Menanti bayang-bayang lembaga penjamin polis

11 april
Oleh Fahmi Achmad
Bisnis Indonesia

Menanti bayang-bayang lembaga penjamin polis

Apresiasi dan dukungan positif layak diberikan kepada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) Depkeu yang akhirnya mencabut nyawa delapan asuransi berstatus pembatasan kegiatan usaha (PKU).

Eksekusi izin usaha asuransi PKU yang seperti terpidana mati ini sekaligus mendentangkan kembali suara-suara yang menginginkan adanya lembaga penjamin asuransi atau penjamin polis atau dan lainnya.

Sewindu sudah, Depkeu memberikan kepastian hukum dengan mencabut izin asuransi baik yang kategori bangkai maupun mati segan hidup tak mau. Dan kembali tiap tahun diskursus lembaga penjamin asuransi itu berdengung.

Bagi pemerintah dan pemegang saham, status hukum telah jelas rest in peace tapi bagaimana dengan nasib dana para pemegang polis atau kewajiban post-mortem lainnya berupa utang perusahaan?

Namun sayang Depkeu memberikan sinyal pembentukan lembaga penjamin asuransi itu masih memerlukan waktu yang tidak singkat. Regulator beralasan saat ini pihaknya dalam posisi menunggu mekanisme industri yang memungkinkan sistem itu bisa terwujud.

Bagi Kepala Biro Perasuransian Isa Rachmatarwata industri tidak mungkin mau membentuk sistem yang sudah dipastikan akan memaksa mereka melakukan pembayaran kepada pemegang polis dalam waktu dekat karena ada beberapa perusahaan yang dinilai sudah berada di ambang jurang.

Itu berarti LPP hanya bisa dihadirkan jika industri telah memiliki memiliki kapasitas, kekuatan, kompetensi, dan kemampuan yang seimbang. ”Kalau ada satu dua perusahaan yang dipersepsikan sudah jelas akan mengalami permasalahan kemudian industri dipaksa berkontribusi dalam mekanisme itu mereka tentu akan menolak,” tutur dia.

Jika melihat pengalaman di berbagai negara mengenai pembentukan lembaga sejenis, ada alternatif lainnya yang bisa diambil. Kalau industri dinilai belum mampu dan belum mau berkontribusi dalam pembentukan lembaga itu karena masih adanya ketimpangan, pemerintah sendiri yang harus memberikan kontribusi besar agar lembaga itu bisa terwujud. Tapi itupun bukan opsi yang saat ini ingin diambil pemerintah. ”Menurut saya pemerintah kita saat ini tidak dalam posisi untuk melakukan hal tersebut.”

Lalu kapan? Jika alternatif yang harus digunakan adalah menunggu adanya keseimbangan di industri tentu pendirian LPP jelas bukan dalam waktu dekat ini, karena kemampuan perusahaan di industri jasa keuangan itu masih sangat timpang.

”Semua harus berupaya dengan sungguh-sungguh, saya tidak bisa mengatakan lama atau sebentar, yang jelas ada hal-hal lain yang harus kita kerjakan terlebih dahulu walaupun wacana, pemikiran dan diskusi mengenai hal itu bukan sesuatu yang tabu,” ujar dia.

Jaminan terhadap dana nasabah sebenarnya sudah tersedia pada regulasi asuransi. Misalnya bila perusahaan dinyatakan pailit maka berdasarkan pasal 20 UU No.2/1992 tentang perasuransian yang akan diamandemen entah kapan selesainya, nasabah asuransi harus ditempatkan pada urutan pertama pembagian harta pailit.

Ada juga mekanisme pembayaran dana pemegang polis yang bisa diambil dari dana deposito wajib yang disetor perusahaan ketika diberikan izin usaha oleh Depkeu.

Perusahaan asuransi dan reasuransi berdasarkan PP No.73/1992 wajib menempatkan Deposito Jaminan sekurang-kurangnya 20% dari modal disetor, sebagai salah satu bentuk jaminan atas dana yang dikumpulkan dari masyarakat.

Tapi deposito wajib pun rasanya belum meyakinkan dan menenangkan para tertanggung. Kenangan pahit lima tahun silam terbayang, di mana tertanggung PT Asuransi Jiwa Namura Tatalife (pailit) yang hanya mendapatkan pro rata 5,9% dari nilai tunai polis, akibat kecilnya nilai harta pailit.

Ketika itu pencairan deposito jaminan Namura Tatalife sempat membuat Depkeu di Lapangan Banteng blingsatan, dan akhirnya menerbitkan SK Menkeu No.191/KMK.06/2002 yang mewajibkan perusahaan asuransi menunjukkan bukti penyimpanan bilyet deposito jaminan asli.

Tapi itu hanya jadi jaminan bagi Depeku, sebagian nasabah tertanggung tak paham hal tersebut karena terbuai bujukan agen penjual polis. Lalu apa lagi pegangan nasabah dan kepada siapa harus mengadu?

Bagi B. Munir Sjamsoeddin, tokoh asuransi nasional dan pernah menjabat dirut di beberapa asuransi, pemilik perusahaan dan manajemen merupakan pihak yang harus memegang peran utama mengembalikan dana nasabah.

“Apa memang harus pemerintah terus yang harus bertanggung jawab, publik membeli asuransi kan secara sukarela,” kata dia.

Munir yang kini ketua Sekolah Tinggi Manajemen Risiko dan Asuransi (STIMRA) ini mengatakan persepsi bahwa kegagalan usaha harus ditanggung pemerintah harus diubah dan dia mengkhawatirkan, jangan sampai ada fre rider dari bailout pemerintah.

Masyarakat bisa berkilah pilihan terhadap suatu asuransi karena meyakini pemerintah memberikan pengawasan yang ketat. Faktor keketatan pengawasan merupakan salah satu hal yang tak bisa ditawar-tawar, ujar Munir, selain konsistensi dan objektivitas regulasi serta disiplin pasar. “Untuk mencegah asuransi bodong, pemeriksaan pemerintah jangan mudah ditekuk beragam hal atau jangan hanya alasan ini kan demi pembinaan.”

Karena itu, tak salah bila ide pembentukan lembaga penjamin polis (LPP) harus segera dimulai. Toh, semua prakondisi utama sudah terwujud dengan adanya kepatuhan perusahaan asuransi memenuhi risk based capital (RBC) minimal 120% sejak akhir 2004.

LPP memang harus dibentuk segera meski dampak signifikannya mungkin baru terasa sepuluh tahun mendatang. Lamanya waktu bukan hanya karena dampak tapi rumusan pembentukannya pun rumit.

Tidak seperti Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), tempat mantan Direktur Asuransi Depkeu Firdaus Djaelani kini bekerja, agak susah memilih skema penjaminan polis yang berdaya manfaat serta diterima seluruh stakeholders asuransi.

Dari sisi pungutan premi dan besarannya, harus ada tim ahli yang memikirkan penarikan iuran premi keanggotan perusahaan asuransi tersebut, dipungut dari besaran premi tertanggung, uang pertanggungan atau dana tunai dalam polis?

Skema penjaminan polis ini memang akan lebih ditujukan kepada industri asuransi jiwa. Kenapa? investasi yang ditanamkan perusahaan asuransi jiwa umumnya bersifat jangka panjang, dibandingkan dengan yang ada di asuransi umum. Selain itu, asuransi umum lebih banyak di-back-up oleh reasuransi sementara asuransi jiwa kurang besar.

Layaknya LPS yang hanya menjamin maksimal Rp100 juta, tak semua polis mungkin bisa dijamin. Polis nasabah yang diganti itu nantinya juga hanya untuk nasabah perorangan sementara pemegang polis group life kemungkinan besar tidak akan ikut terjamin.

Yang jelas, keberadaan lembaga penjamin polis mulai sekarang merupakan sebagian komitmen pemerintah untuk menciptakan industri asuransi yang kondusif. Atau jangan-jangan Depkeu menunggu tiga asuransi PKU yang tersisa menjadi bom waktu penyelesaian tuntutan dana masyarakat? Semoga tidak.

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi