Uang Baru, Redenominasi, Sanering, dan Kurs Rupiah Kita


Indonesia 18 Juli 2017,

Sore ini, Yayus—kawan kerja, tiba-tiba bertanya, “Emang uang kita tidak boleh dipakai di luar negeri ya? Itu kata kawan di medsos, katanya uang NKRI ini beda dengan uang yang dicetak Bank Indonesia, jadi gak bisa dipakai di luar.”



Saya langsung serius. “Kok bisa ya? Bukannya kalau ke luar negeri memang selalu pakai dolar, bukannya rupiah? Atau jangan-jangan ini persoalan penolakan uang baru saja,”

Dia juga serius. “Iya kalau soal pakai dolar, gue paham. Tapi maksudnya apa ya? Katanya uang baru ini tandatangannya juga kok ada menteri keuangan. Jadi gak bisa dipakai di luar?”

“Ah mungkin salah paham saja. Mereka di medsos mungkin kurang dapat info soal Uang NKRI, itu uang sudah lama dan gak ada kaitan dengan persoalan politik, ataupun kaitan dengan uang emisi baru yang katanya ditolak karena ada gambar palu arit itu,” kata saya coba beri penjelasan.

Namun, saya jadi teringat cerita kawan yang meliput acara peluncuran uang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di auditorium lantai 4 gedung Sjafruddin Prawiranegara Bank Indonesia di Jalan MH Thamrin 1 Jakarta, Pertengahan Agustus 2014.

Saat itu, Gubernur BI Agus D. W Martowardojo dan Menteri Keuangan M. Chatib Basri bersama-sama menekan tombol peluncuran uang Rp100.000 tahun emisi 2014.

Ada yang baru di uang pecahan rupiah terbesar itu. Ada frasa Uang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Seratus Ribu Rupiah. Kalimat tersebut ditulis dengan huruf kapital mengganti posisi kalimat di uang pecahan Rp100.000.

Kali ini di uang berwarna merah itu terdapat tanda tangan Menteri Keuangan RI. Sebelumnya, uang pecahan Rp100.000 ditandatangani oleh Gubernur BI dan Deputi Gubernur BI sejak 2004.

Uang tahun emisi 2014 itu juga masih memakai potret Sukarno dan M. Hatta, tokoh proklamator bangsa ini. Makanya di acara tersebut hadir hadir ahli waris dari keluarga Bung Hatta dan Bung Karno yakni Puti Guntur Soekarno dan Meutia Hatta, Gemala Hatta dan Halida.

Namun, itu semua bukan asal kemauan Agus Marto ataupun Chatib Basri. Kedua pejabat negara tersebut melakukan tugasnya menjalankan amanat Undang-Undang No.7/2011 tentang Mata Uang.

Apa itu Uang NKRI dengan segala macam penjelasannya sudah tertuang di dalam UU yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 28 Juni 2011.

Lewat layanan Whatsapp, saya pun meneruskan file UU tersebut ke Yayus. “Filenya gak gede kok cuma 257 kilobyte dan lengkap 33 halaman. Baca aja,” kata saya coba meyakinkan dia.

“Gue sih bukan apa, cuma malas bacanya aja. Tapi info kayak ini kan memang harus kita kasih juga ke orang-orang lain yang mungkin kurang paham,” kata Yayus.

Persoalan paham-memahami uang baru ini memang menjadi persoalan tersendiri di era milenial saat ini yang begitu mendewakan informasi sepotong-potong di jagad maya alias media sosial.

Salah satu isu yang mungkin menjadi bahan diskursus saat ini adalah Redenominasi. Isu yang tak pernah selesai dalam sewindu terakhir.

Bahkan banyak kabar hoax pula tentang gambar uang redenominasi yang bikin masyarakat bingung.



Agus Martowardojo yang mulai menjabat posisi Gubernur Bank Indonesia sejak 23 Mei 2013 pun mau tak mau harus menempatkan redenominasi sebagai salah satu agenda utama masa jabatannya.

Dan sejak itu pula, setiap tahun kita selalu mendengar bagaimana BI selalu menggaungkan agar DPR dan Pemerintah segera menyelesaikan pembahasan RUU Redenominasi Rupiah.

Sebegitu mendesakkah Redenominasi segera dilakukan?

Bagi saya, alasan redenominasi itu masuk akal. Kondisi denominasi yang besar menimbulkan inefisiensi dalam transaksi jual beli dan akuntansi.

Selain itu, redenominasi diharapkan dapat menumbuhkan rasa bangga terhadap rupiah, karena nilai rupiah dibandingkan mata uang negara lain tidak terlalu rendah.

Bagi Agus Martowardojo, waktunya memang tepat saat-saat seperti sekarang ini. Inflasi relatif terjaga di kisaran 3%, nilai tukar rupiah juga stabil di kisaran Rp13.000 dan pertumbuhan ekonomi nasional relatif 5% sejak 2015.

“Kami akan upayakan RUU ini bisa diusulkan untuk dibahas di DPR, karena UU ini nanti hanya 17 pasal,” ujar Agus seusai acara Penghargaan Bank Indonesia 2017 di Gedung BI, Selasa (18/07/2017).

Semua ada prosesnya. Bagi Agus Martowardojo, jika RUU Redenominasi bisa dibahas tahun ini dan segera disetujui, maka proses transisi kebijakan tersebut akan memakan waktu hingga tujuh tahun dengan dua tahun sebagai persiapan.

Nah, redenominasi mata uang rupiah bukanlah pemotongan mata uang yang langsung memangkas daya beli masyarakat.



Redenominasi adalah menentukan ulang jumlah angka dari mata uang dan secara bersamaan harga barang dan jasa yang harus disebutkan ulang.

Saya jadi ingat lagi candaan Agus Martowardojo di acara lain, sekitar 10 hari sebelum peluncuran Uang NKRI. Dia mulai dengan berpantun, “Ronggolawe Bupati Tuban, biar duit selawe hatinya roman”.

Agus sambil tergelak, menggoda salah satu wartawan yang masih menjomblo tidak punya pacar hingga usia 25 tahun.
Agus menjelaskan arti pantun yang kurang lebih adalah tak perlu modal banyak untuk mencari pasangan hidup. Selama hati terbuka, maka pasangan akan menghampiri meskipun hanya bermodal selawe, kata dalam bahasa Jawa yang artinya dua puluh lima.

“Selawe itu artinya Rp25. Selawe setelah terkena redenominasi. Aslinya Rp25.000,” katanya, lagi-lagi sambil tertawa.

Redenominasi memang berbeda dengan pengguntingan uang yang sering disebut Sanering.



Bila sedikit melongok ke praktik yang terjadi di negara-negara lain redenominasi sebetulnya banyak terjadi. Sebabnya bisa macam-macam, tetapi mayoritas karena faktor inflasi, di mana nilai mata uang terus turun.

Beberapa kasus di Eropa, redenominasi terjadi karena kebijakan satu mata uang euro di benua biru tersebut. Slovakia adalah negara terakhir yang melakukannya tahun lalu, setelah Malta (2008) dan Slovenia (2006).

Dari Afrika, redenominasi—lebih identik dengan sanering—menimpa Zimbabwe pada 2006, 2008, dan berlanjut pada 2009. Hiperinflasi membuat pemerintah setempat mengganti pecahan 1 triliun dolar zimbabwe menjadi 1 dolar.

Indonesia, justru pernah mengalami sanering pada era pemerintahan Presiden Soekarno. Pertama pada 10 Maret 1950, Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta II, dengan menggunting pecahan Rp5 ke atas menjadi dua.

Kedua, melalui kebijakan ini dituangkan dalam Penetapan Presiden atau Penpres No 27/1965 yang menjadikan Rp1.000 (uang lama) sama dengan Rp1 (uang baru). Saat itu, nilai uang dipotong sedangkan harga-harga tetap.

Kondisi sekarang memang berbeda dengan masa lalu. Rupiah kita ini sudah begitu dinamis menantang uang-uang internasional.

Namun, saya lebih tertarik melihat tantangan rupiah terhadap harga barang sehari-hari. Inflasi memang stabil, tetapi bagi saya harga memang sudah begitu tinggi.



Di toko dan warung, uang Rp100, Rp200 ataupun Rp500 kini memang hanya jadi recehan yang bunyinya nyaring. Bahkan kita pun tak bisa lagi mendapatkan uang pecahan Rp1.000 dalam bentuk kertas. Uang kertas pecahan terendah sekarang adalah Rp2.000.

So, daripada lebih pusing, saya bilang ke Yayus, “Mendingan kita mikirin kenapa uang sekolah anak sekarang tambah mahal ya?”

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi