Utang, Pailit, dan Pinjaman Berujung Sengketa

Kali ini kita bicara lagi soal utang.

Ini cerita sekadar menyegarkan memori aja.

Salah satu yang menjadi momok bagi bankir adalah rasio kredit bermasalah atau yang biasa disebut non-performing loan (NPL). Suatu rasio yang menggambarkan jumlah pembayaran kredit yang tidak lancar terhadap total kredit, tentu dikalikan 100%.

Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004 tanggal 12 April 2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, semakin tinggi nilai NPL (di atas 5%) maka bank tersebut tidak sehat.

NPL yang tinggi menyebabkan menurunnya laba yang akan diterima oleh bank. Penurunan laba mengakibatkan dividen yang dibagikan juga semakin berkurang sehingga pertumbuhan tingkat return saham bank akan mengalami penurunan.

Bank biasanya menilai kita sebagai peminjam uang kredit (debitur) berdasarkan profil risiko yang terbagi dalam jenis kualitas kredit atau kolektibilitas.
- Kolektibilitas 1 (satu) disebut lancar
– Kolektibilitas 2 (dua) disebut dalam perhatian khusus
– Kolektibilitas 3 (tiga) disebut kurang lancar
– Kolektibilitas 4 (empat) disebut diragukan
– Kolektibilitas 5 (lima) disebut macet

Jika kita masuk dalam kategori 3,4,5, maka kredit kita masuk dalam status NPL milik suatu bank.
Jika kita sudah dikategorikan Kol (ektibilitas) 5, maka itulah kredit macet, bukan lagi kredit bermasalah.

Dulu, biasanya jasa penagih utang akan berperan mengembalikan status kolektibilitas seseorang/perusahaan debitur dari NPL menjadi kol 1 atau 2.
Kini, orang-orang semakin melek hukum. Semua persoalan (seharusnya) sih diselesaikan secara hukum, tak ada lagi main engkol ataupun palungku. Itu idealnya sih.

Mari kita lihat bagaimana bank-bank kita dalam dua tahun terakhir ini begitu sibuk berperang di pengadilan dengan para debitur mereka yang gak bayar utang. Jangan kaget kalau mereka juga perusahaan-perusahaan besar loh.

Berikut ini sejumlah kasus perjanjian pembayaran utang dengan bank.

1. PT Bima Multi Finance berupaya meyakinkan kreditur dengan mengajukan perubahan proposal perdamaian pada rapat ketiga di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Rabu 21/6/2017.



Perusahaan pembiayaan tersebut masuk penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) secara sukarela.
Sebagai debitur, Bima Multi Finance per 23 Mei 2017, tercatat memiliki utang kepada 43 kreditur separatis senilai Rp879,94 miliar. Selain itu, debitur memiliki kewajiban kepada 29 kreditur konkuren sebesar Rp119,55 miliar.

Kreditur separatis pemegang tagihan terbesar yakni PT Bank Daerah Kalimantan Selatan Rp127,11 miliar, PT Bank Victoria International Tbk. Rp111,93 miliar dan PT Bank Sahabat Sampoerna senilai Rp83,57 miliar.

Presiden Direktur PT Bima Multi Finance Wina Ratnawati mengatakan pihaknya telah merevisi proposal perdamaian yang disesuaikan dengan kemauan para kreditur.

Dalam proposal perdamaian teranyar, debitur menawarkan tiga opsi penyelesaian utang. Pertama dengan adanya capital injection atau suntikan dana dari pemegang saham. Kedua, adanya konversi saham. Ketiga, debitur akan menerbitkan obligasi convertible bond.
Dalam proposal perdamaian, Bima Multi Finance mengaku pendapatan perusahaan terus merosot. Debitur telah kehilangan pendapatan dari angsuran atau fee based income sebesar Rp10 miliar setiap bulan.

Seiring dengan hal ini, debitur telah merumahkan 500 karyawan. Adapun debitur memprediksi akan ada 1.100 karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga Juni 2017 di seluruh cabang debitur di Indonesia.

Kendati begitu, debitur berjanji akan memberikan pesangon kepada karyawan yang otomatis menjadi kreditur preferen, yang haknya harus didahulukan.

Para karyawan, papar proposal tersebut, mengalami demotivasi kerja lantaran proses PHK dan ketidakpastian dari kelangsungan hidup perusahaan. Demotivasi itu memacu kenaikan non performing loan (NPL) atau kredit macet, sehingga penerimaan angsuran mengalami penurunan.

Jalan restrukturisasi utang harus ditempuh untuk menyehatkan kembali operasional perseroan. Pasalnya, apabila tidak restrukturisasi maka Bima Multi Finance berpotensi melakukan PHK atas 3.300 karyawan.

Dalam proposalnya, debitur membagi rencana restrukurisasi menjadi dua, yakni restrukturisasi operasional dan restrukturisasi finansial.

Pada poin restrukturisasi operasional, debitur akan memangkas kantor cabang dari 40 menjadi 16 kantor. Pengurangan karyawan juga akan dilakukan dari 3.303 menjadi 1.549 orang.

Debitur akan berusaha mengontrol ketat NPL, pergantian langganan VPN Telkom, menjadi Speedy atau IndiHome serta mengurangi pengeluaran untuk capital expenditure (capex).

Sementara itu, dari sisi restrukturisai finansial, debitur menerapkan langkah PKPU di pengadilan dan mencari investor strategis. Perseroan juga akan menjual aset-aset yang tidak produktif.

2. Nasib PT Kembang 88 Multifinance Berisiko Pailit.

Upaya PT Kembang 88 Multifinance untuk mengubah nasib dengan meminta voting ulang atas proposal perdamaiannya tak membuahkan hasil maksimal. Mayoritas kreditur separatis masih menolak proposal perdamaian, yang mengakibatkan perusahaan pembiayaan kendaraan tersebut berada di ambang pailit.



Dalam agenda pemungutan suara, Rabu (14/6/2017), mayoritas kreditur konkuren menyetujui proposal perdamaian. Lima dari tujuh konkuren telah mewakili tagihan 86,97%.

Namun, suara dari kreditur separatis tidak seperti yang diharapkan. Meskipun empat dari 11 kreditur separatis setuju dengan proposal dan mewakili tagihan 57,86%, tetapi belum memenuhi syarat.

Dengan begitu, syarat diterimanya proposal tidak memenuhi Pasal 281 huruf b UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU.
Dalam voting, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. yang digadang-gadang akan mengubah suaranya, ternyata tetap menolak proposal perdamaian. Pemungutan suara atas proposal perdamaian PT Kembang 88 Multifinance ini digelar untuk kedua kalinya. Alasannya, ada dua kreditur separatis yang mengubah keputusannya, yakni PT Bank J Trust Indonesia Tbk. PT BRI Syariah.
Semula mereka menolak, tapi kemudian menyetujui proposal perdamaian. Oleh karena itu, pengurus penundaan kewajiban pembayaran utang PT Kembang 88 menggelar kembali voting atas instruksi hakim pemutus.
So kita tunggu saja gimana hasil akhirnya bagi bankir dan debiturnya.

3. PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. bersikeras menginginkan perpanjangan penundaan kewajiban pembayaran utang bagi debiturnya PT Kimas Sentosa, perusahaan peritel telepon seluler.

Bagi Bank Mandiri, jalan restrukturisasi dianggap paling ideal untuk menagih utang ketimbang debitur harus pailit. Namun, kuasa hukum Bank Mandiri Suwandy menyatakan akan mengikuti prosedur hukum apabila PT Kimas Sentosa akhirnya jatuh pailit.
Karena itu, dalam rapat kreditur di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Selasa (13/6/07), Suwandy menyampaikan permintaan Bank Mandiri agar debitur diberi perpanjangan waktu PKPU, sekalipun mendapat pertentangan dari kreditur lain.

Bank Mandiri adalah pemegang tagihan terbesar ke PT Kimas. Bank berkode BMRI ini bertindak sebagai kreditur separatis dengan tagihan Rp373,51 miliar sekaligus konkuren (tanpa jaminan) senilai Rp319,59 miliar.

Jalur pailit adalah yang terburuk bagi pihak bank lantaran terdapat piutang BMRI yang tidak dijamin. Lagipula, jaminan yang dipegang BMRI selaku kreditur separatis hanya berupa aset tanah, bangunan dan inventori.

Aset tersebut, menurut perwakilan internal Bank Mandiri Hasmi Usman, sama sekali tidak menutup tagihan bank. "Kalau debitur niatnya baik ya bisa lanjut usaha [going concern] untuk membayar utangnya," tuturnya.

Namun, Corporate Secretary Bank Mandiri Rohan Hafas mengatakan, upaya hukum tersebut dilakukan terhadap PT Kimas Sentosa. Perusahaan ritel telepon seluler yang dimiliki Yoyong Kimas dan Trisasono Kimas ini dilaporkan ke Kepolisian Republik Indonesia.

“Sebagai debitur, Kimas tidak memiliki itikad baik untuk menyelesaikan kewajiban dan terindikasi melakukan penyalahgunaan kredit,” katanya dalam siaran pers (18/6).

4.PT Bintang Jaya Proteina Feedmil dan PT Sinka Sinye Agrotama (Sujaya Group) mendapat kesempatan terakhir untuk memperpanjang masa PKPU. Tambahan waktu digunakan untuk negosiasi lagi dengan kreditur.




Waktu 270 hari seperti yang diberikan UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU hampir habis bagi perusahaan yang masuk restrukturisasi lewat pengadilan pada 18 Oktober 2016 ini.

Hakim pengawas Wiwik Suhartono memberi kesempatan bagi debitur untuk membahas lagi proposal perdamaian dengan para kreditur hingga waktu yang diamanahkan UU habis. "PKPU debitur diperpanjang selama 30 hari secara aklamasi," kata Wiwik dalam rapat kreditur, Senin (12/6/2017).

Kuasa hukum Sujaya Group, Aji Wijaya mengatakan perpanjangan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) ini merupakan permintaan dari beberapa kreditur. Tujuannya, untuk memaksimalkan waktu, karena jika gagal debitur bakal pailit.

Dalam kurun tersebut, pihaknya menjanjikan akan ada dua kali pembahasan revisi proposal pada 5 Juli dan 8 Juli. Setelahnya, voting atas proposal perdamaian dapat dilakukan pada 12 Juli.

Kuasa hukum salah satu kreditur, Hongkong and Shanghai Banking Corporation Ltd., Swandy Halim mengatakan akan memberi kesempatan kepada debitur untuk memperpanjang waktu PKPU. Pihaknya setuju agar debitur menggunakan sisa waktu yang ada semaksimal mungkin.

Pasalnya, HSBC masih belum bisa menerima proposal perdamaian terakhir yang disodorkan oleh debitur. Menurutnya, proposal masih memerlukan perbaikan yang cukup banyak.

Sebelumnya HSBC tidak setuju dengan perombakan proposal perdamaian terkait dengan adanya investor. Apalagi, bank harus menunggu pembayaran utang pokok dalam 2-3 tahun lagi.

Senada, kuasa hukum PT Bank Commonwealth Ricardo Simanjuntak memahami kemauan debitur untuk memperpanjang masa PKPU. Pihaknya mendukung langkah debitur asal Sujaya Group tidak mengotak-atik pembicaraan yang telah dilakukan di luar persidangan.
Pihaknya mengaku telah memiliki kesepakatan dengan debitur terkait dengan jaminan hak kebendaan. Dia meminta debitur tidak melakukan perubahan pada poin yang telah disepakati.

"Jika kesepakatan diubah-ubah nanti membuat bingung kreditur," ungkapnya. Bank Commonwealth memegang jaminan tanah di Pandeglang.
Anak usaha Sujaya Group; PT Bintang Jaya Proteina Feedmil dan PT Sinka Sinye Agrotama masuk PKPU karena permohonan yang diajukan HSBC. Bank tersebut menagih utang debitur yang telah diberi fasilitas pinjaman masing-masing Rp622,26 miliar dan Rp62,86 miliar. Adapun total utang debitur hingga saat ini mencapai Rp3 triliun.

Upaya sujaya Group keluar dari belitan utang mendapat respons dari investor. Macquarie Capital berencana menyuntikkan modal US$12 juta pada perusahaan peternakan tersebut.

Usaha Sujaya Group meliputi industri pakan ternak (feedmill), pembibitan (breeding farm), budidaya ayam pedaging (broiler farm), rumah potong ayam, dan pengolahan daging ayam (slaughter house and meat processing plant)?.

5. PT Bank CIMB Niaga Tbk. menyatakan tidak akan terburu-buru melakukan sita jaminan debiturnya, PT Surisenia Plasmataruna yang telah dinyatakan pailit.

Kuasa hukum Bank CIMB Niaga Hasbi Setiawan mengatakan pihaknya memilih untuk mengikuti rapat verifikasi tagihan dan membicarakan langkah kreditur kepada prinsipal.

Eksekusi jaminan yang dimaksud adalah pabrik dan mesin Surisenia yang ada di Talikumain, Riau. Selain itu, jaminan juga berupa kebun sawit, hingga mesin bergerak lainnya.

"Masih ada waktu, dan prasyarat juga belum terpenuhi. Lagipula masih diobrolkan dengan prinsipal dulu. Kami tunggu, lah, sampai rapat verifikasi," tuturnya, Senin (29/5/2017).

Dari total 32 kreditur pabrik minyak kelapa sawit tersebut, CIMB Niaga memiliki tagihan terbesar. Setidaknya, hingga 13 Desember 2016, utang Surisenia ke bank mencapai Rp96,49 miliar.

Surisenia berutang kepada CIMB Niaga berdasarkan fasilitas kredit yang diberikan 3 September 2012. Atas kredit tersebut Surisenia tak kunjung melunasinya.

Selama menyandang status penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU), debitur memiliki utang mencapai Rp220 miliar. Selain CIMB Niaga, produsen CPO ini juga memiliki utang kepada kreditur lain, seperti PT Dapenbun Investama dan Abdul Rachman Harahap.

6. Perusahaan jasa telekomunikasi PT Krida Setia Abadi harus merestrukturisasi utangnya lewat Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

Krida Setia Abadi (termohon) masuk dalam penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) sementara selama 45 hari, atas permohonan PT Bank OCBC NISP Tbk. (pemohon). Majelis hakim menilai debitur terbukti memiliki utang senilai Rp69 miliar.

Kuasa hukum Krida Setia Abadi Ahmad Firmansyah mengklaim utang debitur terhadap Bank OCBC belum seluruhnya jatuh tempo.
Menurutnya, debitur masih memiliki waktu hingga 2020 untuk melunasi kewajibannya. Dia menjelaskan, Bank OCBC telah mengucurkan tiga fasilitas kredit yang memiliki waktu jatuh tempo yang berbeda-beda.

"Dua fasilitas kredit sudah jatuh tempo tetapi ada satu yang belum," ujarnya usai sidang, Kamis (18/5).

Ketua majelis hakim Budi Hertianto menimbang termohon I terbukti memiliki utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih sebesar Rp69 miliar kepada pemohon. Majelis menimbang termohon II Made Rahardja, termohon III Hira Indriati dan termohon IV PT Subur Sakti Putera merupakan penjamin dari termohon I untuk melunasi kewajiban.

"Mengadili mengabulkan permohonan PKPU yang diajukan pemohon terhadap termohon I hingga termohon IV untuk seluruhnya," katanya saat membacakan amar putusan.

Berdasarkan BI Cheking, ujar Budi, termohon II memiliki kreditur lain yaitu kepada Citibank dan PT Bank Central Asia Tbk. Sementara itu, termohon III memiliki kreditur lain yakni kepada PT Bank CIMB Niaga Tbk., dan PT Bank UOB Indonesia.

Perkara ini terdaftar dengan No.57/Pdt.Sus-PKPU/PN.Jkt.Pst. Sebelumnya, kasus yang sama terdaftar dengan No.33/Pdt.Sus-PKPU/PN.Jkt.Pst. Namun putusan majelis hakim saat itu tidak berpihak kepada PT Bank OCBC NISP Tbk., Majelis hakim berpendapat utang PT Krida Setia Abadi belum jatuh tempo.
Perkara ini bermula dari fasilitas kredit yang dikucurkan pemohon kepada termohon pada 18 September 2014. Termohon dianggap tidak membayar kewajibannya.


7. PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. terus berupaya mencegah masuknya Trilium Global Pte Ltd ke dalam daftar kreditur separatis PT Rockit Aldeway, debitur yang telah pailit.



Kali ini, bank pelat merah itu mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, setelah kurator Rockit tetap memasukkan Trilium dalam dalam daftar tagihan kreditur.

Kuasa hukum Bank Mandiri Giri Singgih mengatakan dimasukannya Trillium dalam daftar tagihan tidak berdasar. Pasalnya, bank tidak pernah mendapatkan laporan aliran dana dari debitur, sehingga peruntukkan dana pinjaman dari Trillium tidak jelas.
Tidak tanggung-tanggung, jumlah tagihan Trillium mencapai Rp1,02 triliun, dan menjadi pemegang tagihan hak jaminan (separatis) terbesar dalam proses kepailitan Rockit Aldeway.

"Dalam kasasi ini, kami berupaya mendapatkan cash flow debitur, sebenarnya pinjaman itu digunakan untuk apa," katanya saat ditemui di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Senin (8/5/2017).

Selain itu, dia juga meminta tanggung jawab dari kurator. Pasalnya, Bank Mandiri masih menganggap Trilium merupakan kreditur fiktif, meski hal ini ditampik oleh pihak debitur dan kurator.

Total tagihan ke debitur mencapai Rp1,89 triliun dari total 20 kreditur. Tagihan terbesar berasal dari Trilium Global (Rp1,02 triliun) dan Bank Mandiri (Rp250,13 miliar).

Giri mengatakan apabila Rockit terbukti memiliki kreditur fiktif, maka perkara juga dapat diselidiki oleh kepolisian. "Untuk membuktikan kreditur fiktif, kami mengajukan kasasi terhadap tagihan Trillium Global Pte Ltd agar bisa ditelisik semuanya," katanya.

Bank berkode BMRI ini mempermasalahkan adanya 13 kreditur separatis yang diduga fiktif. Dia menilai Rockit mendapatkan pinjaman uang dari kreditur lain tanpa sepengetahuan dan seizin dari pihak bank.
Padahal, dalam perjanjian kredit modal kerja, kedua pihak mengatur bahwa debitur tidak boleh menerima pinjaman dari pihak lain tanpa persetujuan bank, sepanjang utang belum dinyatakan lunas.

Dia menjelaskan, selama Juli - Oktober 2015 debitur mendapatkan pinjaman dari 13 kreditur senilai Rp1,02 triliun. Adapun, 12 pemberi pinjaman merupakan perorangan dan satu kreditur merupakan perusahaan asal Singapura, Trilium Global.

Bank Mandiri telah mengajukan dua permohonan kasasi terkait dengan kasus pailit Rockit. Selain kasasi soal tagihan Trilium Glory, BMRI juga mengajukan kasasi terhadap pembagian boedel pailit Rockit Aldeway dan Harry Suganda tahap I.

Bank menilai pembagian harta pailit tahap pertama dinilai tidak adil dan melanggar undang-undang. Salah satunya, kurator membayarkan tagihan kepada Trilium Global Rp4,22 miliar.

8. Kreditur PT Pazia Pillar Mercycom berharap banyak dengan masa perpanjangan Pazia (debitur) selama 50 hari. Perpanjangan itu dimaksudkan agar debitur menyempurnakan proposal perdamaian.

Utang

Pasalnya, beberapa kreditur mengendus langkah debitur yang akan memasukkan investor sebagai cara untuk membayar utang. Dengan begitu, debitur diharapkan dapat meracik formula pembayaran yang lebih baik.

“Untuk apa memberi perpanjangan delapan hari kalau tidak ada perubahan apa-apa. Jadi lebih baik perpanjangan 50 hari,” ungkap salah satu kuasa hukum kreditur konkuren dalam rapat kreditur, Jumat (12/5).

Kuasa hukum PT Bank Maybank Indonesia Tbk. Duma Hutapea tidak setuju dengan proposal perdamaian terakhir yang disodorkan debitur. Menurutnya, rencana perdamaian dapat dioptimalkan lagi apabila debitur serius bekerja ekstra.

Dia keberatan hanya diberi hak tanggungan senilai Rp40 miliar dari nilai tagihan. Sementara itu, sisanya Rp119,05 miliar akan dibayarkan oleh debitur dengan mengangsur selama 10 tahun. Skema tersebut dinilai merugikan pihak perbankan.
Bank Maybank merupakan kreditur pemegang hak jaminan (separatis) yang mengantongi tagihan terbesar Rp159,05 miliar. Total tagihan debitur dalam PKPU ini mencapai Rp392,11 miliar.

Kuasa hukum PT Pazia Pillar Mercycom Nien Raffles Siregar mengungkapkan kepuasannya terhadap hasil aklamasi perpanjangan 50 hari. Debitur akan berusaha mengoptimalkan waktu yang diberikan oleh para kreditur sebaik-baiknya.

Dalam proposal perdamaian, debitur meminta tunggakan bunga dan denda dihapuskan untuk tagihan kepada kreditur separatis, yang dibayar hanya utang pokok.

Debitur juga meminta masa tenggang (grace period) selama 36 bulan untuk pembayaran utang pokok tersebut. Adapun utang akan dicicil selama 10 tahun dengan bunga berjalan 5%.

Adapun untuk kreditur konkuren, debitur membagi menjadi tiga kategori berdasarkan jumlah tagihan. Utang di bawah Rp500 juta, debitur meminta keringanan atau diskon sebesar 10%, masa tenggang 12 bulan dan cicilan sebanyak enam kali.
Utang di atas Rp500 juta hingga Rp5 miliar, debitur meminta diskon 20%, masa tenggang 18 bulan dan cicilan sebanyak 18 kali. Sementara itu, debitur meminta diskon 30%, masa tenggang 36 bulan dan cicilan 48 kali untuk utang di atas Rp5 miliar.
Penyusunan proposal perdamaian ini merupakan tindak lanjut setelah PT Pazia diputus PKPU oleh majelis hakim pada 13 Februari lalu.

PT Pazia adalah peritel yang menyediakan berbagai macam jenis produk komputasi seperti telepon pintar, tablet, komputer jinjing dan personal komputer (PC). PT Pazia mendistribusikan produk unggulan dari sejumlah merek IT dari Acer, Sony hingga Samsung.

Nah dari 8 kasus itu semua, bankir tentu berharap kredit yang telah diberikan akan kembali secara maksimal. Karena lewat pengadilan, bank tentu juga berharap tidak pulang tangan hampa alias kosong-kosong bae.

Comments

fa said…
Soal Kembang 88, ini link berita terbaru di mana penyelesaian telah disepakati

http://kabar24.bisnis.com/read/20170716/16/671843/akhirnya-restrukturisasi-utang-kembang-88-berakhir

http://koran.bisnis.com/read/20170717/439/671924/restrukturisasi-utang-pengadilan-restui-perdamaian-kembang-88

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi