Harga pangan dan Sarung

Menakar harga pangan dengan teori sarung


Oleh Fahmi Achmad
Wartawan Bisnis Indonesia


Wajah Mendag Mari Elka Pengestu seakan tak menyiratkan kelelahan saat memberikan penjelasan kenapa harga–harga enggan turun. Dua pekan terakhir, sang menteri keliling Nusantara melakukan operasi pasar minyak goreng.
Selasa sore itu, Mendag yang bersama Mentan Anton Apriyantono tetap tersenyum meski kebagian tugas memaparkan kepada pekerja pers tentang apa yang dilakukan pemerintah meredam tingginya harga kebutuhan pokok.
Bagi pemerintah, kenaikan harga barang kebutuhan pokok saat ini tak lepas dari melonjaknya harga-harga komoditas di pasar internasional yang berdampak langsung kepada barang baku yang kita impor.
Mendag bercerita bagaimana harga-harga yang melonjak saat ini bukan merupakan siklus ataupun dipicu administered price seperti kenaikan harga BBM tiga tahun lalu. “Kelihatannya ini peningkatan struktural bukan siklus, dan ini dipicu meningkatnya permintaan dunia terutama China dan India,” begitu katanya.
Harga minyak sawit atau crude palm oil meningkat dua kali lipat menjadi di atas US$1.200 per ton. Kondisi serupa juga terjadi untuk komoditas pangan utama seperti kedelai, gandum dan jagung.
Menteri yang dulunya ekonom ini menjelaskan teori ekonomi kalau harga minyak dunia naik maka akan memicu harga-harga lainnya. Indonesia tentu terkena imbas dari kenaikan harga bahan pokok yang diimpor. Terigu dan kedelai jadi contoh kecil.
“Itu juga masih terkait dengan financial market karena investor untuk jangka pendek melirik komoditas. Tapi beberapa hari ini pasar modal menguat lagi karena langkah The Fed sehingga harga komoditas pun mulai turun. Mudah-mudahan terus begitu,” ujarnya.
Di dalam negeri, pemerintah tak tinggal diam. Mekanisme price control dilakukan pemerintah meskipun tak sebanyak Malaysia yang menjaga ketat dan mengendalikan 32 harga.
Kebijakan fiskal pun dimaksimalkan. Ada pungutan ekspor yang progresif seperti untuk CPO lalu bea masuk dan kebijakan SNI serta yang populer adalah menggelontorkan dana subsidi seperti untuk minyak goreng dan kedelai.
Mari Pangestu menilai respons Indonesia di era globalisasi ini tak hanya kebijakan fiskal. Sinergi dengan antarinstansi dan lembaga swasta perlu digalakkan terutama untuk peningkatan produksi dan kampanye program substitusi.
Mendag mencontohkan minyak goreng diganti minyak kelapa, gandum bisa dari tepung umbi-umbian dan sumber karbohidrat bisa saja dari sagu dan tak hanya mengandalkan beras.
Menghemat beras bisa saja jadi gerakan nasional. Indonesia mungkin tak mau bernasib seperti Filipina yang berpenduduk 84 juta tapi masih mengimpor beras 1,8 juta ton tahun lalu dari Vietnam dan Thailand.
Mentan pun tak mau ketinggalan memberikan pemaparan meskipun dia mengaku analisisnya lebih dari kacamata ilmuwan, bukan ekonom. Bagi ilmuwan asal IPB ini tiap komoditas harus dilihat berbeda.
Faktor penggerak harga CPO dan minyak goreng memang benar karena harga internasional meskipun pasokan di dalam negeri berlebih. Kedelai lebih miris karena produksi kurang sedangkan harga internasional meroket.
Lain kalau di beras di mana harga internasional naik tapi harga di dalam negeri justru turun. Panen dengan kombinasi banjir membuat gabah petani dihargai di bawah Rp2.000 per kg atau jauh dari harga pembelian pemerintah.
“Pemain di CPO itu tidak banyak sehingga bisa menyesuaikan dengan harga internasional, di beras supply dan pemainnya juga banyak sehingga belum tentu harga dalam negeri naik,” paparnya.

Pertanian Brasil//
Menurut Mentan, hanya ada satu solusi yaitu bagaimana agar produksi tetap cukup memenuhi kebutuhan penduduk Indonesia yang berjumlah 235 juta ini. Mari berhitung kata sang ilmuwan yang baru melakukan kunjungan ke Brasil.
Lahan Indonesia sangat terbatas dan di bawah negara pesepakbola Ronaldo. Di sini, ujar Mentan, hanya ada 21 juta hektare dan itu kurang dari 1 hektare bagi petani yang berjumlah lebih dari 25 juta.
Cerita Brasil lebih menarik karena lahan kedelainya sama dengan total lahan nasional kita seluas 21 juta hektare. Belum lagi, negara dengan andalan pantai Copacabana itu masih memiliki 7 juta hektare untuk tebu dan 3 juta hektare untuk padi.
Ironis memang bagi RI yang disebut negara agraris tapi kalau soal pemanfaatan lahan masih kalah dibandingkan dengan Jepang, Thailand dan Vietnam, bahkan Israel yang masih mampu mengekspor produk perkebunan.
Sebanyak 21 juta ha lahan itu sudah terkomposisi untuk beras sekitar 7 juta ha, lalu 6 juta ha untuk gurihnya sawit dan sisanya tumpang tindih untuk ditanam beragam komoditas seperti jagung, kedelai, cabai, dll.
“Saya selalu mengatakan ini seperti teori sarung, angkat ke atas maka yang bawah kelihatan atau sebaliknya ditarik ke bawah yang atas terlihat,” kata Anton.
Kok bisa ya pemerintah tak mampu menyiapkan respons yang tanggap dan kebijakan yang holistik soal rebutan lahan tersebut. Biar bagaimanapun produksi yang kurang akan sangat mudah menggoyang psikologis pelaku pasar komoditas dan ujungnya harga masih saja dapat dipermainkan.
Memang banyak program untuk membikin produk unggulan tiap daerah, tapi konsistensi pelaksanaan menjadi handicap bagi Indonesia. Kebijakan ad hoc yang jangka pendek harusnya mendukung upaya komprehensif meredam harga.
Semoga senyum Mendag dan Mentan mampu meyakinkan petani, pabrik, pedagang dan masyarakat konsumen. Jangan sampai kondisi panic buying terjadi dan sarung pun tak terbeli. (fahmi.achmad@bisnis.co.id)

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi