Utang Indonesia, Audit, dan Penghematan

Panggilannya Prof BA, namanya Baharullah Akbar. Orang Betawi asli, aktif juga di Bamus. Orangnya ramah, terlihat tegas dan tipe pemikir (namanya juga Profesor). Prof BA kini menjabat Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), lembaga tinggi negara yang memiliki wewenang melakukan audit keuangan negara yang punya sekitar 6.000 auditor di seluruh Indonesia.

Senin 10 Juli 2017, 10.00-12.00 wib, saya bertemu karena Prof BA melakukan kunjungan ke kantor kami. Dia membawa jajarannya yang lumayan banyak. Setidaknya saya jadi kenal.

Bagi kami, kunjungan bos BPK, tentu tak lain dari menjalin hubungan baik sekaligus meredam kasus suap yang menimpa oknum auditornya baru-baru ini.



Beberapa omongan Prof BA masuk kategori off the record. Namun, saya suka dengan analogi-analogi yang dibuatnya tentang fungsi dan peran BPK saat ini.

"Di sepak bola, itu loh yang di pertandingan antarnegara, golnya Portugal dianulir pakai teknologi, sehingga wasit dan pemain jadi tahu kesalahannya di mana. Saya maunya seperti ini, mari kita BPK seperti teknologi itu bisa dipakai agar pertandingan ini berjalan adil, semua yang dilakukan juga ketahuan," ujar lulusan University of Leicester ini.

Bagi Prof BA, hasil kerja BPK itu yang bisa 4 jenis yaitu 1. kesalahan administrasi ya direkomendasikan untuk dikoreksi, 2. pemborosan ya direkomendasikan perencanaannya diperbaiki, 3. Kemahalan ya harus dikembalikan, 4. Fiktif dan markup ya wajib dikembalikan.

"Di suatu negara antah berantah, dalam penyusunan anggarannya, itu pos pendapatannya ditinggikan, tetapi kita tahu kalau tiap tahun penerimaannya tak pernah sampai target, sementara di sisi pengeluaran belanja, keluar terus, sehingga ya pasti sulit dan bisa disclaimer. Itu di negeri antah berantah," ujarnya.

Saya tersenyum, jadi teringat bagaimana petuah orang tua mengatakan "Perencanaan yang baik itu 50% dari kemenangan".

So, jika perencanaan kurang pas, belanja lebih tinggi dari penerimaan, trus dananya dari mana?

Utang--uang yang dipinjam dari orang lain, begitu kata Kamus Besar Bahasa Indonesia V-- menjadi jurus penyelamat.

Banyak orang bilang, berutang itu tidak haram, silahkan saja. Ada juga yang bilang, kalau mau punya sesuatu ya ambil utang aja. Ada juga yang bilang hidup ini ibarat berutang, jadi kenapa takut berutang.

Saya termasuk orang yang takut berutang. Bukan apa, saya sadar betul betapa susahnya dulu kredit motor, padahal cuma 18 bulan, meskipun puas sih karena beli motor pakai duit sendiri tanpa minta orang tua. Prestasi yang bisa dibanggakan sebagai laki-laki.

Lagipula, pelajaran agama mengajarkan saya bahwa utang tetap harus dibayar meski kita wafat. So, harus pintar-pintar merencanakan utang.

Di media sosial, lagi ramai orang bahas tema lama, yaitu utang Indonesia yang kini udah Rp3.600 triliun. Tiga ribu enam ratus triliun rupiah. Itu uang semua loh.

Bagi pemerintah, utang bisa berarti banyak. Persoalan seperti ketersediaan dana pembangunan itu penting. Namun, kondisi beban keuangan pemerintah saat ini memang harus menjadi perhatian khusus, karena kalau tidak dikelola dengan hati-hati bisa bumerang tersendiri.

Defisit anggaran hingga pertengahan tahun ini bahkan sudah mencapai 2,67% terhadap produk domestik bruto, atau nyaris mendekati ambang psikologis 3%.

Defisit kan dibiayai utang, dan utang sebaiknya dipakai produktif. Dan memang seharusnya demikian.

Beragam program subsidi, terutama di bidang energi juga begitu besar menyerap dana negara, bahkan melebihi proyeksi. Dalam pembahasan pemerintah dengan DPR tentang R-APBN 2017, total subsidi energi membengkak sebesar Rp25,8 triliun menjadi Rp103,1 triliun dalam R-APBN 2017 dari APBN 2017 sebesar Rp77,3 triliun.

Kontribusi terbesar dari membengkaknya subsidi energi ini berasal dari subsidi LPG yang naik Rp18,5 triliun menjadi Rp40,5 triliun dalam R-APBN 2017 dari posisi Rp22 triliun di dalam APBN 2017.

Sementara itu, peningkatan juga terjadi pada subsidi listrik senilai Rp7 triliun menjadi Rp52 triliun dalam R-APBN 2017 dari Rp45 triliun yang tercantum dalam APBN 2017.

Di sisi lain, defisit fiskal tahun ini juga memiliki risiko melebar menyusul kemungkinan lebih rendahnya penerimaan pajak dibandingkan dengan target. Kondisi shortfall penerimaan pajak 2017 diperkirakan mencapai Rp50 triliun.

Kalau saya yang berutang, tentu pengeluaran dihemat-hemat.

Begitu juga dengan pak Jokowi. Selaku Presiden, beliau pun langsung bikin Instruksi Presiden untuk menghemat belanja barang untuk tahun anggaran 2017 sebesar Rp16 triliun.

Efisiensi belanja barang meliputi perjalanan dinas dan paket meeting, honorarium tim/kegiatan, belanja operasional perkantoran, belanja jasa, belanja pemeliharaan, belanja barang operasional dan nonoperasional lainnya.

Kebijakan penghematan ini memang bukanlah kali pertama dilakukan pemerintah, terutama oleh Sri Mulyani, menteri keuangan yang konon 'kurang disukai' legislator di senayan. Entahlah.

Nah, apapun yang dilakukan pemerintah dengan utang, saya kok tetap optimistis itu untuk Indonesia juga, meski saya pun tak mau dibilang naif karena kalau diaudit pun pasti masih banyak 'tikus' yang makan hasil utang itu.

Tapi seperti kata Prof BA, " Diaudit aja masih ada yang kayak begitu, gimana gak diaudit?"

So, jangan sampai semua utang itu hanya menjadi angka yang diperdebatkan tanpa melihat esensinya.

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi