Asa laba instan di sepak bola

Oleh Fahmi Achmad
Wartawan Bisnis Indonesia

Bagi Scousers atau Liverpudlians, sepekan terakhir ini mungkin sangat menentukan bagi seluruh penduduk kota Liverpool karena nasib klub kesayangan mereka ditentukan oleh sang pemilik dana.

Terlepas dari konflik duet petahana Tom Hicks dan George Gillet dengan New England Sports Ventures (NESV), yang pasti Liverpool rasanya layak meraih suntikan dana baru untuk membayar utang dari Royal Bank of Scotland (RBS) sebesar 237 juta poundsterling.

Meski bukan fans the Kop, saya harus memberikan apresiasi karena Liverpool adalah tim terbesar sebagai kolektor 18 trofi Liga Utama Inggris dan 5 trofi Liga Champion Eropa yang merupakan terbanyak di Inggris serta ketiga terbanyak di bawah Real Madrid dan AC Milan.

Dua nama klub terakhir semuanya milik para miliarder yang tetap ingin bertahta karena klub sepak bola seperti Madrid menguntungkan bagi Florentino Perez, begitu pula Milan untuk Silvio Berlusconi.

NESV milik miliarder John Henry, pedagang komoditas berjangka kelahiran Quincy, Illinois. Dia tentu ingin membuktikan lagi insting bisnisnya yang sudah teruji sejak sewindu silam dalam kepemilikan saham juara dunia bisbol 2004 dan 2007, Boston Red Sox.

Liverpool sebenarnya juga diperebutkan banyak miliarder seperti Kenneth "Kenny" Huang (Hong Kong), Yahya Kirdi (Suriah), Peter Lim (Singapura), Mukesh Ambani (India), Al-Kharfi (konsorsium Timur Tengah), dan satu konsorsium lain dari India.

Nampaknya konglomerat dunia mulai menjadikan klub sepak bola sebagai celengan laba investasi mereka. Di klub-klub Inggris, banyak yang dimiliki miliarder asal Asia, sebut sajaCarson Yeung, yang menguasai saham mayoritas Birmingham City.

Chan Tien Ghee, juragan properti Malaysia memiliki Cardiff City, Portsmouth dikuasai Balram Chairai pria Hong Kong berdarah Nepal. Tak hanya itu raja pabrik baja dari India, Lakshmi Mittal mempunyai separuh total saham Queens Park Rangers.

Nama besar Ambani dengan kerajaan bisnis Reliance Industries juga tak hanya direfleksikan dengan Mukesh, karena sang adik Anil Ambani dikabarkan terus mengincar kepemilikan Newcastle United.

Sheikh Mansour bin Zayed al-Nahyan (Uni Emirat Arab) pemilik Abu Dhabi Sovereign Wealth Fund boleh tersenyum karena mempunyai Manchester City yang kini di posisi kedua klasemen di bawah Chelsea, menggeser Liverpool dan bahkan Manchester United dan Arsenal.

Nyaris 400 juta pounds dikeluarkan al-Nahyan selama 3 tahun terakhir untuk membenahi the Citizen setelah Thaksin Shinawatra terpaksa menjual klub tersebut. Al-Nahyan memiliki 460 miliar pounds, jauh di atas Roman Abramovic yang hanya 12 miliar poundsterling.

Para konglomerat tersebut tentu sadar betul upaya memancing laba dan gelontoran duit investasi akan berkorelasi dengan prestasi. Di sepak bola, kaya belum tentu juara, tetapi bisa sebagai cara instan mencapai prestasi dan lagipula mayoritas juara adalah klub kaya.

Berbeda dengan di Indonesia yang kini hanya ada Nirwan Bakrie. Dulu klub sepakbola dimiliki banyak tokoh seperti Tumpal D. Pardede dengan Pardedetex, Arseto (Sigit Harjojudanto) F.H. Hutasoit (Jayakarta), Benny Mulyono (Warna Agung), Benniardi (Tunas Inti), dan A. Wenas (Niac Mitra), dan nama beken lainnya.

Kini pengurus sepakbola di Tanah Air mungkin harus belajar dari hikmah kasus Liverpool, kejarlah prestasi dan miliarder akan datang, dan jangan kita masih terbuai pola pikir bahwa mi instan itu sudah cukup bikin kenyang.

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi