Berharap dari anak usaha bank

30 Oktober
Oleh Fahmi Achmad
Bisnis Indonesia
Ketika anak usaha bank diharapkan menggeliat

Tren penyediaan jasa keuangan yang lengkap membuat banyak bank kini tak lagi sekedar berkutat di jasa inti. Kepemilikan layanan finansial komprehensif membuat bank harus memiliki anak usaha jasa keuangan yang mumpuni.
Di Tanah Air, Bank Dunia sejak telah menyoroti mulai bergesernya paradigma bank yang mulai berkonsentrasi atas kepemilikan anak usaha di lembaga keuangan non bank baik asuransi, dana pensiun, multifinance hingga perusahaan sekuritas.
Saat ini pun, kepemilikan bank atas lembaga keuangan nonbank maupun diversifikasi layanan terkait semakin transparan diketahui publik, melalui adanya kewajiban laporan keuangan konsolidasi.
Bank-bank swasta nasional kini mampu menepuk dada memperlihatkan keuntungan perusahaan yang melambung didukung kontribusi positif anak usaha lembaga keuangan non bank.
Keuntungan Bank Danamon, misalnya, sedikit banyak tertolong kinerja Adira Multi Finance, Adira Insurance maupun Adira Quantum. Begitu pula dengan BII yang mencoba mengandalkan WOM Finance, meskipun ketentuan provisi membuat keuntungan perseroan sedikit tertekan.
Kinerja BCA pun juga dipengaruhi paling tidak tiga asuransinya (Asuransi Central Asia, Central Asia Raya maupun Indolife Pensiontama). Sedangkan Bank Permata pun tak jauh dari bisnis pemiliknya Astra Internasional yang terkait asuransi, otomotif hingga multifinance.
Lain lagi dengan bank seperti Panin yang memiliki anak usaha lengkap dari asuransi hingga sekuritas. Begitu pula dengan Bank Niaga yang telah punya multifinance, tak ketinggalan mengandalkan jasa sekuritas dengan CIMB Group.
Kondisi itu membuka mata bank-bank BUMN untuk mulai menata dan memperkuat profil unit bisnis keuangannya, agar mampu bersaing dengan bank-bank swasta yang telah memiliki anak usaha asuransi, multifinance dan sekuritas yang kuat.
Upaya menyuntik modal, memperkuat sinergi maupun mengundang investor baru dalam kepemilikan bersama merupakan sejumlah cara yang ditempuh bank-bank persero dalam menjaga keuntungan dari anak usahanya.
Bank Negara Indonesia (BNI), misalnya, mengambil kebijakan untuk melepas sebagian maupun mayoritas kepemilikannya baik di Bank Finconesia, BNI Securities maupun rencananya di BNI Life dan BNI Multifinance.
Dirut BNI Sigit Pramono mengatakan semua rencana tersebut bukan berarti menjual semua saham yang dimiliki. BNI, ujar dia, tetap mengharapkan kontribusi keuntungan dari anak usaha tersebut.
“Karena kalau untuk memperbesar dan memperkuat profilnya adalah menyuntik modal atau menjual sebagian sahamnya. Yang jelas, kami tetap memiliki paling tidak 51% untuk mengawasinya,” kata dia.
BNI akan melepas 40% sahamnya di BNI Securities kepada investor asing tahun depan. Hingga kini beberapa investor asing dari Jepang, Korea Selatan dan Timur Tengah menyatakan minatnya terhadap saham di perusahaan penjamin efek tersebut.
Manajemen BNI menegaskan penjualan saham BNI Securities kepada investor strategis ini bertujuan agar bisa lebih banyak menjamin emisi obligasi dan penawaran saham perdana (initial public offering, IPO). Setelah penjualan 40%, BNI akan melakukan kajian agar BNI Securities masuk bursa.
Dua investor dari Timur Tengah dikabarkan berminat membeli BNI Multifinance. Namun, manajemen BNI mencoba memperbaiki kinerja perusahaan pembiayaan ini sebelum pelepasan sebagian besar sahamnya. Salah satu caranya dengan memberikan suntikan modal sebesar US$20 juta selama 2007.
Bagi BNI, divestasi ini bertujuan meningkatkan kinerja BNI Multifinance agar lebih fokus. Hal itu, karena selama ini penyaluran pembiayaan BNI Multifinance dinilai tidak memberikan kontribusi yang maksimal.
Di Bank Finconesia, BNI akan bermitra dengan PT Dian Intan Perkasa satu perusahaan yang terafiliasi dengan Kelompok Usaha Charoen. Beberapa waktu lalu, Dian Intan Perkasa telah membeli 51% kepemilikan Commerzbank Aktiengesellschaft Jerman pada Bank Finconesia dengan nilai transaksi Rp529,41 miliar atau US$58.8 juta.
Sementara itu, Bank Mandiri saat ini belum memiliki sendiri satupun unit bisnis di bidang multifinance meskipun dulu pernah berkongsi dengan SB Leasing dan Sumitomo dalam EXIM SB Leasing. Bank terbesar itu kini menyeleksi 10 nama perusahaan pembiayaan untuk dibeli.
Bank Mandiri kini telah memiliki Bank Syariah Mandiri (BSM), Mandiri Sekuritas dan kepemilikan bersama di AXA Mandiri Financial Services dan Staco Raharja. Dirut Bank Mandiri Agus Martowardojo mengatakan dana Rp100 miliar telah disuntik ke BSM dan tahun depan ada kemungkinan injeksi Rp200 miliar lagi.
Suntikan modal tersebut diharapkan membuat peran BSM cukup signifikan dari sisi penguasaan pangsa pasar. Di industri perbankan syariah, BSM kini memiliki pangsa 36,59% dari sisi aset, 35,95% dalam pemberian pembiayaan serta 39,95% pada raupan dana masyarakat.
Di AXA Mandiri, manajemen Bank Mandiri cukup puas dengan investasi ekuitas sebesar Rp94,25 miliar. Asuransi jiwa ini mencatatkan total aset yang berkembang hingga Rp2,47 triliun.
Tahun lalu, AXA Mandiri mampu mencetak total premi Rp745,3 miliar dengan annual first year premium (AFYP) sebesar Rp251,28 triliun. Premi tahun pertama merupakan indikator keberhasilan mengumpulkan premi bagi asuransi.
Keberadaan asuransi jiwa ini meningkatkan profil Bank Mandiri bagi kelengkapan layanan produknya. Sejak beroperasi Desember 2003, AXA Mandiri telah hadir di 681 kantor Bank Mandiri dengan dukungan 896 tenaga penasihat keuangan (financial advisor).
Sebanyak 97,57% atau Rp727,11 miliar dari total premi AXA Mandiri berasal dari polis unit-linked, produk proteksi berbalut investasi yang menjadi sasaran cross selling bagi Bank Mandiri.
Lain lagi dengan kisah Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang kini berupaya keras meyakinkan sejumlah pihak untuk mendukung langkahnya memiliki anak usaha penunjang bisnis layanan perbankan yang komprehensif.
Keinginan BRI memiliki satu perusahaan sekuritas malah ditentang sebagian besar anggota Komisi XI DPR. Bagi para wakil rakyat, BRI seharusnya fokus saja pada komitmen UMKM yang menjadi basis nasabahnya.
Menurut anggota DPR, layanan transaksi pasar modal di BRI sebaiknya diserahkan pada BUMN sekuritas seperti Danareksa. Alasan yang terkesan pilih kasih, karena tidak berlaku bagi Bank Mandiri dan BNI.
Namun, manajemen bank yang dipimpin Sofyan Basir ini paling tidak telah mendapatkan Bank Jasa Artha untuk dikonversikan menjadi bank umum syariah. Mirip BSM yang dimiliki Bank Mandiri.
Untuk asuransi, BRI telah memiliki BRIngin Life, meskipun kini seakan kalah jauh dengan AMFS maupun BNI Life ataupun BTN yang mempunyai Binagriya Upakara. Lalu bagaimana dengan multifinance? Ada memang Srikandi Finance dan BRI sempat berkongsi dengan investor Jepang dalam UFJ BRI Finance, dengan kepemilikan 45%.
Sekarang? Keberanian memiliki sendiri rasanya menciut. “Saya no comment dulu” ujar Direktur Konsumer BRI A. Toni Soetirto.Apapun langkah manajemen bank BUMN, membesarkan anak usaha yang bergerak di bidang keuangan rasanya penting di tengah ketatnya persaingan antarbank mengejar laba saat ini. Sayang bila anak usaha bank BUMN tersebut hanya menjadi tempat buangan bagi orang-orang yang mendekati masa pensiun semata.

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi