JK dan kekakuan

Entah kenapa kalau ada cerita dengan pak Wapres, saya jadi tertarik, karena biasanya celotehan beliau cukup segar dan bisa jadi pelajaran... paling tidak, gayanya tidak terlalu kaku


"KLOMPENCAPIR" GAYA BEBAS ALA JUSUF KALLA Oleh Jaka S Suryo
Jakarta, 8/4 (ANTARA) - Di era 80-an ada program yang sangat populer, namanya "Kelompok Pendengar, Pembaca dan Pirsawan", disingkat "Klompencapir".
Kegiatan ini adalah wadah komunikasi antara pemerintah dengan para petani, nelayan, dan kelompok marginal lain di seluruh Indonesia.
Pada masanya, Klompencapir dilakukan dengan berpindah-pindah tempat. Dari satu desa ke desa lain, dari satu sawah ke sawah lainnya.
Disitulah terjadi interaksi langsung antara para perwakilan petani dan rakyat dengan Presiden HM Soeharto. Kegiatan klompencapir ini secara intensif diteruskan oleh Menteri Penerangan Harmoko.
Dan tak tanggung-tanggung, stasiun televisi nasional TVRI serta RRI menyiarkan langsung setiap ada Klompencapir dimananpun dilakukan. Namun klompencapir, dialog yang dilakukan sudah disiapkan terlebih dahulu. P
ara perwakilan petani yang akan mengajukan pertanyaan telah ditanya terlebih dahulu apa yang akan sampaikan. Tak mustahil, jika jalannya Klompencapir "lurus-lurus" saja dan menyuarakan keberhasilan.
Tidak ada yang salah. Dengan alasan mendukung pembangunan nasional, hal itu menjadi sah-sah saja. Bahkan perspun ikut menyuarakannya, yang kemudian populer dengan sebutan pers pembangunan.
Entah meniru Klompencapir atau sekedar mengalir saja. Saat ini, secara tiba-tiba, Wapres M Jusuf Kalla melakukan hal yang sama. Selama empat hari berturut-turut Wapres Jusuf Kalla keliling seluruh Pulau Jawa.
Melakukan dialog dengan para petani. Tidak ada label Klompencapir, hanya diberi tajuk "Panen Raya Padi". Bedanya lagi, tidak juga ada keharusan TVRI dan RRI menyiarkan secara langsung.
Dan, dialog sangat terbuka, tidak ada batasan ataupun di"setting". Saling bantah. Saling memberikan penjelasan dan bahkan peserta boleh menginterupsi penjelasan Wapres.
Setidaknya beberapa kali Wapres Jusuf Kalla diinterupsi petani saat berdialog. Seperti ketika berdialog dengan petani di desa Niten, Trirenggo, Bantul, DIY, Senin (7/4).
Ketika Wapres sedang menjelaskan soal harga pembelian padi oleh Bulog, tiba-tiba para petani tertawa dan berceloteh.
"Harga ada permainan," kata salah seorang petani.
"Ah gimana, harga tinggikah?," tanya Wapres.
"Ada permainan," sanggah beberapa petani mengulang.
"Ah masak?. Itu yang penting" kata Wapres yang langsung meminta penjelasan dari perwakilan Dolog Kabupaten Bantul.
Kejadian saling menimpali juga terjadi saat dialog di desa Tambung, Turen, Malang Jatim, Minggu (6/4). Salah seorang petani hasil produksi padi hibrida Bernas hanya mencapai tujuh ton per hektar. Namun oleh petani lainnya, laporan itu dibantah karena produksi padi dengan bibit yang sama bisa mencapai sembilan ton perhektar.
Karena bebas berdialog, sampai-sampai hal yang mengelikanpun diungkapkan petani. Salah seorang petani di Bantul, Sulardi, meminta Wapres Jusuf Kalla untuk membeli setiap tikus yang berhasil ditangkap.
Menurut Sulardi, jika Wapres membeli setiap kepala tikus, maka akan membantu pemberantasan hama tikus. "Untuk memberantas tikus, kita minta Wapres mau membeli kepala tikus, berapa gitu," kata Sulardi kepada Wapres.
Mendapatkan pertanyaan yang aneh, Wapres Jusuf Kalla terlihat "celingukan", menoleh ke kanan ke kiri. Bingung. Apa maksud pertanyaan tersebut. Beruntung Bupati Bantul Idham Samawi langsung memberikan penjelasan bahwa selama ini Pemda Kabupaten Bantul telah membantu pemberantasan hama tikus.
Caranya, dengan memberikan insentif dalam bentuk membeli setiap ekor tikus yang ditangkap petani. Kepada petani yang berhasil menangkap tikus maka ekornya dipotong sebagai bukti. Dan setiap ekor tikus yang diserahkan ke dinas petanian Bantul akan dibayar Rp100.
"Jadi ada pembagian tugas. Kalau masalah Sapi. Pemerintah pusat yang tangani, tapi kalau tikus cukup bupati sajalah, ha..haa...," jawab Wapres sambil tertawa.
Politik pangan Safari "Panen Raya" baik untuk padi maupun jagung yang dilakukan Wapres kali ini, tampaknya bukan sekedar seremonial. Wapres tengah menjalankan "politik pangan".
Dengan turun langsung, berdialog dan meyakinkan petani soal ketersediaan stok pangan. Menjadi salah satu kunci kestabilan politik. A
palagi, menjelang pemilu 2009.
Masalah pangan akan menjadi "senjata" ampuh bagi lawan-lawan politik untuk saling menjatuhkan.
Karena itulah, tak mengherankan jika Wapres terlihat sangat antusias untuk bisa swasembada pangan. Berbagai langkah berlapis dilakukan pemerintah untuk meningkatan produktivitas dan mencapai swasembada pangan.
Setidaknya ada beberapa langkah yang dijalankan pemerintah saat ini, seperti pemberian bibit unggul gratis kepada petani. Tahun 2007 dianggarkan sebesar Rp1 triliun untuk pengadaan bibit dan pada 2008 ditingkatkan menjadi Rp1,5 triliun.
Selain bibit gratis, pemerintah juga menyiapkan infratsruktur irigasi. Untuk proyek besar, pemerintah membangun waduh Jatigede di Cirebon.
Jika waduk Jatigede ini selesai akan mampu mengairi sawah seluas 90 ribu hektar yang sebelumnya merupakan sawah tadah hujan. Waduk ini juga akan mampu menjadi sumber listrik dengan kapasitas 2X55 Megawatt.
Langkah lainnya adalah pemberian subsidi pupuk. Selama ini pupuk selalu menjadi masalah di setiap musim panen. Subsidi pupuk 2008 dianggarkan Rp10 triliun. "Dari lima pabrik pupuk yang kita punya. Kita beri tugas untuk memenuhi kebutuhan pupuk dalam negeri. Mereka buru boleh ekspor jika kebutuhan pupuk dalam negeri telah cukup," kata Wapres.
Selain itu pemerintah juga penyediaan Tenaga Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL). Dan langkah terakhir meminta Perum Bulog untuk menaikan pembelian gabah petani dari 1,5 juta ton menjado tiga juta ton pertahun.
Selain peningkatan kuantitas pembelian gabah, Bulog juga dipatok untuk membeli gabah kering panen sebesar Rp2.000 per kilogram. Dan untuk pembelian gabah kering giling sebesar Rp2.600 per kg.
Kebijakan soal harga pembelian ini dimaksudkan untuk menjaga kestabilan harga beras. Dan sekaligus melindungi petani dari kemerosotan harga di saat panen raya.
Di sisi lain juga melindungi konsumen agar harga beras tidak melambung tinggi di saat paceklik. "Saya yakin dengan itu semua kita tidak akan khawatir terjadi kekurangan pangan. Justru kita bisa swasembada beras dan tahun depan bisa kita ekspor," kata Wapres.
Keyakinan Wapres tersebut didasarkan perhitungan, luas areal tanam padi di Indonesia saat ini mencapai 12 juta hektar. Jika setiap hektar produktivitasnya mencapai enam ton. Maka akan didapatkan hasil 72 juta ton.
Sementara kebutuhan konsumsi dalam negeri hanya sebesar 58 juta ton. Dengan demikian diatas kertas akan terjadi swasembada pangan. Apalagi dari "panen raya" kali ini saja sudah terjadi surplus beras.
Hal itu terjadi setelah adanya pemberian bibit unggul. Dengan bibit unggul yang saat ini dibagikan, rata-rata produktifitas mencapai 7 s/d 9 ton per hektar. Malah dengan perlakukan khusus, di Turen, Malang, untuk jenis hibrida Bernas bisa mencapai 12 ton per hektar.
"Jadi tidak ada kekawatiran soal krisis pangan. Di saat dunia mengalami krisis pangan. Insyaallah kita justru akan surplus dan bisa berfikir untuk ekspor. Satu syarat pokoknya, tidak terjadi perubahan iklim yang ekstrim," kata Wapres. (T.J004/B/T010/C/T010) 08-04-2008 08:38:03 NNNN

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi