Gurihnya CPO bagi bank

13 agustus 2007
Oleh Fahmi Achmad
Bisnis Indonesia


Licinnya minyak sawit ternyata cukup ampuh meluruhkan ketatnya sikap bank agar rela menggelontorkan banyak duit untuk pengembangan perkebunan dan industri turunan komoditas tersebut.
Dahulu sektor perkebunan belum banyak dilirik perbankan karena dinilai berisiko tinggi. Namun sejak pemerintah menggelar program revitalisasi 2006-2010, dana publik di bank pun mengucur deras ke sektor perkebunan.
Program revitalisasi perkebunan dengan kebutuhan dana Rp40 triliun pada 2 juta hektare ini, memang tak hanya sawit karena pemerintah juga ingin adanya pengembangan komoditas kakao dan karet.
Sawit tetap menjadi primadona di industri perkebunan, meski pengembangan komoditas ini diterpa isu kartel, rencana pembatasan lahan untuk holding company, kenaikan harga patokan ekspor (HPE) hingga soal pabrik tanpa kebun.
Tapi kilau harga crude palm oil masih cukup menggiurkan bagi perbankan mencari bunga besar dengan memberikan pinjaman kepada perusahan-perusahaan yang bermain di kebun sawit.
Kredit bank memang tak hanya yang komersial (kredit investasi dan modal kerja biasa) tetapi juga dibungkus dalam kredit program pengembangan energi nabati dan revitalisasi perkebunan (KPEN-RP).
Pada kredit program, lima bank tercatat yang siap untuk mendukung dengan komitmen pendanaan hingga Rp25,48 triliun, yaitu BRI, Bank Mandiri, Bukopin, Bank Nagari, dan Bank Pembangunan Daerah Sumut.
Selaku bank dengan aset terbesar nasional, Bank Mandiri bahkan memiliki dua unit untuk melayani perkebunan, yaitu di layanan kredit korporasi (plantation specialist) dan satunya di small business group.
Sunarso, Senior Vice President Plantation Specialist Corporate Banking Bank Mandiri mengatakan baki debet kredit perkebunan sawit hingga 31 Juni 2007 mencapai Rp10,5 triliun dari limit plafon Rp17,8 triliun.
Nilai tersebut merupakan 73% dari total kredit perkebunan (termasuk komoditas lainnya seperti karet, tebu, kopi dan teh) Bank Mandiri sebanyak Rp15,08 triliun hingga paruh pertama tahun ini.
Dari dana Rp10,5 triliun tersebut sebagian besar terserap pemain-pemain besar di industri perkebunan kelapa sawit seperti sejumlah PTPN, kelompok usaha Sinarmas, Lonsum, Astra Agro Lestari, Musim Mas.
Sejak akhir tahun lalu paling tidak lebih dari 53 perusahaan besar yang merupakan kelompok korporasi bidang perkebunan sawit yang menjadi sasaran kredit Bank Mandiri.
Awal tahun misalnya Sinarmas, Incassi Raya, Satria Group serta Permata Hijau Sawit digelontori duit US$432 juta (Rp3,9 triliun).
Sinar Mas bakal membuka lahan kelapa sawit seluas 67.000 hektaree dengan nilai proyek Rp2,8 triliun. Kelompok usaha ini juga akan membangun pabrik pengolahan kelapa sawit dengan kapasitas 30 ton perjam dengan nilai proyek Rp45 miliar di Sumatra.
Incassi tahun ini membuka lahan perkebunan seluas 32.000 hektaree di Sumatra Barat dan Kalimantan Barat dengan nilai proyek senilai Rp725 miliar. Selain itu pabrik biodesel berkapasitas 200.000 ton pertahun senilai Rp270 miliar juga akan dibangun di Sumbar.
Sementara Satria hendak membuka perkebunan kelapa sawit seluas 10.000 hektaree di Kalimantan Tengah senilai Rp300 miliar. Sedangkan Permata Hijau Sawit mendapatkan fasilitas pembiayaan proyek pabrik pengolahan biodiesel dengan kapasitas 198.000 tan pertahun dengan nilai proyek Rp270 miliar di Riau.
Itu belum seberapa, sebab pekan lalu, Bank Mandiri juga menyalurkan kredit senilai US$71,59 juta kepada Union Sampoerna Triputra Persada Group (USTP) mengakuisisi lahan perkebunan sawit milik Kulim Sdn Bhd.
Berita yang seakan lolos perhatian publik ini menarik di tengah derasnya investor asing yang masuk menggarap lahan kebun sawit di Tanah Air. USTP merupakan perusahaan kongsi milik dua eksekutif Astra TP Rachmat dan Benny Subianto, serta Soetjahjono Winarko salah satu anggota keluarga kelompok usaha HM Sampoerna.
Perusahaan Malaysia itu sepakat menjual lahan seluas 63.305 hektare di kabupaten Sukamara, Seroyan dan Lamandau di Kalimantan Tengah dengan nilai US$125 juta (sekitar Rp1,1 triliun).
Ahamad Mohamad Managing Director Kulim beralasan hengkangnya Kulim dari usaha produksi di Indonesia lebih dikarenakan restrukturisasi internal, tak mau berpolemik soal kartel dan pembatasan lahan.
Dia justru menyebutkan Kulim akan memfokuskan kegiatan produksi di di Papua Nugini (44.713 hektaree) dan kepulauan Solomon (6.594 ha) serta tentu saja di Malaysia (32.644 ha).
Bank Negara Indonesia lain lagi. Dirut BNI Sigit Pramono bahkan membentuk divisi khusus yang menangani penyaluran kredit dan mitigasi risiko untuk kredit perkebunan, terutama sawit.
Tahun lalu, ada 50 debitor BNI yang menerima kredit senilai Rp3,35 triliun untukmengembangkan lahan perkebunan seluas 411.000 hektaree. Sedangkan tahun ini, bank pelat merah tersebut telah menyepakati penyaluran kredit awal Rp1,2 triliun kepada enam nasabah, baik debitor lama maupun baru seperti Sampoerna Agro, Sungai Budi Group, Rekayasa Group, Sinarmas Group, Musimas Group dan Bio Energi Indonesia.
Sigit menegaskan bank yang dipimpinnya menargetkan mampu menyalurkan kredit rata-rata sebesar Rp5 triliun baik untuk usaha replanting lahan kelapa sawit maupun pabrik derivatifnya.
Sementara Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang memiliki plafon terbesar dalam KPEN-RP, dengan porsi Rp12 triliun, mencatatkan permintaan untuk revitalisasi perkebunan sawit senilai Rp10,2 triliun.
Permintaan tersebut berasal dari 33 perusahaan inti senilai Rp3,5 triliun, 44.293 petani plasma dan 72 KUD sebesar Rp5,4 triliun serta Rp1,1 triliun dan Rp85,4 miliar sebagai kredit investasi dan modal kerja kepada pabrik pengolahan.
Dukungan BRI lebih banyak berorientasi pada petani plasma. Hal itu bagi Direktur Inter-CAFÉ Institut Pertanian Bogor Iman Sugema, sesuai kompetensinya di UMKM serta agar terjebak membiayai korporasi sehingga banyak kredit macet.
Iman memaklumi bila bank BUMN ini terpikat membiayai korporasi perkebunan sawit dengan daya tarik produk turunan seperti CPO yang harganya cukup tinggi di pasar internasional. “Tetap saja BRI harusnya cukup biayai inti dan plasma, meskipun untuk processingnya bisa diberi kredit,” ujar Iman.
Besarnya dukungan perbankan paling tidak bisa dilihat sebagai upaya mengajak para pelaku bisnis domestik untuk tidak mau kalah dengan pemodal asing terutama saingan terberat dari negeri jiran Malaysia, yang melirik prospek bisnis sawit di Indonesia.
Naiknya harga CPO di pasar internasional pada level US$750 masih menjadi stimulus kepercayaan tinggi bagi pengembangan komoditas ini. Bagi bank, hal itu cukup meningkatkan profil debitor yang bermain di kebun sawit untuk diberikan kredit. Jadi kenapa tidak segera dimanfaatkan?

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh