Optima, skandal yang terperam (1)

Dari pembinaan hingga silence operation

Oleh Arif Gunawan S.
Wartawan Bisnis Indonesia

Sejak menjabat Direktur Pengawasan dan Kepatuhan Anggota Bursa PT Bursa Efek Indonesia (BEI), Uriep Budhi Prasetyo merasakan ubannya bertambah. Kelelahan acap memuncak.

Uriep masuk ke jajaran direksi BEI pada Juli 2009 setelah bersaing dengan Kepala Divisi Pengawasan Transaksi BEI Hamdi Hasyarbaini. Sebelumnya, dia adalah Direktur Operasional PT Dhanawibawa Artha Cemerlang dan Komisaris Kustodian Sentra Efek (KSEI).

“Ketika masuk direksi bursa, saya sering di-bilangin pilihannya hanya dua: Rambut berkurang atau rambut jadi putih semua. Baru dua bulan, rambut saya sudah putih semua,” ujarnya di depan direksi dan kepala divisi pada rapat koordinasi BEI 2 September 2009.

Maklum, baru duduk sebagai direktur BEI, Uriep langsung disuguhi kasus pasar modal terbesar setelah skandal PT Bank Century Tbk-PT Antaboga Delta Sekuritas, yakni dugaan penyelewengan dana nasabah PT Optima Kharya Capital Securities (Optima Securities).

Data Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) menyebutkan kerugian nasabah dalam kasus itu Rp700 miliar, dua kali lipat kerugian nasabah PT Sarijaya Permana Sekuritas Rp245 miliar, dan separuh skandal Century-Antaboga Rp1,4 triliun.

Kerugian nasabah Grup Optima terdiri atas kerugian di Optima Securities Rp300 miliar dan piutang macet nasabah di PT Optima Kharya Capital Management (Optima Management) Rp400 miliar. Terduga utama kasus ini Harjono Kusuma, Direktur Utama Optima Securities.

Untuk menyelesaikan kasus tersebut, BEI dan Bapepam-LK melancarkan operasi diam (silence operation) dan tutup mulut soal kerugian nasabah. Tujuannya tidak lain untuk mencegah kepanikan pasar.

“Saya belum pernah menghadapi kasus seperti ini. Sampai sebatas pemeriksaan, I know what to do. Namun, sampai pada remedy biar tak ada kepanikan, jujur saya tidak tahu,” keluh Uriep dalam rapat direksi BEI sebulan kemudian.

Skandal Optima memang rumit dan mengejutkan. Meski indikasinya telah terlihat sejak 2008, kasus ini baru muncul ke permukaan setahun kemudian. Uniknya, tidak ada gejolak berarti di pasar seperti dikhawatirkan Uriep, meski Optima Securities disuspen 6 bulan lebih.

Padahal, potensi kekacauan di Optima tidak kalah besar dari Sarijaya, karena ada 150 nasabah yang berpotensi menimbulkan sengketa, nilai kerugian sebesar Rp308 miliar, serta melibatkan 428 juta saham yang terkatung-katung selama lebih dari setahun.

//Papan atas//
Optima Securities semula dikenal sebagai perusahaan efek papan atas. Berdiri pada Desember 1989 dengan nama PT Sun Hung Kai Securities, lalu pada September 1997 mengubah nama jadi PT Ciptamahardhika Mandiri Sekuritas, dan pada April 2006 menjadi Optima Securities.

Pada 2007, aset broker ini pernah menembus Rp2 triliun. Kala itu, gelar sebagai sekuritas terbaik untuk kategori aset di atas Rp500 miliar–Rp1 triliun pun sempat terpampang dalam profil mereka.

Harjono memiliki saham PT Optima Kharya Mulia (OKM), yang berposisi sebagai perusahan induk Optima Securities dan Optima Management. Kepemilikan Harjono 75%, sedangkan Antonius Torang P. Siahaan, mitranya, memegang 25% sisanya.

Sebelumnya, Harjono menjadi Direktur Utama Optima Management dengan kepemilikan saham 15% per Juni 2007. Pertengahan akhir 2007, Antonius mengganti posisinya, dan Harjono pindah mengambil kendali Optima Securities.

Bersamaan dengan masuknya Harjono, Optima Securities terseret saham PT Agis Tbk yang menjadi langganan watchlist BEI sejak 2007. Jatuhnya saham emiten milik Johnny Kesuma dari kisaran Rp4.000 per saham menjadi Rp300 itu membuat Grup Optima terpukul.

Posisi mereka kian sulit setelah BEI mengawasi aksi Optima Securities di pasar pada 2008. Berdasarkan data perdagangan otoritas bursa, Optima Securities tercatat menjadi salah satu penggerak harga saham berkode TMPI itu, sebelum akhirnya ikut ‘terkubur’.
Saham Agis yang populer disebut ‘Taman Makam Para Investor’ tersebut bukan aksi satu-satunya. Perusahaan yang memasang mantan Ketua Bapepam-LK Marzuki Usman sebagai komisaris ini juga ditengarai mendalangi aksi goreng empat saham lain.

Salah satunya adalah saham PT Triwira Insan Lestari Tbk, di mana Optima Securities bertindak selaku penjamin pelaksana emisi saham perdananya. Sejak debut perdagangannya 28 Januari 2008, harga saham berkode TRIL itu meroket 97,06% ke Rp1.340 per 6 Maret 2008.

Merespons hal tersebut, BEI kemudian memvonis Optima Securities dan PT Mahakarya Capital Securities dengan sanksi tertulis pada 2 Juni 2008. Bapepam-LK juga memeriksa kasus Optima Securities ini dengan indikasi pelanggaran dua peraturan pasar modal.

Bapepam-LK mensinyalir Optima Securities melanggar Pasal 91 dan 92 UU Nomor 8/1995 tentang Pasar Modal, terkait dengan persekongkolan dua atau lebih pihak untuk menciptakan gambaran semu harga efek sehingga tidak menggambarkan harga sebenarnya di pasar.

Mereka juga dijerat Peraturan Bapepam-LK Nomor V.F.1 tentang Perilaku Perusahaan Efek Sebagai Penjamin Emisi Efek dan Peraturan Nomor IX.A.7 tentang Tanggung Jawab Manajer Penjatahan dalam Rangka Pemesanan dan Penjatahan Efek Dalam Penawaran Umum.

Sekadar mengingatkan, Triwira adalah perusahaan yang 6,61% sahamnya dimiliki PT Kereta Api Indonesia. Kereta Api dan Grup Optima dikenal dekat, terlihat dari posisi Optima sebagai konsultan keuangan proyek RaiLink milik Kereta Api dan PT Angkasa Pura II.

Belakangan, kedekatan yang tidak wajar itu menyeret Dirut Optima Management Antonius T. P. Siahaan ke kursi pesakitan. Dia dituduh menyuap pejabat Kereta Api sebesar Rp100 juta guna memuluskan penempatan investasi Rp100 miliar perseroan itu ke Optima Management.

//Masuk pengawasan//
Nyaris bersamaan dengan aksi goreng TRIL, dalam masa euforia bursa itu Optima Securities terpantau beraksi dengan Sarijaya mengangkat saham PT Ades Waters Indonesia Tbk sebesar 183,33%. Itu kejadian sebelum Sarijaya digulung karena menyalahgunakan dana nasabah.

Tak lama sesudah itu, Optima Securities-Sarijaya kembali beraksi di saham PT Indah Kiat Pulp & Papers Tbk, sehingga harganya naik 191,26% per 23 April-22 Mei 2008. Optima Securities juga disinyalir mendongkrak harga saham PT Tjiwi Kimia Tbk hingga 111,11%.

BEI lantas memasukkan Optima Securities-Sarijaya ke dalam daftar anggota bursa (AB) yang diawasi (watchlist). Kebetulan, saat itu BEI getol mengawasi pasar dengan membentuk satuan pemeriksa AB dan partisipan. Fokus satuan tersebut, ironisnya, memelihara aset nasabah.

Satuan itu menemukan indikasi bahwa Optima Securities telah melanggar Peraturan Bapepam-LK Nomor V.D.1 Butir 5 tentang persetujuan tertulis pengawas atas pembukaan rekening nasabah. Pokok yang kemudian menjadi benih persoalan Optima Securities.

Merespons temuan tersebut, Erry Firmansyah, Dirut BEI ketika itu, memerintahkan bawahannya memanggil Harjono. “Yang saya lihat paling banyak [pelanggaran] di sini adalah Optima. Panggil saja deh,” tegasnya dalam rapat koordinasi BEI akhir Mei 2008.

Sayang, tim BEI saat itu bersikap lunak. Temuan pemeriksaan di lapangan hanya berujung pada sanksi administratif, sebagai bentuk pembinaan. Harapannya, Optima Securities bisa memperbaiki diri tanpa perlu dihukum. Atau istilahnya, diberi ‘obat’.

Namun, harapan itu justru berakhir menjadi lelucon. Dokumen BEI tentang hasil pemeriksaan AB per Desember 2008 justru mencatat Sarijaya dan Optima Securities lagi-lagi bertengger pada daftar 10 AB berstatus pengawasan khusus.

Erry pun berang. Broker-broker bermasalah tersebut dinilai tidak beritikad memperbaiki diri. Efek nasabah tetap dicampur dalam rekening kolateral perseroan, dan dana nasabah digabung dengan dana perusahaan.

“Berarti masih terjadi pengulangan, meski sudah diperingatkan. Kalau dalam kondisi begini, kita sudah tidak bisa lagi [membina], mending di-suspend saja. Ini menunjukkan mereka tidak siap menjadi AB yang benar,” ujarnya dalam rapat direksi pada 22 Oktober 2008.

Kebetulan, pada saat bersamaan kasus Sarijaya pecah. Tuntutan publik agar BEI memperkuat pengawasannya kian besar. Akhirnya, untuk mencegah praktik pembajakan saham oleh AB, BEI melarang praktik kuasa nasabah oleh AB untuk meminjamkan dananya ke pihak lain.

Tak ingin kecolongan lagi, BEI membangun sistem manajemen risiko AB dan memerintahkan Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia menyusun kriteria basis data nasabah. Tiga firma akuntan diseleksi untuk jadi konsultan, yakti Ernst & Young, Pricewaterhouse Cooper, dan Deloitte.

Seorang direktur BEI yang meminta identitasnya dilindungi menyebutkan sejak beredar rumor tentang kasus reksa dana dan kontrak pengelolaan dana di Optima Management pada pertengahan 2008, Erry sebenarnya telah mengingatkan tim pengawasan untuk memonitor Grup Optima.

Pasalnya, saat itu eksposur yang dimiliki Optima Management sudah bernilai di atas setengah triliun. “Hati-hati, Optima banyak mengelola aset dana pensiun. Tolong dicek lagi,” ujarnya menirukan Erry dalam sebuah rapat direksi.

Ketika dikonfirmasi pada 8 Juni 2010, Erry mengaku kasus Grup Optima mulai dimonitor ekstra ketika persoalan reksa dananya mengemuka. Pengawasan itu kian diperkuat setelah muncul indikasi gagal bayar Optima Securities pada Februari 2009.

Pada akhir Maret 2009, BEI mengganjar Optima Securities dengan peringatan tertulis karena tidak melakukan tertib administrasi terkait dengan pemindahbukuan efek bersifat ekuitas, untuk penyelesaian transaksi antar-AB.

Akan tetapi, itu saja belum cukup. Optima Securities tetap berada pada daftar pemeriksaan khusus 10 AB, dengan hasil temuan yang sama dari pemeriksaan 2008, yakni penyalahgunaan rekening efek nasabah, dan pencampuran dana nasabah di akun utama perusahaan.

Sayang, riuh-rendah kampanye perebutan kursi direksi BEI sepanjang April-Juni 2009 menelan temuan penting hasil pemeriksaan itu. Pengawasan menjadi kendur. Pembinaan BEI yang diberikan Juli 2009 tidak mempan.

Kesalahan yang sama tetap muncul dalam temuan pemeriksaan Agustus 2009. Akhirnya, meledaklah ‘bom waktu’ Optima Securities pada September 2009. Uriep, yang baru tarik napas setelah timnya memenangkan perebutan kursi direksi BEI, pun terhenyak.

//Mulai terkuak//
Robert Widjaja limbung. Pemilik distributor barang konsumsi PT Tigaraksa Satria Tbk ini tak pernah menyangka akan menghadapi kenyataan dana investasi di masa senjanya senilai Rp100 miliar menguap di Optima Securities.

Robert tercatat sebagai nasabah Optima Securities—kala itu bernama PT Ciptamahardhika Mandiri Sekuritas—sejak 15 Januari 1998. Saat itu, Robert juga mengajak putrinya, Chandra Natalie Widjaja, berinvestasi di Optima Securities melalui PT Penta Widjaja Investindo.

Apabila krisis finansial Asia pada 1998 menjadi tonggak awal investasi Robert di Optima Securities, krisis negara maju 2008 justru membuyarkan perjalanan investasi tersebut, menyusul terkuaknya penyalahgunaan saham yang ditanamkannya.

“Juni 2009, jumlah dan nilai saham portepel di Optima Securities atas nama Robert Widjaja Rp150 miliar. Setelah membaca berita skandal di Grup Optima, ayah berniat memindahkan sahamnya ke Trimegah namun tidak bisa,” tutur Chandra.

Padahal, lanjutnya, pemindahan tersebut seharusnya bisa dieksekusi dalam sehari. Setelah didesak, broker di Optima Securities bernama Ety Sulistyowati mengaku perusahaan terbelit masalah dan tidak ada rekening efek atas nama Robert di KSEI.

Tentu saja, pengakuan Ety membuat Robert dan Chandra berang bukan kepalang. Tindakan Optima Securities itu jelas-jelas melanggar Peraturan Bapepam-LK Nomor III.C.7 tentang SubRekening Efek pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.

Apalagi, Harjono Kesuma, selaku Dirut Optima Securities, tidak pernah menginformasikan fakta tersebut, dan terus ‘menjaga kepercayaan’ mereka melalui laporan cetakan tertulis berisi daftar efek Robert Widjaja, versi Optima Securities.

Pada 9 September 2009, Harjono dan Direktur Optima Securities Lanny V. Taruli berupaya menenangkan Robert sembari membawa dua oknum yang diperkenalkan sebagai calon investor Optima Securities.

Harjono berusaha meyakinkan Robert bahwa persoalan Optima Securities akan segera tuntas, dan dana pengembalian dana Rp100 miliar yang ditanamkannya di Optima Securities tinggal menunggu negosiasi dengan dua calon investor tersebut.

Sepanjang perjalanan kasus ini, calon investor yang berminat menanam modal di Optima Securities hanya Indonesia Recovery Fund dan PT Garuda Capital Investama. Keduanya dimainkan oknum yang sama, mantan wakil bendahara Partai Demokrat, Jodi Haryanto.

Jodi dikenal sebagai Direktur Utama PT Eurocapital Peregrine Securities, salah satu sekuritas yang terdepak dari keanggotaan bursa 2 tahun silam, akibat bersengketa dengan komisaris utamanya sendiri, Rudi Wirawan Rusli. Kasusnya sampai sekarang masih di pengadilan.

Robert dan Chandra tidak tertarik dengan negosiasi yang ditawarkan Harjono. Prioritas mereka adalah adanya jaminan pengembalian aset. Untuk itu, dia mengajukan gadai saham Optima Securities 70% sebagai jaminan. Harjono meneken persetujuan pada 30 September 2009.

Dengan harapan dananya kembali utuh, Chandra kemudian mengadukan nasibnya ke BEI dan Bapepam-LK, serta melaporkannya ke polisi atas dasar dugaan penggelapan direksi Optima Securities pada 23 Oktober 2009 melalui laporan Nomor Po.LP/3026/K/X/2-009/SPK unit I.

Dalam dokumen pemeriksaan polisi per 18 Januari 2010, Harjono menyebut nama Ahmad Rudiansyah sebagai pelaku penjualan aset Penta Widjaja di Optima Securities senilai Rp85 miliar. Namun penyidik menduga nama itu alibi Harjono untuk menghindari tanggung-jawab.

Pada 26 April 2010, Bisnis berkunjung ke kantor Optima Securities di Menara Rajawali, Jakarta Selatan untuk mengecek nama itu. Resepsionis dan satpam kantor Optima Securities kebingungan, karena nama Ahmad yang ada hanyalah Ahmad Royani dan Achmad Halim. (arif.gunawan@bisnis.co.id)

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi