Saat Oppo & Vivo Menggeser iPhone, Samsung & Xiaomi

Indonesia 26 Juli 2017,

Sore ini entah kenapa yang melintas di pikiran saya adalah menulis soal handphone, telepon seluler-ponsel. Barang yang identik dengan konsumsi banyak orang saat ini.



Mungkin pikiran konsumtif ini datang karena sah tanggal 26, tanggal psikologis ketika rekening karyawan swasta dibanjiri transferan gaji, dan mungkin bonus prestasi. Baru megang slip gaji aja sah berasa kaya, mau beli ini, mau itu, mau banyak sekali.

Soal handphone atau smartphone yang sekarang sering disebut ponsel cerdas, memang punya banyak kisah humanis yang sayang kalau gak diambil pelajaran.



Saya berkenalan dengan handphone sejak masa kuliah, itu pun baru megang-megang aja punya teman, Arif Muslim. Pernah sekali Arif pinjemin buat nelpon, eh sekali saya pakai pulsa langsung tiris. Kapok deh minjem lagi, kasihan yang punya handphone.

Selebihnya saya lebih suka pakai telepon koin dan kartu yang bisa beli bebas. 17 tahun lalu malah pager Motorola yang saya andalkan untuk berkomunikasi, gaul.

Handphone pertama saya justru dikasih almarhum nyokap. Mereknya Ericsson dengan model T10s warna biru. Nomornya ternyata masih nomor nyokap, jadinya roaming deh. Pulsa tekor. Beli nomor HP di Roxy Tomang ternyata mahal pula, bisa Rp500.000 paling murah.



Saya mungkin setia seperti bokap, my old man. Kami berdua sama, tipe setia sama satu merek. Kami pecinta Ericsson. Entah karena fiturnya sudah demikian akrab di jempol atau karena memang seleranya mentok di situ aja.

Kami bahkan kemudian punya handphone yang sama yaitu Ericsson T28, warna silver hitam. Gadget itu akhirnya tak lagi dipakai karena persoalan antenanya.


Sekarang kami berdua punya selera yang berbeda. Saya pakai Samsung dan Xiaomi, bokap betah di Sony dan Samsung. Biarlah, toh sekarang beliau akhirnya bisa pakai WhatsApp dan main Facebook.

Selain orang tua sendiri, ada dua tokoh yang selalu ada dalam benak saya jika bicara mengenai pemakaian ponsel.

Yang pertama adalah pak Ci atau pak Ciputra (Tjie Tjin Hoan) konglomerat 86 tahun tanggal 24 Agustus bulan depan, pemilik grup Ciputra dan termasuk perusahaan tempat saya cari uang.

Sekitar 2005, saya pertama kali melihat sendiri bagaimana pak Ci memakai ponsel jadulnya. Saat itu, ponsel sebenarnya sudah cukup canggih, tetapi beliau tetap santai menggunakan ponsel layar kecilnya.

“Beliau kan orang kaya, konglomerat, tetapi kok pakainya ponsel yang masih jadul sih? Atau mungkin beliau sama kayak bokap, merasa sah familiar dengan style ponselnya?” begitu benak saya bertanya-tanya.

Lain lagi dengan tokoh kedua yang saya temui April lalu. Pak Mochtar Riady, konglomerat pemilik grup Lippo ini yang juga usianya setahun di atas pak Ci.



Di usia yang begitu senior, Mochtar Riady ternyata masih memiliki pikiran yang tajam dalam berbicara teknologi, bisnis, dan tentu saja tren milenial. Ketika ngobrolin soal digital, tiba-tiba tangan kirinya mengeluarkan handphone dari saku celana.

“Semua ada di sini,” katanya sambil mempertunjukkan ponsel cerdas Huawei berlayar 6 inchi dengan spesifikasi tertinggi tersebut. Mahal, itu pasti. Gak usah ditanyain.

Huawei, kata Mochtar, memang saat ini masih menjadi ponsel dari China yang nomor satu, mengalah banyak merek dari Negeri Tiongkok tersebut.

“Dia punya lapisan pelapis baterai ini canggih, bisa menyerap panas seperti teknologi NASA, jadi semua handphone niru dia,” begitu penjelasan pak Mochtar. Well informed ternyata.

Dengan banyaknya produsen handphone yang memasarkan produknya di Indonesia, Huawei harus bekerja secara maksimal meyakinkan masyarakat akan kualitas produk yang mereka pasarkan.

Memang bukan hal yang mudah untuk meyakinkan masyarakat Indonesia, akan kualitas sebuah produk yang berasal dari China, karena sebagian orang masih menganggap remeh sebelah mata kualitas produk lokal seperti Huawei.

Namun untuk urusan spesifikasi ponsel tersebut, sudah pasti mampu bersaing dengan handphone yang di produksi perusahaan besar, seperti Samsung, Sony, dan LG yang sudah sejak lama dikenal sebagai salah satu produsen ponsel cerdas terbesar di dunia.

Kalau saya saat ini lebih suka dengan Xiaomi. Alasannya karena dua hal, murah dan punya spesifikasi tinggi. Faktor lain sih anggap aja bonus karena beda tipis dengan produk selevel dari produsen lain.

Namun, satu hal yang tak bisa dibantah saat ini adalah ponsel China begitu menguasai pasar Indonesia. Mereka mampu menggeser merek Apple Iphone, Blackberry, Nokia, Sony bahkan saingan dari Korea yaitu LG dan Samsung.

Ada satu fenomena yang saya lihat sepanjang Tour mudik Sumatra kemarin. Dari Lampung sampai Sumatra Barat, hanya gerai Oppo dan Vivo yang menyaingi kedekatan toko Alfamart dan Indomart.

Oppo dan Vivo, dua ponsel China itu memang bersaing keras. Iklan mereka juga menunjukkan kompetisi ketat.



Di antara vendor asal China, Oppo dan Vivo merupakan merek paling menonjol di pasar Indonesia.

Kedua merek dagang itu berada dalam ruang persaingan dengan strategi inisiatif pemasaran, yakni berupa insentif dan margin untuk mitra penyalur. Tak hanya itu, terdapat pula penyempurnaan pada layanan purnajual untuk mengatasi stigma negatif dari smartphone China yang telah menetapkan standar baru bagi beberapa vendor global dan lokal.

Berdasarkan International Data Corporation (IDC) Mobile Phone Tracker periode kuartalan, shipment atau penjualan wholesale ponsel pintar di Indonesia mencapai 7,3 juta unit pada kuartal I/2017.

Jumlah itu lebih banyak 13% dari periode yang sama pada 2016, tetapi turun 15% dibandingkan dengan kuartal sebelumnya.

http://koran.bisnis.com/read/20170726/435/674949/penjualan-ponsel-agresivitas-china-tekan-vendor-lokal

Lima vendor smartphone dengan volume distribusi terbanyak pada kuartal I/2017 adalah Samsung, Oppo, Asus, Advan, dan Lenovo, yang sekarang juga bertindak sebagai vendor ponsel merek Motorola.

Inisiatif China yang kaya dengan aliran dana segar meninggalkan para distributor lokal yang berjuang untuk bersaing di pasar dengan sumber dana dan sumber daya terbatas. Sementara itu, Samsung mengubah strategi untuk menangkis persaingan dan mempertahankan kepemimpinan pasar.

Vendor yang berbasis di China berfokus pada aktivitas pemasaran di berbagai lini, terutama papan reklame, selebaran, iklan TV, dan lainnya. Mereka juga menunjuk selebritas sebagai brand ambassador dan mempekerjakan tenaga penjual yang fokus menjual produk dalam skala nasional.

Di sisi lain, vendor lokal yang berjuang untuk tetap kompetitif memilih alternatif lain, seperti meluncurkan aplikasi in-house, memperkenalkan smartphone dengan harga kompetitif pada spesifikasi serupa dengan produk asal China, dan lebih fokus di pinggiran kota dan perdesaan.

Dari sisi harga, vendor China telah memposisikan diri dengan baik di segmen menengah dengan sebagian besar harga handset pada kisaran US$200—US$400. Oleh karena kurangnya ekuitas brand, upaya vendor lokal untuk menyaingi mereka kurang berhasil, sehingga mereka harus terus bermain di segmen menengah bawah dengan harga tak lebih dari US$200.

Namun, hal itu tak mengurangi usaha vendor lokal untuk mendapatkan kembali pangsa pasar smartphone karena mereka berusaha memberikan layanan bernilai tambah lebih banyak, seperti Advan yang mengembangkan varian antarmuka pengguna (user interface) Android sendiri yang disebut IdOS.

Polytron dengan varian user interface yang disebut FiraOS, dan Evercross bermitra dengan Foxconn untuk membangun smartphone seri Luna, sebuah rebranding lengkap dari Evercross yang disenjatai dengan lebih banyak fitur dan pengembangan lebih baik ditujukan untuk pengguna segmen menengah yang sedang berkembang.

So, soal ponsel memang sangat terkait dengan preferensi masing-masing orang. Saya yakin Anda pun punya pilihan dan selera yang tak mau disamakan.

Tiba-tiba, ponsel saya berbunyi tanda ada SMS masuk. Itu layanan SMS Banking, notifikasi payroll, tanda transferan gaji sudah masuk ke rekening.

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi