Aku ini punya siapa?

SIAPA BERHAK KELOLA RS HAJI JAKARTA? Oleh Dewanti Lestari
Jakarta, 4/4 (ANTARA) - Aparat keamanan RS Haji Jakarta (RSHJ) saling dorong dengan ratusan satpol PP Pemda DKI yang mengawal Direktur Utama (Dirut) RSHJ Salimar Salim dan Presiden Komisaris Museno ketika kedua pejabat baru itu mendatangi rumah sakit di Pondok Gede itu pada 22 Maret.
Selanjutnya, Salimar yang tak bisa masuk ke RSHJ sempat berkantor di Masjid An Nur, dekat rumah sakit tersebut, karena direksi rumah sakit yang lama masih berkeras untuk tetap mengelola RS Haji Jakarta.
Kericuhan itu menyusul Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang digelar Pemda DKI yang mengangkat Salimar Salim menjadi Dirut dan Museno sebagai Presiden Komisaris.
Pemda menyebut alasan penggantian direksi dan komisaris karena dalam tiga tahun terakhir manajemen rumah sakit itu tidak menunjukkan kinerja maksimal. Pemda menyebut, RUPSLB itu sesuai dengan putusan peradilan.
Lalu mengapa direksi RSHJ yang lama tetap bertahan di RS tersebut?
Itu karena, Badan Pengelola Dana Abadi Umat (BPDAU) dari Departemen Agama pada hari yang sama (22/3) juga menyelenggarakan RUPSLB dan menetapkan Supriyanto Riyadi tetap sebagai Dirut RSHJ.
Siapa Berhak
Wakil Gubernur (Wagub) DKI Prijanto mengatakan, besaran kepemilikan saham seharusnya menjadi indikator siapa yang berhak mengelola RS Haji.
Berdasarkan Perda No.13/2004 tentang Pendirian RS Haji Jakarta, Pemprov DKI merupakan pemegang saham terbesar, yaitu 51 persen. Pemegang saham lainnya, Departemen Agama 42 persen, Koperasi Karyawan RS Haji Jakarta enam persen, dan Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia satu persen.
Karena itu Prijanto mengaku heran atas penolakan terhadap direksi baru, apa lagi disertai kericuhan.
Ia juga menyatakan prihatin ketika menemukan sejumlah ruangan di sana terkunci, misalnya pintu menuju ruang direktur utama, dan adanya sejumlah aset berharga, seperti komputer, hilang.
Kepala Biro Hukum Pemprov DKI Jornal Siahaan pun bertekad melaporkan direksi RS Haji Jakarta yang lama kepada Polda Metro Jaya terkait dugaan pemindahan dokumen rumah sakit tersebut pasca-RUPSLB PT RS Haji Jakarta yang digelar 22 Maret 2008.
Lain Pemda DKI, lain Depag.
Sekjen Depag Bahrul Hayat menguraikan awal sejarah dibangunnya RS Haji Jakarta untuk mengenang musibah terowongan Al Muaisim Mina pada 2 Juli 1990 (1410 H) yang merenggut 631 nyawa jemaah haji Indonesia.
Untuk pembangunannya, ujarnya, dibentuk panitia pusat dengan Ketuanya Sekjen Depag Tarmizi Taher, bendahara Panitia Bambang Trihatmodjo dan anggota dari unsur Depag serta unsur terkait, termasuk Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI).
"Ini menjadi awal dibangunnya empat RS Haji yakni RS Haji Jakarta, RSH Surabaya, RSH Medan dan RSH Makassar, yang biaya pembangunan keempatnya berasal dari bantuan pemerintah Arab Saudi, Presiden RI, Depag, BUMN dan masyarakat dengan total Rp22,644 miliar," kata Bahrul.
Pada laporan akhir keuangan kepada Menteri Agama pada desember 1994 biaya pusat yang diserap oleh RSH Jakarta sebesar Rp7,221 miliar, katanya.
Selain dengan uang yang ada tersebut, ia mengatakan, RS Haji Jakarta juga dibangun di atas tanah milik Depag seluas satu hektare senilai Rp37,5 miliar di kawasan Asrama Haji Pondok Gede.
Setelah keempat RS Haji tersebut berdiri diterbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yaitu Menag, Mendagri dan Menkes tentang RS Haji Indonesia.
Tindak lanjut SKB tersebut ternyata mengalami kendala biaya operasional, sehingga RSHJ berjalan sendiri dan dikelola oleh yayasan yang dibentuk Pemda DKI.
Setelah berjalan 10 tahun dengan badan hukum Yayasan, RSHJ dikeluhkan belum memberikan keuntungan, apa lagi ditambah terbitnya UU tentang Yayasan yang melarang yayasan mengambil keuntungan.
Sementara UU tentang Keuangan Negara dan UU Otonomi Daerah juga memberi alasan Pemda DKI tak bisa menyediakan APBD secara rutin, sehingga agar tidak mati, RSHJ kemudian dijadikan sebagai Perusahaan Terbatas (PT) melalui upaya bersama Depag dan Pemda DKI.
Kesepakatan itu kemudian mengubah RSHJ dari bentuk yayasan menjadi PT di mana masing-masing pihak diperhitungkan sahamnya melalui audit oleh lembaga appraisal. Perda tentang perubahan bentuk RSHJ no 13/2004 pun dikeluarkan oleh Pemda dan DPRD DKI.
Tapi, upaya Depag dan Pemda DKI yang telah berlangsung setahun itu dimentahkan oleh Keputusan Mahkamah Agung no 05P/HUM/2005 pada 21 Februari 2006 karena ada "class action" dari masyarakat yang menolak RSHJ, RS Pasar Rebo dan RS Cengkareng menjadi PT.
Rumah Sakit adalah lembaga sosial, bukan bisnis, kata pemrotes dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), Yayasan Lembaga Konsumen Jakarta (YLKJ), serta beberapa pihak lainnya yang mengajukan permohonan uji materiil terhadap Perda tersebut.
Tuntutan tersebut satu paket dengan tuntutan terhadap Perda perubahan bentuk badan hukum RSUD Pasar Rebo dan RSUD Cengkareng.
Atas reaksi MA itu, Pemda dan DPRD DKI menerbitkan Perda no 05/2006 tentang pencabutan sejumlah Perda antara lain Perda no 13/2004, yang disusul tindakan Gubernur mengeluarkan SK yang mengubah lagi PT RSHJ dan dua rumah sakit umum daerah itu menjadi yayasan.
"Tentu ini tidak benar, karena Putusan MA itu hanya berkaitan dengan RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah), tetapi tidak bisa membubarkan PT RSHJ yang bukan RSUD. Jadi putusan MA itu seharusnya dikembalikan sesuai dengan ketentuan yang didalilkan dalam pasal 14 SKB Menag, Mendagri dan Menkes," kata Bahrul.
Konsultasi
Karena itu Depag kemudian berkonsultasi dengan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) yang hasilnya menyebutkan, subyek perkara dalam Hak Uji Materiil adalah Pemda dan DPRD DKI, jadi bukan badan hukum PT RSHJ. Dengan demikian Putusan MA tadi tidak bisa membubarkan PT RSHJ.
"Pemda DKI tak berhak menghapus aset negara milik Depag berupa lahan RS Haji Jakarta seluas 10.000 m2 sebagai mana tersebut dalam sertifikat Hak Pakai no 0062 tanggal 31 Desember 2004 dengan total luas 20 ribu m2 untuk dihibahkan menjadi aset yayasan, tanpa persetujuan Presiden dan DPR RI," katanya.
Lebih-lebih, ia menambahkan, hitung-hitungan ini belum menghitung aset Depag yang tak dapat dinilai dengan uang atau (intangible asset) berupa nilai historis RSHJ dan prakarsa serta perjuangan Menag saat itu Munawir Sadzali.
Dengan dibatalkannya Perda no 13/2004, urainya menambahkan, maka secara yuridis Pemda DKI tidak lagi sebagai pihak dalam Badan Hukum PT RS Haji Jakarta sehingga penyertaan modalnya harus dikeluarkan dari PT RS Haji Jakarta.
Soal masih adanya saham pemda DKI di PT RSHJ, Departemen Agama siap mengambil alih saham Pemda DKI Jakarta, kata Bahrul.
Pertimbangannya adalah, RS Haji adalah tempat rujukan pelayanan kesehatan jemaah haji selama ini. Selain itu, karena berada di lokasi yang menyatu dengan lahan Depag lainnya (Asrama haji pondok Gede), Depag bisa mengembangkan RSHJ.

Depag, ujarnya, juga berniat menjadikan RS Haji sebagai "Teaching Hospital" Fakultas Kedokteran Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang ada di bawah pengelolaan Depag.
Mendengar niat Depag untuk membeli saham Pemprov, Wagub Priyanto mengatakan menolak hal itu, karena berdasarkan Undang-undang Kesehatan Nomor 23 tahun 1992, pelayanan publik seperti penyediaan kesehatan tidak dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
Justru Pemprov memiliki niat yang sama yaitu menguasai saham milik Depag, tambah Asisten Perekonomian Pemprov DKI Jakarta Deden Supriadi.
Priyanto pun mengadukan persoalan tersebut kepada Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla. "Kita lapor supaya menghormati hukum. Termasuk melaporkan RUPS dan hasil-hasilnya," katanya.
Diserahkan ke Depkes
Setelah kedua pihak berseteru dipanggil ke Kantor Wapres, apakah hasil keputusannya?
Operasional pelayanan Rumah Sakit (RS) Haji diserahkan kepada Departemen Kesehatan (Depkes) selama tiga bulan, dalam masa itu kedua pihak diminta segera mencapai kata sepakat.
"Meski ini masih bermasalah, maka demi tetap memberikan layanan kepada publik, maka operasional RS Haji diserahkan ke Direktorat Layanan Medik Depkes," kata Dirjen Bina Pelayanan Medik Depkes Farid W Husain usai rapat yang dipimpin Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla pada Kamis (3/4) petang.
Selama tiga bulan itu, kedua pihak harus bisa memutuskan apakah RS Haji Jakarta menjadi Badan Layanan Umum (BLU) atau yayasan, termasuk penyelesaian mengenai aset yang dimiliki rumah sakit tersebut, kata Farid.
Sebelumnya Bahrul menyatakan, menjadi yayasan adalah tidak mungkin karena itu berarti menghibahkan aset negara, milik Depag atau milik pemda DKI kepada suatu lembaga yang disebut yayasan.
Sedangkan menjadi Badan Layanan Umum (BLU), menurut dia, juga tidak mungkin dimiliki oleh dua lembaga sekaligus dalam bentuk "joint management", karena badan hukum BLU hanya boleh dimiliki oleh satu instansi.
Itu berarti salah satu harus mengalah, Pemda DKI saja atau Depag saja yang akan mengelola RS Haji Jakarta dan salah satu dari keduanya harus bersedia menjual asetnya kepada pihak lain, jika persoalan ingin selesai. (T.D009) (T.D009/A/s018/s018) 04-04-2008 13:16:03 NNNN

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi