Pilih kekuasaan, uang, atau kejayaan?

Motif kekuasaan dan uang merupakan dua hal utama yang tak bisa begitu saja dilepaskan dari sejarah partisipasi manusia dalam bidang olah raga. Di sepak bola, naluri manusia terimplementasikan mengejar dua motif itu.

Oleh Fahmi Achmad

Saat ini, kancah sepak bola dalam negeri seakan tak sepi dari berita perseteruan antara PSSI dengan pengelola kompetisi Liga Primer Indonesia (LPI). Pro dan kontra menjadi-jadi dan bahkan perseteruan politik.

Publik pun mendua, sebagian masyarakat meminta PSSI sebagai induk organisasi membenahi diri. Keberadaan LPI merupakan salah satu wujud dari keinginan adanya perubahan signifikan di ranah sepak bola Indonesia.

“Konteksnya adalah kemandirian klub dan profesionalisme,” kata Kesit B. Handoyo, Ketua Umum Solo FC, salah satu peserta LPI.

Profesionalisme memang jadi benang merah. Rata-rata kebutuhan tiap klub sekitar Rp18 miliar-Rp20 miliar per tahun dan 60% di antaranya untuk belanja pemain. Tentu saja, klub harus pintar-pintar mencari dana dan tak sekedar meminta kepada pemda.

Di sisi lain, sebagian pihak tetap menghendaki kompetisi Djarum Indonesia Super League (ISL) tetap menjadi tumpuan prestasi dan organisasi PSSI tetap dipimpin oleh Nurdin Halid.

Bisa saja kontroversi soal kompetisi sepak bola yang legal itu menjadi jalan yang memang harus dilalui agar Indonesia memiliki tim nasional yang mumpuni. Lagipula ada motif lain, berupa kecintaan masyarakat yang bisa melambungkan Garuda terbang tinggi.

Masih ingat nama Hendri Mulyadi? pemuda asal Bekasi ini masuk ke lapangan Stadion Utama Gelora Bung Karno ketika laga Indonesia vs Oman (6 Januari 2010) memasuki menit-menit akhir.

Hendri yang mengenakan kostum timnas Indonesia, menggiring bola ke gawang Oman dan berusaha mencetak gol meski gagal. Dia mengaku gemas dengan permainan buruk Bambang Pamungkas dkk.

Kehadiran Hendri di lapangan memang tidak sanggup 'menolong’ timnas Garuda yang tetap kalah 1-2 dari Oman dan gagal lolos ke Piala Asia 2011, yang pertama sejak 1996.

Aksi Hendri justru disokong oleh para pencinta sepakbola nasional. Banyak yang menyebut aksi itu adalah wujud spontanitas seorang suporter yang berulang kali dikecewakan timnas dan PSSI.

Kecewa tetapi tetap cinta bukan sekali dua kali. Ketika timnas Garuda menang 2-1 lawan Bahrain pada pertandingan pertama putaran final Piala Asia, 7 Juli 2007. Kala itu, publik langsung tersentak, nasionalisme pun membuncah seantero nusantara.

Kini, cinta publik saat ini juga terapung ke permukaan dengan hadirnya generasi Irfan Bachdim, Oktovianus Maniani dan kawan-kawan. Popularitas nama para pemain timnas setidaknya terlihat dari dipakainya kostum mereka oleh anak-anak kecil yang bermain di jalanan.

Tak hanya itu, tayangan sepak bola kini jadi andalan di hampir semua televisi nasional. Siaran langsung sepak bola menjadi alat bagi pengelola stasiun televisi menjaring pendapatan iklan.

Pengelola pertandingan di stadion juga mungkin diuntungkan karena banyak perempuan dan anak-anak yang rajin datang menjadi penonton. Entah mereka karena suka sepak bola atau bahkan mungkin cuma sekedar latah.

Dengan begitu besar kecintaan masyarakat dan bakat-bakat terpendam anak-anak yang bermain bola di jalanan, rasanya itu yang bakal menyelamatkan sepak bola Indonesia, bukan LPI, bukan ISL. Yah, mari berharap …

(fahmi.achmad@bisnis.co.id)

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh