Ayo ke Bank !!!

Ketika bank berharap jangan ditinggalkan

15 Juni 2007
faa
Oleh Fahmi Achmad
Bisnis Indonesia

Berbicara di hadapan Gubernur BI dan para dirut bank-bank besar, nampaknya tidak membuat Johan Darsono gugup ataupun kehilangan kata-kata. Pria muda asal Solo Jawa Tengah ini mampu menarik perhatian para hadirin acara penandatangan komitmen bersama cetak biru edukasi masyarakat di bidang perbankan, kemarin.
Johan merupakan salah satu dari tiga nasabah bank yang diberikan kesempatan mengungkapkan kesannya memanfaatkan jasa keuangan. Nasabah BNI dan Bank Syariah Mandiri (BSM) ini mengungkapkan kenangan dirinya pertama kali memasuki pintu kantor bank umum syariah di Surakarta.
“Banyak mata memelototi saya seperti berkata apa saya tidak salah masuk bank?” ujar pria berdarah keturunan China ini, yang langsung disambut tawa lepas para bankir papan atas yang hadir.
Bagi Johan, produk perbankan memang sudah semakin banyak dan memudahkan nasabah memenuhi transaksi finansial. Namun sikap bergaya eksklusif bankir yang seakan memilih-milih nasabah dan bahkan terkesan tak butuh lagi nasabah maupun calon debitor, kadang menjengkelkan.
“Saya berharap bank seperti bank syariah untuk melihat kami yang belum semuanya terakomodasi. Jadi mari menjangkau seluruh masyarakat non-muslim,” kata dia yang langsung membuat wajah Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah sumringah.
Masih banyak bank yang berlaku tak lagi membumi dengan kepentingan nasabah, dalam artian banyak mengumpulkan dana namun tak sanggup menyalurkan kembali untuk mendukung sektor riil.
Tapi bagi bankir, persoalan antara bank dengan masyarakat juga tak lepas dari belum memadainya tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat di bidang keuangan khususnya produk jasa perbankan.
Dalam beberapa tahun terakhir, sudah tak terhitung banyak anggota masyarakat yang tertipu dengan produk investasi baik dari bank maupun non-bank. Kerugian besar masyarakat masih membekas dari jejak-jejak Bank Global maupun bank-bank ‘tuyul’ di daerah.
Kejadian tak mengenakkan tersebut membuat Bank Indonesia berinisiatif membentuk pokja edukasi masyarakat di bidang perbankan sejak bulan lalu. Tim tersebut terdiri dari 14 bank umum, 1 BPR, 1 lembaga penyelenggara kartu kredit, 4 asosiasi perbankan dan 1 asosiasi bidang keuangan. Sayangnya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tak diikutkan.
Selain sebagai implementasi pilar 6 Arsitektur Perbankan Indonesia, Burhanuddin mengatakan cetak biru edukasi merupakan upaya agar masyarakat peduli akan manfaat dan risiko dalam berhubungan dengan bank.
“Juga aware terhadap langkah-langkah yang dilakukan pihak-pihak yang sebetulnya bukan bank tetapi seolah-olah menawarkan produk seperti bank, ini yang banyak masyarakat yang harus disadarkan,” katanya.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Husna Zahir mengatakan praktik bank sekarang lebih banyak menebar janji-janji lewat iklan semata, tanpa peduli terhadap transparansi risiko kepada nasabah.
Mencari untung sekaligus menenangkan hati para pemegang saham merupakan hal wajar bagi bankir dalam mengelola perusahaan, namun kadang upaya tersebut belum diiringi keseimbangan fungsi dan peran intermediasi.
Padahal, dana masyarakat yang terkumpul di perbankan begitu besar dan harusnya bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Tahun lalu saja, dana pihak ketiga yang dikumpulkan bank naik Rp176,6 triliun menjadi Rp1.299,8 triliun, artinya orang masih percaya keamanan dananya kepada bankir.
Namun, pemutaran dana melalui angka kredit tak kunjung maksimal. Hal itu menurut Burhanuddin karena belakangan ini nasabah bank melunasi kreditnya dan memindahkan upaya mencari dana ke tempat lain seperti pasar modal.
Bagi nasabah korporasi, mencari dana pada perbankan seakan tak lagi satu-satunya pilihan. Maraknya penerbitan obligasi menjadi bukti nyata diversifikasi sumber dana bagi industri.
Bursa Efek Surabaya melaporkan obligasi korporasi yang akan diterbitkan pada semester I 2007 diperkirakan mencapai Rp22 triliun dari 27 emiten, lebih tinggi dibandingkan pencapaian sepanjang 2006 yaitu Rp11,45 triliun.
Bahkan tahun ini permintaan obligasi diyakini mencapai Rp90 triliun lebih tinggi dibandingkan penerbitan yang direncanakan oleh korporasi dan negara yang diperkirakan mencapai Rp65 triliun.
Sementara industri perbankan hingga empat bulan pertama ini masih kurang yakin mampu mencapai target kredit baru Rp150 triliun.
“Ini menjadi perhatian bagi bank karena dengan demikian bank punya saingan yang justru cukup signifikan dan ini juga menjadi perhatian bagi BI karena kalau bank itu berada di dalam pengawasan BI sementara obligasi korporasi di bawah pengawasan Bapepam. Sehingga koordinasi antar otoritas ini menjadi penting,” papar Burhanuddin.
Kondisi tersebut dipahami benar para bankir. Dirut Bank Mandiri Agus Martowardojo mengatakan tren berpalingnya nasabah dari bank merupakan suatu tantangan ketimbang ancaman. Bagi dia, bankir memilih solusi tak lagi bergantung pendapatan selisih bunga, tapi dari peningkatan fee based income, serta pengendalian biaya, termasuk restukrturisasi kredit bermasalah.
Pendapatan non bunga memang menjadi incaran bank agar tak ditinggalkan. Inovasi dan terintegrasinya produk keuangan membuat bank bisa meraih untung dari produk semacam reksa dana dan bancassurance. Khusus reksa dana mulai menunjukkan pemulihan dengan pencapaian nilai aktiva bersih per Mei 2007 sebesar Rp62,24 triliun.
Sejumlah upaya edukasi dan dukungan dari bank sentral membuat para bankir pun meninggalkan seremonial penandatanganan komitmen tersebut diiringi suara merdu juara Indonesia Idol Joy Tobing yang menyanyikan jingle “Ayo ke Bank”.

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi