London, kopi, dan kedai bir






Suasana bandara pada Minggu pagi selalu ramai, apalagi di Heathrow yang merupakan airport tersibuk ke-5 di dunia. Nyaris setengah tujuh pagi, ketika pesawat A380 yang kami tumpangi itu mendarat mulus di bandara berkode LHR itu.

Antrian penumpang di konter imigrasi begitu panjang seakan menambah kepenatan penerbangan kami selama nyaris 13 jam dari Singapura. Namun hati tenang, karena di Heathrow, bagasi yang menunggu penumpang.

Saya berkesempatan ikut dalam rombongan Bursa Efek Indonesia yang tengah melakukan roadshow di London 9-13 Juli. Kami menginap di salah satu hotel di wilayah City of London.

Lokasi hotel kami hanya seperlemparan batu dari Katedral St. Paul, salah satu ikon wisata di kota yang berpenduduk 7,4 juta orang tersebut. Bangunan itu merupakan gereja terbesar kedua setelah Katedral Liverpool.

Gereja itu memang sangat terkenal karena pernah menjadi tuan rumah bagi sejumlah momen penting. Salah satunya adalah perkawinan Pangeran Charles (Prince of Wales) dan Lady Diana Spencer pada 29 Juli 1981.

Dengan 14 pounds, kita bisa ikut tur singkat ke dalam gereja yang dibangun kembali oleh Sir Christopher Wren setelah kebakaran hebat awal 1666, atau sekitar empat abad silam. Hari Minggu itu, wisatawan tumpah ruah di sekeliling Katedral.

Ada yang ikut tur, dan tak sedikit yang sekadar duduk-duduk ditemani sekelompok burung merpati. Ada pula yang betah nongkrong di sejumlah kafe dan kedai kopi yang bertebaran di sekitar wilayah Katedral.

Di wilayah itu, kedai kopi memang begitu dominan dan bahkan saya hampir tak melihat bangunan London Stock Exchange yang hanya dipisahkan lapangan luas di samping Katedral St. Paul.

Beruntungnya, lokasi hotel kami juga hanya berseberangan dengan Millenium Bridge, salah satu jembatan dengan arsitektur modern dari logam mengkilat yang bisa membawa kita menyeberang ke wilayah Southwark.

London, kala itu, masuk musim panas dengan cuaca cerah 16-21 derajat celcius. Sejuk tetapi angin tetap menusuk ratusan wisatawan di Millenium Bridge. Di tengah jembatan arah ke Southwark, akan terlihat Big Ben dan London Eye di sebelah kanan dan London Bridge serta London Tower di sebelah kiri Anda.

Jam gadang Big Ben dan Buckingham Palace memang legendaris dan Westminster Abbey jadi ikon sebagai tempat perkawinan Pangeran William dan Kate Middleton. Namun jangan berharap London Tower adalah bangunan yang jangkung dengan tinggi selangit.

London Tower yang begitu ramai dengan wisatawan, hanyalah bekas istana dan benteng tua dengan ketinggian seperti bangunan dua tingkat. Namun legenda Jack the Ripper jadi misteri pemikat para turis yang bertandang ke sana.

Tak ada salahnya berfoto-foto di depan Tower of London dengan latar belakang London Bridge ataupun kapal perang HMS Belfast yang berlabuh di seberang gedung telur City Hall.

Namanya juga musim panas alias masa liburan. Di London, apapun harinya, sedikit kemacetan selalu mewarnai perjalanan.

Dari hotel, kami coba taksi London yang terkenal itu, biarkan dia memutar depan Trafalgar Square dan nyaris 20 pounds untuk mencapai wilayah Bayswater tempat restoran China yang enak.

Perut kenyang dan udara sore yang sejuk membuat kami berjalan kaki menuju Hyde Park, taman kota yang jujur saja lebih rindang dari lapangan Monas. Di seberang Hyde Park, mampirlah ke Brompton Road dan menyempatkan diri cuci mata di Harrods, toko milik keluarga Al-Fayed.

Kali ini kami balik ke hotel tanpa taksi, dan London Underground, jaringan kereta bawah tanah yang tertua di dunia, menjadi sarana murah meriah. Cukup sediakan 4 koin masing-masing 1 pound dan Anda bisa keliling London.

Mau merasakan suasana transportasi kelas dunia, mampirlah ke King’s Cross, stasiun terbesar di Inggris dan tentu saja wilayah ‘lampu merah’ yang bikin penasaran.

Selain di Picadilly Circus, kami sempatkan diri ke Covent Garden, semacam pasar tua yang unik. Begitu banyak kedai kopi dan penjaja suvenir di Covent Garden yang masih memajang suvenir Williams-Kate.

London, selain minum teh, memang terkenal dengan konsumsi kopinya. Perusahaan asuransi paling terkemuka di dunia, Lloyd of London Insurance, itu berasal dari kedai kopi Edward Lloyd’s pada 1668.

Bahkan, Adam Smith menulis buku The Wealth of Nations dari sebuah kedai kopi di London yang juga menjadi alamat surat menyuratnya. Raja Charles II menutup seluruh kedai kopi di London, karena dianggap sebagai tempat pemufakatan makar. Kini kedai kopi awal khas British menghilang perlahan tergantikan oleh kedai bir (tavern).

Namun, sebagai penyuka bola, London begitu menyenangkan bagi saya karena memiliki 13 stadion sepak bola.

Berkesempatan mengunjungi Stamford Bridge, kandang Chelsea, bagi saya sudah seperti mengunjungi stadion-stadion milik klub Londoners lainnya seperti Arsenal, Tottenham Hotspurs, West Ham United, Fulham, Crystal Palace, Queens Park Rangers, Watford, Charlton hingga Wembley dan Stadion Olimpiade London.

Kata teman saya, “Cubit pipi, ini bukan mimpi kan?” Ah London jelas akan selalu bikin kangen untuk mengunjunginya kembali. (fahmi.achmad@bisnis.co.id)

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi