Skema financial fair play

Oleh Fahmi Achmad
Wartawan Bisnis Indonesia

Di dalam pengelolaan pemerintahan, defisit bukanlah hal yang tabu karena menunjukkan anggaran negara dapat digunakan secara maksimal untuk pembangunan. Namun, tentu saja ada ramuan rasio defisit yang tepat.

Defisit juga bukan hal baru di sepakbola. Aksi hambur-hambur duit untuk dalam transfer pemain adalah jamak dilakukan meskipun neraca keuangan suatu klub akhirnya bolong dan merugi.

Karena itu UEFA sebagai otoritas sepakbola Eropa segera merilis kebijakan financial fair play agar dapat menjamin kesehatan klub-klub sepakbola di Benua Biru tersebut. Presiden UEFA Michael Platini konon akan menerapkannya mulai musim 2011/2012.

Aturan financial fair play itu mencegah klub mengeluarkan dana berlebihan dan gaji yang terlalu tinggi kepada pemain sehingga klub tak lagi besar pasar dari pada tiang.
UEFA akan menerapkan aturan itu dalam tiga tahap. Pada periode 2011-2014, klub dibatas memiliki defisit neraca keuangan maksimal 45 juta euro. Tahap kedua 2014-2017, maksimal defisit ditekan menjadi 30 juta euro.

Pada tahap kedua, klub akan diwajibkan membereskan semua kerugian dengan cara peningkatan modal atau donasi dan tidak diperkenankan melalui cara pinjaman.
Mulai tahap ketiga 2017-2018, klub hanya bisa mengeluarkan uang jika mendapatkan pemasukan yang menguntungkan.

Namanya juga defisit, tentu ada pengecualian. UEFA membolehkan anggaran meluber untuk pembangunan stadion baru atau renovasi dan juga investasi kepada sektor pemain muda.

Kebijakan pengecualian tersebut dibuat karena adanya pertimbangan stadion dan pemain muda merupakan katalis yang prospektif bagi pengelolaan klub yang sehat.

Bagaimana kalau aturan itu tak ditaati? Sanksi dari UEFA bukanlah hal yang dapat dinegosiasikan. Komisi disiplin UEFA punya beragam sanksi dan yang terkeras seperti yang dirasakan Real Mallorca (Spanyol) yang dikeluarkan dari Liga Eropa musim ini karena defisit dan utangnya begitu besar.

Aturan dari Benua Biru itu rasanya layak juga diterapkan di Indonesia. Mungkin tak seluruh klub di Tanah Air diwajibkan pada tahap awal, tetapi setidaknya klub Indonesia Super League (ISL) bisa jadi pionir.

Sebagai peserta liga nomor wahid di Tanah Air, klub-klub ISL yang telah berbentuk perseroan terbatas seharusnya tak lagi menyusu kepada pemda, yang nota bene mengandalkan anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Tiap tahun ada ratusan triliun rupiah dana perimbangan APBN yang mengalir ke daerah. DKI Jakarta yang tahun ini punya APBD di atas Rp24 triliun tentu merasa tak bersalah bila menyokong Persija yang musim 2010/2011 membutuhkan sedikitnya Rp12,5 miliar.

Toh sebagian wewenang pajak pusat akan dialihkan ke daerah seperti BPHTB dan PBB.
Provinsi Papua yang tahun depan mendapatkan dana otonomi khusus Rp3,1 triliun dan dana tambahan infrastruktur Rp1,4 triliun, mungkin sah-sah saja menyumbang sedikit untuk Persipura yang butuh dana di atas Rp20 miliar.

Namun, saya jadi teringat pidato Presiden Yudhoyono pada pidato nota keuangan 16 Agustus yang mengingatkan bahwa sesuai dengan prinsip money follows function, makin besar tanggung jawab yang diserahkan ke daerah, makin besar pula alokasi anggaran yang ikut didesentralisasikan. (fahmi.achmad@bisnis.co.id)

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi