Menumpuk asa pada PP No.33/2006

Oleh Fahmi Achmad
Bisnis Indonesia
Menumpuk asa pada PP No.33/2006


Ketika PP No.33/2006 pertama kali dikeluarkan pemerintah, harapan besar membuncah dari para bankir bank BUMN akan adanya perlakuan yang sama dengan bank-bank swasta dalam memperlakukan kredit bermasalahnya.
Para bankir pelat merah ingin menjadikan ketentuan yang berisi tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No.14/2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah, ini sebagai senjata pamungkas non performing loan (NPL).
Hingga kini, pikiran para bankir BUMN selalu diganggu persoalan NPL. Bukan apa, banyak pihak masih menyoroti tingginya angka NPL industri yang didominasi bank BUMN, apalagi peran kreditnya pun tersalip bank swasta.
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), hingga Oktober 2007, total kredit bermasalah di bank pemerintah sebesar Rp27,88 triliun dengan rasio NPL 8,5%. Total NPL industri sendiri Rp47,37 triliun.
Bank Mandiri memiliki outstanding sebesar Rp14,37 triliun sebagai NPL per September 2007. BNI pun mempunyai Rp6,6 triliun sebagai kredit bermasalah. Karena itu, PP 33 menjadi harapan adanya kesamaan playing field antarbankir agar tak disalahkan ketika merestrukturisasi kredit macetnya.
Apa lacur, cerita selanjutnya tak semerdu harapan bankir BUMN. Hingga Desember ini akan berakhir. Gerak laju implementasi beleid tersebut seakan jalan di tempat alias baru sekedar wacana dalam diskusi maupun konsumsi berita semata.
Padahal, ada dua poin penting PP No. 33/2006 berupa penegasan bahwa piutang BUMN bukan merupakan bagian dari piutang negara, dan penyelesaian piutang BUMN dilakukan sesuai koridor hukum korporasi a.l. UU Perseroan Terbatas, UU BUMN, dan UU Pasar Modal.
Ketentuan itu dijabarkan lagi dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.87/2006, revisi PMK No.31/2005 tentang Tata Cara Pengajuan Usul, Penelitian, dan Penetapan Penghapusan Piutang Perusahaan Negara/ Daerah, dan Piutang Perusahaan Negara/ Daerah.
Dukungan Mahkamah Agung (MA) pun keluar melalui keputusan No. WKMA/Yud/20/VII/2006 tanggal 16 Agustus 2006 menyatakan, piutang BUMN tidak dapat disebut sebagai piutang negara. Fatwa MA soal Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah tersebut diterbitkan menanggapi surat yang diajukan Menteri Keuangan RI bernomor S-324/MK.01/2006 pada 26 Juli.
Sayang kondisi tak nyaman mencuat dengan pernyataan Meneg BUMN Sofyan Djalil yang menyebutkan oversight committee (OC) untuk restrukturisasi kredit bank-bank BUMN mungkin tak diperlukan lagi setelah masa kerjanya habis per 31 Desember 2007.
Biar bagaimanapun, beleid sakral itu masih memberikan secercah harapan dengan pemberian potongan utang pokok maksimal 50% dalam penyelesaian kredit macet dengan nominal di bawah Rp5 miliar.
Kesepakatan tersebut didukung Wapres Jusuf Kalla agar 1.047.069 unit UMKM yang memiliki utang tak terbayar senilai Rp17,09 triliun dapat menikmati kemurahan hati kreditor.
Kebijakan ini ditetapkan mulai 1 Desember 2007 dalam tempo dua kali enam bulan atau satu tahun. Bank Mandiri akan mengimplementasikan haircut senilai Rp6,5 triliun kepada sekitar 87.000 nasabahnya, sedangkan BNI sebesar Rp2,2 triliun dari sekitar 24.000 debitornya yang bermasalah.
Hapus tagih terbesar akan dilakukan Bank Rakyat Indonesia yakni senilai Rp7,09 triliun milik 796.000 nasabah, sedangkan yang terkecil oleh Bank Tabungan Negara yakni Rp1,29 triliun dari 138.000 debitor.
Ada kriteria umum yang menjadi landasan haircut seperti potongan pokok dapat diberikan kepada pinjaman berstatus kolektibilitas lima dengan cut off date 31 Desember 2005 hingga 8 Oktober 2007.
Fasilitas potongan pokok utang akan diberikan kepada debitor yang tidak menyalahgunakan pinjaman. Selain itu, haircut akan diberikan kepada nasabah yang usahanya masih memiliki prospek menjanjikan dan barang yang selama ini menjadi agunan masih bernilai.
Bagi Bank Mandiri, penerapan PP No.33/2006 merupakan langkah efektif memangkas rasio kedit bermasalah yang menjadi batu sandungan mengkilap kinerja manajemen dalam mencetak laba.
Lain lagi dengan Pemimpin Divisi Kredit Khusus BNI Berlin Sembiring yang berharap implementasi PP 33/2006 bisa membungkam kritikan terhadap tingginya NPL bank persero.
Dia menjelaskan tingkat pengembalian (recovery) yang maksimal dari program hapus buku akan menambah dana pada porsi pencadangan sehingga posisi rasio kredit bermasalah bersih (netto) akan turun signifikan.
Tapi lagi-lagi, harapan hanya akan menjadi ajang berwacana karena para bankir yang tergabung dalam Himbara pun belum mampu menyamakan mekanisme prosedur pemotongan utang pokok.
Bagaimana dengan potensi moral hazard? Direktur Manajemen Risiko Bank Mandiri Sentot A.Sentosa mengatakan profesi bankir seakan kehilangan kepercayaan dari masyarakat. “Kami punya kode etik, kami punya pengawas seperti BI, lalau ada komisaris, ada komite-komite lainnya. Itu semuanya apa belum kredibel?” ujarnya.
Sama seperti bankir bank BUMN lainnya, Sentot menilai pemahaman para penegak hukum belum sejalan. Padahal, bank BUMN memiliki setidaknya enam beleid yang menjadi pagar, mulai dari UU Perseroan Terbatas hingga UU Kekayaan Negara.
Tapi marilah kita berpandangan ke depan yang positif. Jangan sampai fungsi intermediasi sekedar terganjal belum tuntasnya implementasi PP 33/2006, karena ekonomi nasional masih membutuhkan bank sebagai jantungnya.

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi