Apa kabar pekerja migran Indonesia?

Menata sisi finansial pekerja migran Indonesia
3 Mei 2007
faa
Oleh Fahmi Achmad
Bisnis Indonesia



Pahlawan devisa yang terlupakan, mungkin itu kalimat yang bisa menggambarkan besarnya peran dan sumbangsih pekerja migran Indonesia di luar negeri terhadap perekonomian nasional.
Terlupakan bukan berarti tak ada dukungan, perbankan sebagai motor industri keuangan selama ini tak ketinggalan memberikan fasilitas layanan kredit seperti untuk program penempatan, perlindungan, dan pemberdayaan para tenaga kerja Indonesia di luar negeri.
Banyak bank yang terlibat dalam fasilitas pinjaman yang sering diistilahkan kredit TKI tersebut. Bank-bank besar seperti BNI, Bank Mandiri, BRI dan bank swasta lainnya tercatat memberikan kontribusinya.
Mari asumsikan, jumlah penempatan pekerja migran ada empat juta orang sampai 2009 dan kredit per orang Rp20 juta, maka terbilang angka Rp80 triliun, suatu potensi dana yang bisa disalurkan bank sebagai kredit bagi tenaga kerja Indonesia.
Sayangnya semua fasilitas tersebut masih merupakan layanan yang sekedar memanjakan para pahlawan devisa tersebut saat berangkat memeras keringat ke luar negeri. Lalu bagaimana ketika dukungan kepada mereka ketika pulang ke Tanah Air?
Selain menggarap fasilitas kredit TKI yang disalurkan melalui perusahaan pengerah jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) yang berperan sebagai penjamin, bank-bank nasional saat ini cenderung mengejar fee based dari jasa pengiriman uang (remittance).
Maklum, besarnya dana yang dikirim para pekerja migran tersebut sangat besar tiap tahun. Data Bank Indonesia menunjukkan total dana remittance baik lewat perbankan maupun badan hukum lainnya, mencapai US$4,5 miliar di 2006.
Menurut data Depnaker, saat ini terdapat 2,7 juta pekerja Indonesia yang bekerja di luar negeri. Angka tersebut diharapkan meningkat menjadi tiga juta orang pada tahun ini. Dalam lima tahun terakhir, jumlah uang yang dikirimkan TKI rata-rata mencapai US$2,4 milar.
Pengiriman terbesar berasal dari Malaysia (45%), Arab Saudi (30%), Taiwan (9%), Kuwait (5%), dan Hong Kong serta Singapura (masing-masing 3%). Sisanya, tersebar sejumlah negara lainnya di Asia dan Timur Tengah.
Duit komisi berapa persen yang diraup dari jasa pengiriman dana tersebut sehingga bank-bank sedikit melupakan bagaimana memelihara para pekerja migran tersebut saat masanya pulang kampung.
Bankir-bankir pun rasanya kalah start dengan para pengurus koperasi yang menggalang dukungan semua pihak guna membentuk Koperasi Simpan Pinjam Tenaga Kerja Indonesia.
Koperasi tersebut beranggotakan seluruh TKI, baik yang hendak berangkat ke luar negeri hingga yang sudah pulang kembali ke Tanah Air, akan memfasilitasi dan mengakomodasi skema kredit pembiayaan.
Bagi TKI yang hendak bekerja di luar negeri, maka dapat mengajukan kredit ke koperasi untuk menutup seluruh biaya yang dikeluarkan dalam proses penempatan. Misalnya biaya untuk membuat paspor, pendidikan dan pelatihan, uji kemampuan dan kesehatan serta biaya lainnya.
Sementara untuk TKI yang kontrak kerjanya sudah berakhir, maka bisa mengajukan kredit ke koperasi untuk memulai suatu usaha di dalam negeri.
Tapi lebih baik terlambat dibandingkan tidak sama sekali, bank pun memulai langkah serupa. BNI misalnya menjadi pioner dengan mengeluarkan fasilitas kredit pemilikan rumah dan kendaraan bermotor kepada para pekerja migran di Hong Kong.
Bank persero ini menawarkan KPR dengan plafon Rp20 juta- Rp40 juta untuk pembelian ruamh sehat sederhana, sedangkan fasilitas KPM diberikan plafon Rp8 juta hingga Rp20 juta.
“Banyak dari pahlawan devisa di Hong Kong bilang kenapa tidak ada dari dulu, jadi kami bisa melihat hasilnya di kampung,” ujar Diah Sulianto Vice President Divisi Kredit Konsumen BNI.
Ya, kenapa tidak dari dulu? Bagi para pekerja migran tersebut, kehidupan luar negeri seperti di Hong Kong mempengaruhi mereka untuk hidup boros walaupun ada juga yang mampu berhemat.
Lagipula uang yang terkirim lewat jasa remittance rawan terhadap tindak kejahatan dan membuat dana yang dikumpulkan para TKI berpotensi tidak sampai kepada pihak yang dituju.
Peran bank tentu tak sekedar memasarkan produknya tapi juga mengedukasi pekerja migran ini agar mampu mandiri menata sisi keuangan yang selama ini seakan tak terpikirkan oleh mereka.
Paling tidak dengan mengalokasikan 50% dari pendapatan mereka untuk rencana masa depan seperti membangun rumah di kampung ataupun memiliki barang seperti kendaraan bermotor dan kegiatan pendidikan serta lainnya merupakan hal-hal yang perlu ditanamkan bankir kepada para pekerja migran.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno mengingatkan peran perbankan dalam pembiayaan usaha mandiri yang dirintis TKI setelah kembali dari luar negeri jangan sampai memberatkan para pekerja migran tersebut. ”Perbankan perlu memberikan berbagai kemudahan. Misalnya, persyaratan kredit yang mudah dan agunan yang lebih ringan,” kata Erman.
Jasa pekerja Indonesia di luar negeri memang pantas dihargai semestinya dan dukungan perbankan merupakan langkah konkrit dan bentuk penghargaan tersendiri. Jangan sampai para pekerja migran pulang hanya membawa koper pakaian belaka.

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi