Ada apa dengan Cak Imin?

MERENGGANGNYA HUBUNGAN POLITIK PAMAN DAN KEPONAKAN Oleh Arief Mujayatno
Jakarta, 1/4 (ANTARA) - Kisah perseteruan internal di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) kembali terjadi.
Keputusan rapat pleno partai, Rabu (26/3) tengah malam, memaksa Muhaimin Iskandar mundur dari jabatannya sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz (Dewan Pimpinan Pusat).
Dalam rapat pleno yang dihadiri sekitar 30 orang tersebut, sebanyak 20 orang pengurus Dewan Syuro dan Dewan Tanfidz memilih opsi Muhaimin Iskandar agar mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum Dewan Tanfidz PKB, melalui voting.
Menurut mantan Ketua DPP PKB Mohammad Mahfud MD --yang telah mengundurkan diri dari partai karena terpilih menjadi hakim Mahkamah Konstitusi--, rapat pleno digelar atas permintaan Ketua Umum Dewan Syura PKB KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Gus Dur, yang tidak lain adalah paman Muhaimin, bermaksud untuk menyikapi laporan yang diterimanya bahwa Muhaimin berniat menggelar Muktamar Luar Biasa (MLB).
Sang paman kemudian menuduh keponakannya itu berani melawan dirinya dan berniat menggulingkannya melalui MLB. Gus Dur bahkan terang-terangan mengaku tidak lagi bisa bekerja sama dengan keponakannya itu.
Meski Muhaimin membantah tuduhan-tuduhan tersebut, namun Gus Dur tetap tidak percaya dan menyerahkan putusan pada rapat pleno yang akhirnya harus dilakukan melalui voting.
Bibit perseteruan sang paman dan keponakannya itu sebenarnya telah lama terjadi.
Gus Dur tersinggung berat karena tak diajak bicara, ketika Lukman Edy diangkat menjadi Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal, dalam "reshuffle" kabinet pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sekitar Mei 2006.
Sebelumnya, ketika Erman Suparno menjadi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Gus Dur juga merasa tidak diberi tahu soal itu.
Gus Dur, sang pendiri partai, menganggap kedekatan Muhaimin dengan pemerintahan menunjukkan Muhaimin telah "bermain sendiri".
Konflik antara Gus Dur dan Ketua Dewan Tanfidz PKB itu terjadi untuk ketiga kalinya.
Kisruh internal partai yang berdiri pada 23 Juli 1998 itu pertama kali terjadi terhadap Matori Abdul Djalil yang diberhentikan melalui rapat pleno PKB pada 15 Agustus 2001. Setelah itu, Gus Dur "menaikkan" Alwi Shihab sebagai Ketua Umum menggantikan Matori.
Pada 26 Oktober 2004, Alwi Shihab dan Saifullah Yusuf (saat itu sebagai Ketua Umum DPP dan Ketua DPP) diberhentikan juga melalui rapat pleno. Selanjutnya, Muhaimin Iskandar terpilih menjadi Ketua Umum Dewan Tanfidz periode 2005-2010 dalam Muktamar II PKB di Semarang, pada 19 April 2005.
Sebenarnya, baik Matori Abdul Djalil, Alwi Shihab, maupun Muhaimin Iskandar sama-sama merupakan orang dekat Gus Dur. Ketiganya pun sama-sama tersingkir setelah berseteru dengan Gus Dur karena dianggap "bermain sendiri" dengan penguasa.
Berkaca pada pengalaman kedua pendahulunya, Matori dan Alwi Shihab, nampaknya keputusan "pemberhentian" terhadap Muhaimin sulit diubah meskipun yang bersangkutan menolak keras keputusan tersebut.
Ketika Gus Dur memutuskan memberhentikan Matori dan Alwi, keduanya pun melawan dan tidak menerima keputusan itu. Bahkan keduanya sampai menempuh jalur hukum, meski kemudian pengadilan akhirnya memenangkan Gus Dur.
Adik Kandung Gus Dur, yang juga pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, KH Sholahuddin Wahid (Gus Sholah), mengaku kaget dengan keputusan kakaknya melengserkan Muhaimin Iskandar.
Gus Sholah mengaku tidak melihat adanya perbedaan kepentingan yang menonjol antara Gus Dur dan Muhaimin.
Dia juga tidak melihat adanya keinginan Gus Dur untuk memberikan jabatan strategis di PKB kepada salah seorang putrinya Yenni Wahid yang selama ini seringkali berbeda sikap dengan Muhaimin.
"Bahkan saya melihat, hubungan antara paman dan keponakan ini harmonis. Saya kaget begitu mengetahui Muhaimin `dipecat` oleh Gus Dur," katanya.
Gus Solah ingin mempertanyakan lebih jauh, apakah dalam AD/ART PKB diperbolehkan memberhentikan seorang ketua umum partai yang terpilih dalam Muktamar melalui rapat pleno.
Menolak Mundur
Muhaimin Iskandar sendiri telah menegaskan bahwa dirinya tidak akan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB hingga berakhir masa jabatan pada 2010.
Alasannya, sesuai AD/ART partai maka pemberhentian seorang ketua umum yang dipilih melalui Muktamar juga harus dilakukan melalui Muktamar, bukan rapat pleno.
Muhaimin juga mengaku dirinya telah dikhianati oleh 20 orang pengurus PKB, baik yang ada di Dewan Syuro maupun di Dewan Tanfidz, padahal ke-20 orang itu ada di posisinya sekarang tidak lain karena penunjukannya.
"Ke 20 orang itu telah mengkhianati dan mendesak saya mundur dari kursi Ketua Umum DPP PKB. Seharusnya saya yang memberhentikan mereka," kata pria kelahiran Jombang, 24 September 1966 itu.
Muhaimin pun menuding adanya kelompok yang sengaja mengadu domba dirinya dengan sang paman. Karenanya, ia merasa perlu menyelidiki sepak terjang kelompok tersebut.
Keputusan "pemberhentian" Muhaimin itu juga mendapat penolakan keras para pendukung Muhaimin baik di pusat maupun daerah.
Apalagi, setelah Gus Dur kemudian mengambil langkah "pembersihan" orang-orang Muhaimin dengan membekukan kepengurusan DPC PKB Surabaya dan Sidoarjo, dua daerah yang merupakan lumbung suara partai tersebut.
Salah seorang pendukung Muhaimin, Abdul Kadir Karding yang juga Ketua DPP PKB, mengatakan, pendukung Muhaimin tidak akan menerima keputusan itu. "Lebih dari separuh wilayah dan cabang mendukung Muhaimin," katanya.
Menanggapi kisruh di PKB tersebut, Direktur Eksekutif Indobarometer M Qodari menilai, masalah PKB itu lebih disebabkan karena peran Gus Dur yang sangat sentral dan dominan.
PKB, katanya, tidak dikelola berdasarkan manajemen partai yang modern tetapi masih bergantung pada budaya patron yang sangat kuat.
"Kalau terlalu bergantung pada figur sentral seperti Gus Dur, maka konflik seperti ini bisa kerap terjadi," katanya seraya mencontohkan Partai Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merupakan dua partai yang tidak bergantung pada figur.
Sementara itu, pengamat politik LIPI Syamsuddin Haris menilai keputusan rapat pleno PKB itu akan menjadi blunder karena mencuat justru saat menjelang Pemilu 2009.
Ia menilai, dukungan pada PKB akan menurun signifikan pada Pemilu 2009 dan sejumlah partai akan diuntungkan, terutama partai yang berbasis massa Nahdlatul Ulama (NU) seperti Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU).
Apa yang diprediksi Syamsuddin Haris nampaknya bakal menjadi kenyataan bila pimpinan PKB tidak berusaha menutupi luka yang telah menganga tersebut.
Bukan hanya PKNU, saat ini Partai Persatuan Pembangunan (PPP) terus menggencarkan komunikasi dengan para ulama NU serta sejumlah mantan pengurus PKB yang tersingkir.
Sebut saja pimpinan pondok Pesantren Asshiddiqiyah KH Nur Muhammad Iskandar SQ yang seringkali mendampingi Ketua Umum DPP PPP Suryadharma Ali di berbagai kesempatan.
Bahkan, PPP pun telah "menggaet" Ketua Umum PP Muslimat NU Hj Khofifah Indar Parawansa yang pernah aktif menjadi pengurus DPP PKB menjadi calon gubernur Jawa Timur yang diusung PPP dalam Pemilihan Gubernur Jawa Timur mendatang. Kenyataan-kenyataan seperti ini tentu tidak bisa dipandang sebelah mata oleh para pimpinan PKB. Karena jika konflik internal ini terus berlangsung, bukan tidak mungkin PKB akan ditinggalkan warga NU. (A041)

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi