saham AISA pada Senin (24/7/2017) malah naik 50 basis poin menjadi Rp1.255 per lembar. Investor mungkin mendapat angin segar dan melihat peluang rebound.

Apapun, semua berpulang kepada rumah tangga masing-masing, mau makan nasi dari beras yang mana?. By the way, Janganlah ngomongin beras sambil makan shabu-shabu misalnya, itu mahal bro

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi