Bersiasat Jaga Pendapatan Negara

Tulisan ini terbit di Bisnis Indonesia.


Please visit and read https://bisnisindonesia.id/ untuk mendapatkan informasi mendalam, terkini dan terpercaya.


Tekanan ekonomi dari dampak Covid-19 tampaknya mulai terkendali meskipun pandemi belumlah usai. Banyak harapan, pembatasan kegiatan yang mulai longgar akan memacu geliat dunia usaha. 
Namun, progres pemulihan ekonomi masih sangat rapuh. Hal itu bisa terlihat dari pergerakan pendapatan negara yang belum memuaskan. Data Kementerian Keuangan menunjukkan pendapatan negara per Juli 2020 terkontraksi hingga 12 persen.
Realisasi pendapatan negara hingga Juli 2020 mencapai Rp922,2 triliun atau 54,3 persen dari target perubahan APBN dalam Perpres 72 tahun 2020 yang sebesar Rp1.699,9 triliun. Realisasi pendapatan tersebut turun 12,4 persen secara tahunan dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, sebesar Rp1.052,4 triliun.
Salah satu penyebab pendapatan negara yang terkoreksi 12,4 persen karena semakin banyak masyarakat dan dunia usaha yang memanfaatkan insentif pajak.  
Penerimaan perpajakan terdiri atas penerimaan pajak Rp601,9 triliun yang realisasinya 50,2 persen dari target Rp1.198,8 triliun. Penerimaan ini terkontraksi hingga 14,7 persen dibandingkan dengan periode sama tahun lalu yaitu Rp705,4 triliun.
Hanya pos penerimaan kepabeanan dan cukai tercatat berhasil tumbuh 3,7 persen (yoy) menjadi sebesar Rp109,1 triliun dibandingkan dengan periode sama tahun lalu yang Rp105,2 triliun.
Ini kondisi yang serba sulit bagi semua.  Di satu sisi, kondisi pandemi membuat ekonomi tak bergerak. Korporasi dan dunia usaha dan masyarakat membutuhkan dukungan pemerintah berupa insentif-insentif fiskal agar dapat bertahan dari dampak krisis.
Di sisi lain, pemerintah membutuhkan dana yang cukup besar tiap tahun agar dapat memenuhi kebutuhan pembangunan. Dana tersebut berasal dari penerimaan perpajakan, kepabeanan dan cukai, hingga pinjaman dan hibah.
Bagi pemerintah, tekanan terhadap penerimaan harus dikelola dengan tepat dan membutuhkan strategi yang pas. 
Seperti di banyak negara, Indonesia juga dijangkiti dengan tren keberlanjutan kebijakan pengurangan PPh pribadi untuk rumah tangga berpenghasilan rendah dan menengah serta stabilisasi tarif standar pajak pertambahan nilai (PPN). 
Apalagi pandemi Covid-19 ini juga memaksa pemerintah untuk mengobral insentif-insentif bagi masyarakat.
Tuntutan terhadap pemberian insentif yang berlimpah tentu baik untuk membantu ekonomi kita kembali pulih. Namun, pemerintah juga tak bisa disalahkan jika nantinya bersikap konservatif dan terus melakukan evaluasi terhadap insentif fiskal yang telah diberikan.
Kementrian Keuangan harus memikirkan langkah inovatif agar pendapatan negara tak minim seperti pencatatan Juli. Pajak karyawan dan pajak korporasi hingga akhir tahun nanti kemungkinan masih di area negatif.
Apalagi sejak Agustus, pemerintah mulai memberlakukan kebijakan baru terhadap wajib pajak badan usaha atau korporasi akan mendapatkan tarif diskon tambahan untuk pajak penghasilan (PPh) pasal 25 menjadi 50%, dari sebelumnya 30%.
Penurunan angsuran pajak ini berlaku sampai dengan masa pajak Desember 2020. Kondisi tersebut tentu berpotensi mengurangi peran dan kontribusi penerimaan PPh Badan terhadap pendapatan negara pada akhir tahun nanti.
Kita juga mendukung pemerintah untuk terus membuat kemajuan reformasi perpajakan yang tepat sasaran seperti memastikan pemungutan pajak pertambahan nilai atas penjualan barang, jasa, dan barang tak berwujud secara online berjalan efektif.
Kita yakin pemerintah pasti telah berhitung penerimaan pajak yang terdiskon paket-paket kebijakan insentif bisa digantikan dengan upaya keras mendorong pertumbuhan konsumsi, investasi dan ekspor.
Tentu semua itu ikhtiar pemerintah menjaga pendapatan negara tak akan berdaya guna tanpa kontribusi dari masyarakat juga.  Harapannya, ekonomi Indonesia segera pulih dari tekanan dampak pandemi Covid-19 ini.

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi