Menanti penetrasi kredit bank di daerah

BI boleh saja menginginkan jumlah bank di Tanah Air pada 2010 mencapai 80 bank atau berkurang dari saat ini yang masih 128 bank. Tapi yang perlu dikritisi adalah makna dan peran bank yang terkesan hanya menjadi santapan orang kota.
Masyarakat di luar Pulau Jawa, terutama di ujung Barat dan Timur seakan tak begitu akrab dengan jasa layanan perbankan. Mereka yang terpinggirkan tersebut, mudah terpedaya dengan embel-embel jasa layana simpan pinjam dari lembaga tak bertanggung jawab. Belum lagi soal penyaluran dana masyarakat yang seakan-akan hanya mangkrak di SBI ataupun terkonsentrasi di kota-kota besar semata.
Mari lihat bagaimana gambaran penetrasi bank di daerah. Tulisan di bawah ini menyoroti Sumatera Utara yang bagi sebagian orang Indonesia sudah lebih maju dibandingkan dengan kawasan Indonesia Timur.

24 Januari 2006
faa
Oleh Fahmi Achmad
Bisnis Indonesia
Menanti penetrasi kredit bank di daerah

Pada delapan arah kebijakan perbankan 2007, ada dua poin perhatian yang digariskan khusus oleh bank sentral terutama untuk menggerakan fungsi intermediasi perbankan. Uniknya, dua poin utama tersebut menitikberatkan pada pengembangan potensi ekonomi daerah dengan stimulus kucuran dana perbankan.
Daerah memang menjadi sasaran arah keinginan Bank Indonesia memaksimalkan penyaluran kredit karena daya serap dana perbankan di wilayah kota-kota besar seakan lesu, tak banyak permintaan.
Lihat saja, bagaimana kantong-kantong ekonomi di pulau Jawa seperti DKI Jakarta, Banten, Jatim, Jateng dan Jabar tak mampu menyerap likuiditas sehingga ada dana Rp200 triliun yang terjerumus di instrumen Sertifikat Bank Indonesia.
Rasio penyaluran kredit terhadap dana pihak ketiga perbankan pun rendah. Dan jelas, faktor suku bunga tinggi tak bisa dijadikan satu alasan kredit perbankan tak kunjung sampai ke sektor riil.
Ada faktor lain yang perlu dipertimbangkan yaitu bagaimana penetrasi keberadaan jaringan perbankan ke pelosok nusantara serta identifikasi sektor ekonomi yang laik dibiayai di daerah.
Bank Indonesia boleh jadi akan menerapkan konsolidasi yang berujung pada pengurangan jumlah bank di Indonesia, tapi dari sisi jumlah kantor bank diharapkan tidak berkurang selama kondisi di lapangan tidak menunjukkan titik jenuh.
Selama ini, penetrasi jaringan perbankan lebih banyak dilakukan hanya pada kota besar. Hal yang wajar mengingat potensi ekonomi di kota besar menarik minat pembukaan kantor cabang, tapi kondisi dan wilayah tersebut sudah menuju kejenuhan dengan banyaknya pemain di satu wilayah.
Di dunia bisnis perbankan, menjadi besar adalah wajib, dan hal yang besar dan banyak itu hanya perlu diimbangi dengan penyebaran yang merata.
Hasil penelitian Bank Indonesia dan Puslitbank FE-USU selama 2006 menyebutkan wilayah Provinsi Sumatera Utara masih menduduki posisi pertama di luar Jawa dari jumlah kantor bank.
Jumlah kantor bank di Sumut sebanyak 422 kantor, namun jika dihitung BRI Unit Desa maka seluruhnya mencapai 714. Dengan jumlah penduduk 12,4 juta jiwa, setiap kantor bank melayani 29.383 penduduk, naik dibandingkan lima tahun silam di mana perbandingannya 1: 21.653.
Pada periode lima tahun terakhir aset perbankan di Sumut tumbuh rata-rata 18% per tahun dari Rp37,29 triliun menjadi Rp71 triliun. Tapi kota Medan masih menjadi magnet bagi perbankan membuka kantor layanannya.
Medan memiliki 207 kantor atau 49% dari total 422 kantor bank di Sumut. Sementara itu, kantor BPR terbanyak di kabupaten Deli Serdang, 29 kantor yang separuh di antaranya beroperasi di sekitar kota Medan seperti Sunggal, Percut, Tanjung Morawa, Sibolangit, Medan Labuhan dan Deli Tua.
Kondisi yang mungkin tak beda dengan banyaknya BPR yang beroperasi di wilayah satelit Jakarta seperti Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Depok.
Di Sumut, fakta tidak meratanya kondisi distribusi kantor perbankan terlihat dari ketiadaan bank di wilayah pemekaran. Hingga tahun lalu, tak satupun kantor bank umum di tujuh dari 25 kabupaten/kota di Sumut.
Tujuh wilayah yang tak terjamah bank umum meliputi kabupaten lama yakni Tapanuli Selatan (sebelum pemekaran beribukota Padang Sidempuan) dan Tapanuli Tengah (Sibolga).
Sementara sisanya yakni Madina, Humbang Hasundutan, Serdang Bedagai, Samosir, Pakpak Barat dan Nias Selatan. Daerah administrasi baru, baik di Sumut maupun provinsi lainnya, akan menemukan laju ekonominya bila memiliki perbankan yang berperan sebagai agent of development.
Lebih ideal, bila bank tak perlu ragu masuk ke suatu daerah tanpa menunggu ekonomi wilayah tersebut sudah maju. Sumut yang termasuk provinsi dengan daya tarik tinggi bagi bank saja, menyisakan tujuh kabupaten tak terjamah, bagaimana dengan provinsi di wilayah Indonesia Timur ya?
Raupan dana pihak ketiga perbankan di Indonesia bahkan menunjukkan hampir 50% terkonsentrasi di DKI Jakarta atau Rp612,12 triliun likuiditas perbankan berasal dari Ibukota.
Begitu pula dengan dana kredit yang tersalurkan perbankan, Jakarta yang dihuni hampir 10 juta jiwa ini menerima kucuran Rp382,27 triliun atau ada tambahan Rp27,12 triliun sepanjang 11 bulan 2006.
Jangan heran bila ‘daerah miskin’ dan baru hasil pemekaran hanya mencatatkan tambahan kredit tersalurkan dengan nilai tak sampai berbunyi triliunan rupiah. NTT hanya menambah kredit Rp610 miliar, Maluku Utara Rp197 miliar, dan Papua pun mencetak Rp860 miliar.
Kondisi yang ironis mengingat banyak daerah seperti Kalimantan, Sulawesi dan Papua memiliki kekuatan dan potensi sumber daya alam yang belum terolah maksimal.
Hal tersebut bukan tak dilihat para pemangku kepentingan industri perbankan. Satu poin utama dalam arah kebijakan perbankan tahun ini mengamanatkan BI akan lebih aktif berperan sebagai medium penyambung (katalisator).
Artinya, peran dan posisi Kantor Bank Indonesia (KBI) di daerah akan direvitalisasikan sebagai salah satu pusat informasi, kajian dan database sektor ekonomi mana yang bisa dimanfaatkan perbankan mengucurkan kreditnya.
“Ini riset bukan yang canggih-canggih, tapi harus sangat aplikatif, bank maunya apa misalnya minta tentang pembiayaan rumput laut, itu harus ada follow up dengan kredit dan pembinaan,” ujar Muliaman Darmansyah Hadad, Deputi Gubernur Bank Indonesia.
Beragam cara bisa dilakukan BI seperti meminta bankir daerah diberikan kewenangan pemutusan nilai kredit yang lebih besar tanpa khawatir menabrak penerapan aspek kehati-hatian.
Lainnya, BI juga perlu memaksimalkan kemitraan penyaluran kredit penerusan (linkage program) bank umum dengan BPR/BPRS yang hingga kini hanya melibatkan 31 bank dari 130 bank di Indonesia, dengan nilai komitmen Rp3,41 triliun.
Kesepahaman para pemangku kepentingan industri perbankan nasional dalam menggarap lebih maksimal potensi pembiayaan pembangunan di daerah paling tidak diharapkan bisa mengeliminir berbagai distorsi partisipasi mikro di tingkat akar rumput.

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi