Mari saingi Prancis dan Nigeria

Oleh Fahmi Achmad
Wartawan Bisnis Indonesia


Di ajang olahraga sebesar Piala Dunia, kemenangan akan seseorang tak perlu wafat dahulu untuk menjadi seorang pahlawan. Namun kekalahan menjadikan seorang menjadi pecundang dan akan selalu diingat sepanjang sejarah.
Ekspektasi terhadap prestasi dan kejayaan di ajang dunia yang begitu tinggi membuat sepakbola hanya menjadi media dan sarana untuk unjuk kekuasaan. Dan seperti pameo, politik kadang menjadi panglima.
Prancis menjadi contoh terbaik saat ini. Tim Les Bleus pulang dari Afrika Selatan dengan prestasi yang sangat tidak bisa dibanggakan karena gagal bersaing dengan juara dunia dua kali Uruguay, Meksiko dan tuan rumah.
Presiden Nicolas Sarkozy pun memanggil Thierry Henry, mantan kapten dan pemain senior yang ikut memperkuat Prancis menjadi juara dunia 1998 dan juara Eropa 2000 di Belanda, untuk memberikan penjelasan di istana negara.
Sikap Sarkozy itu mungkin tak ada salahnya bagi penilaian publik Prancis. Menteri Olahraga Prancis pun menyatakan mundur dari jabatannya, diikuti presiden federasi sepakbola Prancis (FFF). Semua berubah menjadi skandal.
Parlemen di Negeri Mode itu pun ambil peran dengan memanggil Raymond Domenech, sang pelatih yang dinilai menjadi pihak yang bertanggung jawab terhadap tim. Konflik Domenech dengan Nicolas Anelka adalah borok bagi Les Bleus.
Bagi Sarkozy, pencapaian Franck Riberry dkk sebenarnya diharapkan mendongkrak prestasi masa kepresidenannya. Suami Carla Bruni itu ingin dikenang publik seperti masyarakat mengenang senyum lebar Jacques Chirac berfoto dengan Zinedine Zidane di Champs Ellysses pada Hari Bastille 1998.
Sayangnya, harian nasional Le Figaro melansir hasil survei TNS Sofres yang menunjukkan popularitas Sarkozy menurun dan tersisa 26%. Parahnya 71% responden survei menyatakan tak lagi percaya terhadap sang presiden yang bertugas sejak dilantik 16 Mei 2007.
Turunnya popularitas tersebut sebenarnya tak hanya karena tim Ayam Jantan tak bisa berkokok nyaring di Afrika Selatan. Kondisi ekonomi nasional dan tingkat pengangguran juga punya peran mengikis keterkenalan sang presiden.
Sarkozy juga menjadi bulan-bulanan kritik kaum oposisi atas kasus L’Oreal, kerajaan kosmetik dunia asal Prancis, yang melibatkan sang pemilik usaha Liliane Bettencourt dengan Menteri Tenaga Kerja Eric Woerth dan istrinya.
Sang menteri telah mundur dari jabatannya. Tak hanya itu, kaum oposisi juga mengkritik adanya fakta Bettencourt merupakan pihak yang membiayai gemerlap politik Sarkozy.
Di sisi lain, sikap presiden dan parlemen Prancis terhadap Les Bleus juga menuai komentar pedas dari Sepp Blater, Presiden FIFA. Prancis dituding intervensi terhadap entitas sepakbola negaranya, sesuatu yang termasuk larangan dalam statuta FIFA.
Legenda Prancis lainnya Michael Platini, yang kini Presiden UEFA, otoritas sepakbola Eropa, berusaha menentramkan suasana. Blatter mengancam akan memberikan sanksi larangan tampil internasional bagi Les Bleus.
Di benua Afrika, larangan tampil bagi tim sepakbola nasional juga dijatuhkan presiden Nigeria. Pemerintah negara yang termasuk produsen minyak tiga besar dunia itu memberikan sanksi tak boleh tampil bagi timnas di level internasional selama 2 tahun.
Nigeria yang juara Olimpiade 1996 gagal bersaing dengan Korea Selatan untuk mendampingi Argentina lolos fase grup. Presiden Nigeria berharap ada evaluasi komprehensif sebelum boleh bertanding lagi.
Ah, saya kok merasa Indonesia bisa menyaingi Prancis dan Nigeria, setidaknya dari respons tepat otoritas dan pemangku kepentingan sepakbola negeri tercinta ini.
(fahmi.achmad@bisnis.co.id)

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi