Perlukah Asuransi di Saat Pandemi Covid-19

Tulisan ini terbit di Bisnis Indonesia.


Please visit and read https://bisnisindonesia.id/ untuk mendapatkan informasi mendalam, terkini dan terpercaya.

Selama 6 bulan ini atau sejak awal pandemi Covid-19 merebak di Indonesia pada Maret 2020, sebagian besar masyarakat di Tanah Air diliputi kekhawatiran terhadap perkembangan penyebaran virus corona.

Setiap hari kita disuguhi data terkait dengan Covid-19 yang terus meningkat. Hingga 1 September 2020 misalnya, angka yang terpapar virus corona terus bertambah, dengan jumlah ribuan orang perharinya.

Sejak Maret hingga Agustus tambahan kasus aktif terjadi fluktuasi secara harian, tetapi secara bulanan menurun secara signifikan. Pada Maret rata-rata kasus aktifnya mencapai 91,26 persen. Kemudian, pada April rata-rata kasus aktif Covid-19 turun ke 81,57 persen.

Selanjutnya, pada Mei terus turun di 71,53 persen. Lalu melandai 57,52 persen di Juni, kemudian turun terus menjadi 44,02 persen di Juli dan sampai dengan 30 Agustus 2020 angka rata-rata kasus aktif mencapai 23,64 persen.

Namun, rata-rata angka kematian karena Covid-19 di Indonesia masih berada di atas rata-rata dunia. Data Satgas Covid-19 menunjukkan ada sebanyak 4,2 persen atau 7.505 pasien meninggal dunia di Indonesia. 

Sementara itu, jumlah kasus meninggal dunia di dunia 3,34 persen, kasus aktifnya 26,6 persen, dan kasus sembuh 69,97 persen.

Angka-angka tersebut jelas belum juga menenangkan hati. Ada kekhawatiran yang terus membayangi publik. Masih banyak yang harus dilakukan pemerintah dan masyarakat untuk keluar dari wabah Covid-19.

Berdasarkan hasil survei Manulife Asia Care terhadap 300 nasabah asuransi di Indonesia yang dilansir baru-baru ini, sebanyak 74% responden di Indonesia mengaku bahwa penyebaran Covid-19 akan semakin serius pada semester II/2020, padahal rata-rata skor di tingkat regional sebesar 41%.

Hasil survei di Indonesia menunjukkan optimisme masyarakat yang terendah dibandingkan dengan responden di delapan pasar Asia lainnya.

Meskipun begitu, masyarakat merespons kondisinya dengan menekan tingkat risiko melalui pembelian produk asuransi dan gaya hidup sehat.

Survei Manulife itu menunjukkan bahwa 62% responden menemukan cara hidup yang lebih sehat dibandingkan dengan kondisi sebelum pandemi Covid-19. Sebanyak 37% responden pun tercatat mulai aktif memantau kesehatan mentalnya.

Kesadaran orang terhadap kesehatan meningkat dan mereka mulai beralih ke gaya hidup sehat. Selama 18 bulan ke depan, tren yang sama akan terus meningkat dengan 50% nasabah ingin lebih sehat secara fisik dan 28% ingin memantau kesehatan mentalnya.

Dari hasil survei Manulife Asia Care itu juga, terlihat bahwa sebanyak 72% nasabah asuransi di Indonesia tercatat memiliki rencana untuk membeli tambahan polis dalam 18 bulan ke depan. Hal itu terjadi bersamaan dengan rendahnya optimisme masyarakat terhadap perkembangan penyebaran virus corona.

Temuan di Indonesia itu mencatatkan angka yang lebih besar dibandingkan dengan rata-rata hasil survei di kawasan Asia, yakni 62%.

Sebanyak 34% responden nasabah asuransi di Indonesia lebih tertarik untuk mempertimbangkan sejumlah produk-produk terkait dengan penyakit kritis. 

Ketika ditanya indikator lain, 30% dari responden juga berminat untuk mencari produk asuransi jiwa. Begitu juga ketika disurvei untuk membeli produk kesehatan, 30% responden menyatakan keinginannya. Adapun produk rawat inap diminati oleh 29% dari 300 responden tersebut.

Setidaknya hasil survei tersebut bisa menjadi kabar baik bagi industri asuransi yang masih berkutat dengan isu penetrasi yang rendah di Indonesia. 

Sejauh ini, tingkat penetrasi asuransi Tanah Air masih berkisar 2%, sehingga masih tergolong negara dengan penetrasi terendah di kawasan Asia, yakni di bawah 5%.


//BIAYA TINGGI//

Minat yang tinggi terhadap asuransi ketika musim pandemi ini menunjukkan bahwa naluri manusia akan selalu mencari perlindungan ketika datang masalah, tak akan luntur. Anda mungkin sudah tahu jika perawatan pasien yang terjangkit Covid-19 di rumah sakit menelan biaya yang tidak sedikit.

Memang saat ini, berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/104/2020, biaya perawatan bagi pasien Covid-19 ditanggung pemerintah yang dibebankan pada anggaran Kementerian Kesehatan, pemerintah daerah, dan/atau sumber dana lainnya.

Namun, kita juga sering mendengar ada biaya lain-lain yang tak tercover oleh pemerintah. Apalagi kalau, itu bukan rumah sakit rujukan oleh pemerintah. Biaya tersebut dibebankan oleh rumah sakit kepada pasien. 

Di situlah peran perusahaan asuransi mengambil alih tanggungan pembayaran. Tentu ini hanya berlaku kepada nasabah dari perusahaan asuransi tersebut. 

Jika tak punya asuransi, klaim rumah sakit tentu memusingkan. Bisa-bisa, seseorang boleh sembuh dari Covid-19, tetapi diadang penyakit lain. Jangan sampai deh.

Sejak Maret 2020 hingga periode Juni 2020, data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) memperlihatkan perusahaan-perusahaan asuransi jiwa telah membayarkan klaim corona sebesar kisaran Rp216 miliar. 

Pembayaran klaim Covid-19 tersebut untuk 1.642 polis yang dipergunakan melakukan pengobatan di rumah sakit rujukan nasional maupun rumah sakit di luar negeri, serta untuk risiko meninggal dunia yang disebabkan virus corona tersebut.

Dari 1.642 klaim Covid-19 yang dibayarkan kepada nasabah, sebanyak 1.578 di antaranya merupakan klaim produk asuransi kesehatan dengan nilai Rp200,6 miliar atau 92,9 persen dari total klaim.  

Sementara itu, 64 lainnya adalah klaim produk asuransi jiwa kredit atas risiko meninggal dunia dengan nilai Rp15,3 miliar atau 7,1 persen dari total klaim.

Di sisi lain, kesadaran masyarakat yang semakin tinggi untuk memproteksi dirinya di tengah risiko yang meningkat, haruslah menjadi peluang dan kesempatan yang sangat baik untuk dimanfaatkan oleh perusahaan asuransi.

Pandemi Covid-19 ini nyatanya telah mengubah pola hidup masyarakat. Kebijakan pembatasan sosial pun membuat masyarakat semakin mengandalkan teknologi digital dalam kehidupan sehari-hari. 

Hal ini bisa menjadi pendorong perusahaan asuransi untuk terus berinovasi, agar setiap produk dan layanan yang ditawarkan sejalan dengan kondisi terkini. 

Kanal distribusi, proses pemasaran, dan akuisisi polis pun harusnya berubah. Peran agen asuransi tetap ada, meski secara perlahan tak lagi dominan. 

Kini semakin banyak orang mendapatkan penawaran proteksi dan manfaat asuransi melalui kanal digital berkat kemudahan yang diberikan gawai di tangan kita. Investasi teknologi di masa awal memang berat bagi perusahaan, tetapi hasilnya akan memangkas biaya yang signifikan. 

Selain itu, citra perusahaan asuransi bisa terkerek dengan kemudahan dan keterjangkauan secara digital. Jika selama ini, klaim asuransi itu terkesan ribet, kini proses pengajuan klaim lebih mudah, cukup melengkapi formulir elektronik dan mengunggah foto serta dokumen pendukung yang disyaratkan.

Pengalaman Taiwan yang relatif sukses dengan digitalisasi dan sistem cloud perusahaan asuransinya dalam menghadapi pandemi Covid-19, rasanya bisa jadi pelajaran.

Melalui sistem cloud dan digital, Taiwan melalui kantor imigrasi dapat mencatat sejarah perjalanan warga ke dalam catatan asuransi kesehatan, sehingga dokter yang berada di manapun dapat mengetahui apakah pasien pernah masuk keluar dari daerah atau negara berisiko tinggi. Ini adalah salah satu faktor utama Taiwan berhasil mengendalikan pandemi Covid-19.

Pada akhirnya, selalu ada manfaat di tengah masalah. Setidaknya, dengan perlindungan asuransi yang lengkap, kita bisa hidup lebih tenang selama pandemi Covid-19 ini. Tetap jaga kesehatan dan jangan lupa lindungi diri dan keluarga dengan proteksi asuransi.


(https://koran.bisnis.com/m/read/20200905/565/1287545/ekspresi-perlukah-proteksi-diri-di-saat-pandemi)

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi