Skip to main content

Off the record

"Are you disapointed?" itu kalimat tanya yang disampaikan andika melalui akun twitternya kepada saya Jumat 23 Juli pukul 00:05.

Pertanyaan yang sangat tidak salah karena hari Kamis itu sangat bikin jengkel dan cukup aneh bagi saya terkait dengan kejadian di kantor.

Semua itu terkait pula dengan berita headline. Para penulisnya Z sebagai perangkum berita, dan reportase oleh X, Y, A dan B.

Di dalam berita itu ada kalimat sebagai berikut;
[Dalam perkembangan lain, terkait dengan mismatch antara dana pihak ketiga di PT Bank Capital Tbk dengan laporan keuangan Grup Bakrie, seorang direktur BEI yang berkeras agar identitasnya dilindungi mengatakan ada rencana untuk merekomendasikan audit investigasi.
Rencana audit investigasi tersebut dimunculkan sebagai salah satu opsi untuk menyiasati 'tembok tebal' yang kini praktis dihadapi BEI dalam menyelidiki kebenaran tentang selisih data tersebut, yakni pasal kerahasiaan bank.
"Tapi ini masih belum firm, opsi lain juga masih kami bahas. Yang pasti, rekomendasi itu nanti kami berikan ke Bapepam-LK (Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan), mereka yang memutuskan," katanya.]

Kasus itu mencuat setelah terungkapnya kumpulan dana Grup Bakrie senilai Rp9,07 triliun yang dititipkan di Bank Capital dalam bentuk deposito dan kas, tetapi dana pihak ketiga yang tercatat di laporan keuangan bank itu hanya mencapai Rp2,69 triliun.

Di rapat siang redaksi, majelis mempertanyakan kalimat "seorang direktur BEI" tersebut. hal itu karena sang direktur marah besar dan langsung menyatakan complaint karena merasa informasi tersebut adalah off the record.

Kalimat off the record menjadi pagar utama bagi etika seorang jurnalis. Pasal 7 Kode etik jurnalis jelas menyatakan Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.

Nah, dalam berita tadi, sang perangkum Z merasa infonya clear dari Y. Setelah rapat siang, Y masuk ke ruang rapat dan menyatakan kepada BI-2 kalau sang direktur complaint berita itu. Dia merasa dia tak bersalah karena telah menyatakan kepada Z kalau itu adalah off the record.

Pada rapat sore, Z kena marah para big boss lantai 7. Kata redpel, Z diingatkan untuk bertindak sesuai dengan aturan.

Saya tahu Z pasti tak terima diperlakukan sebagai 'terdakwa'. Saya juga tahu, gaya Z memang agak berani soal memainkan kalimat, tetapi dia bukan orang yang suka melanggar kode etik sedemikian mudahnya.

Namun, saya tak mau berkomentar hingga malamnya X berkomunikasi dengan saya melalui g-talk.

Kalimat-kalimat yang disampaikan X begitu menunjukkan kemarahan yang hebat terhadap Y. Saya tanyakan kepada C yang dalam beberapa tahun terakhir satu desk dengan X dan Y. "Ini bagaimana ?"

"Gw kenal Y, gw juga kenal X. mendingan elo ngomong ama P," kata C sambil menunjuk ke ruang kerja P, our chief editor.

Saya ke ruang mas P dan jelaskan semua soal kemarahan X. "Kita bisa menghadapi soal eddy, tapi gejolak internal ini gak bisa dibiarkan mas, aku cuma berharap ke depan tak ada gejolak saling tidak percaya," kata saya.

"Aku sependapat. Nanti aku bilangin ke mereka," kata mas P. Kami pun bersepakat.

Keluar dari ruangan sang bos, saya pun ketemu Z dan menunjukkan record g-talk saya dengan X yang pada saat sama sudah berada sama kami.

X hanya mesem-mesem, dan sikap tubuhnya jelas masih menyimpan kemarahan yang amat sangat. Status facebooknya pun jelas terlihat betapa dia sangat marah dan tak bisa memaafkan sikap Y, jika itu benar.

Status facebook X pula yang membuat satu lantai tujuh ini menyadari theres something wrong! siapa yang berbohong? siapa yang jadi korban? siapa yang jadi iblis?

Entahlah bagi orang lain..tetapi saya percaya sama X karena memang selama ini dia tak pernah menyimpan rahasia soal pekerjaan, narasumber ataupun kisah di balik beritanya.

Saya juga tak punya masalah dengan Y, meski kadang kami saling berbeda pendapat soal berita-berita bursa.

Namun, kalau X benar soal ini makan mau tak mau saya harus mencela sikap Y. Adalah sangat hina kalau atasan menjilat narasumber dan menjelek-jelekkan reporternya.

Walau demikian saya kira Y pasti punya alasan dan penjelasan soal ini semua. aah saya jadi teringat status facebook saya baru-baru ini: "Tak perlu menyombongkan prestasi. Karena teman mu tidak memerlukannya dan musuhmu pun tidak akan percaya."



DISCLAIMER: Cerita ini bukan untuk menjelekan orang lain, tetapi biar jadi pelajaran buat kita.

Comments

Popular posts from this blog

A Story of Puang Oca & Edi Sabara Mangga Barani

Mantan Wakapolri M. Jusuf Mangga Barani mengaku serius menekuni bisnis kuliner, setelah pensiun dari institusi kepolisian pada awal 2011 silam. Keseriusan itu ditunjukan dengan membuka rumah makan seafood Puang Oca pertama di Jakarta yang terletak di Jalan Gelora Senayan, Jakarta. "Saya ini kan hobi masak sebelum masuk kepolisian. Jadi ini menyalurkan hobi, sekaligus untuk silaturahmi dengan banyak orang. Kebetulan ini ada tempat strategis," katanya 7 Desember 2011. Rumah makan Puang Oca Jakarta ini merupakan cabang dari restoran serupa yang sudah dibuka di Surabaya. Manggabarani mengatakan pada prinsinya, sebagai orang Makassar, darah sebagai saudagar Bugis sangat kental, sehingga dia lebih memilih aktif di bisnis kuliner setelah purna tugas di kepolisian. Rumah makan Puang Oca ini menawarkan menu makanan laut khas Makassar, namun dengan cita rasa Indonesia. Menurut Manggabarani, kepiting, udang dan jenis ikan lainnya juga didatangkan langsung dari Makassar untuk menjamin ke...

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi

BERDIRI menelepon di pintu pagar markasnya, rumah tipe 36 di Kaveling DKI Pondok Kelapa, Jakarta Timur, Umar Ohoitenan Kei, 33 tahun, tampak gelisah. Pembicaraan terkesan keras. Menutup telepon, ia lalu menghardik, “Hei! Kenapa anak-anak belum berangkat?” Hampir setengah jam kemudian, pada sekitar pukul 09.00, pertengahan Oktober lalu itu, satu per satu pemuda berbadan gelap datang. Tempat itu mulai meriah. Rumah yang disebut mes tersebut dipimpin Hasan Basri, lelaki berkulit legam berkepala plontos. Usianya 40, beratnya sekitar 90 kilogram. Teh beraroma kayu manis langsung direbus-bukan diseduh-dan kopi rasa jahe segera disajikan. Hasan mengawali hari dengan membaca dokumen perincian utang yang harus mereka tagih hari itu. Entah apa sebabnya, tiba-tiba Hasan membentak pemuda pembawa dokumen. Yang dibentak tak menjawab, malah melengos dan masuk ke ruang dalam.Umar Kei, 33 tahun, nama kondang Umar, tampak terkejut. Tapi hanya sedetik, setelah itu terbahak. Dia tertawa sampai ...

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Saya paling suka cerita dan film tentang thriller, mirip mobster, yakuza, mafia dll. Di Indonesia juga ada yang menarik rasa penasaran seperti laporan Tempo 15 November 2010 yang berjudul GENG REMAN VAN JAKARTA. >(http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/11/15/INT/mbm.20101115.INT135105.id.html) TANGANNYA menahan tusukan golok di perut. Ibu jarinya nyaris putus. Lima bacokan telah melukai kepalanya. Darah bercucuran di sekujur tubuh. "Saya lari ke atas," kata Logo Vallenberg, pria 38 tahun asal Timor, mengenang pertikaian melawan geng preman atau geng reman lawannya, di sekitar Bumi Serpong Damai, Banten, April lalu. "Anak buah saya berkumpul di lantai tiga." Pagi itu, Logo dan delapan anak buahnya menjaga kantor Koperasi Bosar Jaya, Ruko Golden Boulevard, BSD City, Banten. Mereka disewa pemilik koperasi, Burhanuddin Harahap. Mendapat warisan dari ayahnya, Baharudin Harahap, ia menguasai puluhan koperasi di berbagai kota, seperti Bandung, Semaran...